Lelucon yang Tak Lucu

2,220 kali dibaca

Jiran duduk di depan masjid menunggu warga yang mau kerja bakti membersihkan lingkungan masjid guna menyambut tahun baru Hijriyah. Sudah sekitar tiga puluh menit dia mencakung di situ. Kemelut asap rokok terus menguar dari bibir tebalnya yang hitam. Ketika rokoknya habis, datanglah Jauhari membawa senyum lebar.

“Ada apa kiranya saudaraku ini membawa senyum begitu lebar. Sepertinya saya juga akan kecipratan rezeki,” sapa Jiran girang.

Advertisements

“Ha-ha-ha. Sendirian saja, Ran?” tanya Jauhari masih dengan senyum lebarnya, bahkan diiringi tawa. Setelah gagal jadi anggota DPRD beberapa bulan yang lalu, Jauhari memang jadi semakin murah tawa, bahkan untuk hal-hal yang tak lucu sekalipun.

“Sama kamu, ha-ha-ha,” Jiran menandingi tawa Jauhari. “Jadi, kenapa membawa tawa sepanjang jalan tadi?” lanjut Jiran.

“Kelihatan tawaku tadi ya?”

“Kelihatan jelas sejak kau jauh di sana, Ri, Jauhari. Gigimu sudah tampak dulu di kejauhan. Pasti kau sedang tertawa.”

“Masak iya gigiku kelihatan Ran, Jaran, eh. Jiran, maksudku. Maaf ya, ha-ha-ha. Ada cerita lucu, Ran, ha-ha-ha,” sahut Jauhari. Tawanya kian menjadi-jadi.

“Apa?” Jiran sedikit emosi karena dipanggil Jaran oleh Jauhari. Dalam bahasa Jawa jaran berarti kuda.

“Baiklah, akan kuceritakan. Kau pasti tertawa, ha-ha-ha-ha,” ucap Jauhari kembali diiringi tawa.

Maka mengalirlah kata-kata dari mulut Jauhari yang lebar itu.

“Rumahku berjarak seratus meter dari musala Miftahul Jannah, musala dekat perempatan jalan itu lo, Ran. Ha-ha-ha.”

Jiran mendengarkan sembari memelototi gawainya dengan tetap berusaha tertawa. Lalu datanglah Sugiono ke tempat itu, menyaksikan Jauhari yang bercerita diiringi tawa, disambut pula dengan tawa oleh Jiran. Sugiono pun berusaha tertawa untuk mengakrabi teman nongkrongnya itu. Takut dikira banyak utang kalau tak ikut tertawa ketika yang lain tertawa.

“Semenjak gagal jadi anggota DPRD itu, aku jadi selalu ingin salat di musala, salat berjamaah di sana. Bahkan pergi ke musala itu adalah hiburan yang paling kugemari. Ha-ha-ha.”

Kini rasa ingin tertawa mendengar tawa Jauhari mulai membuat Jiran jengah. Tapi dia tetap berusaha tertawa. Begitu pula dengan Sugiono.

“Dua hari yang lalu, aku baru tiba dari sawah ketika mendengar kumandang azan. Maka cepat-cepatlah aku menuju ke kamar mandi untuk kemudian mandi dan mengambil air wudhu. Aku kemudian melangkah cepat menuju musala. Ha-ha-huah.”

“Aku berhenti di tengah jalan karena sendalku tiba-tiba putus. Terpaksa aku melangkah dengan kaki dingklang. Ha-ha-ha. Tidak cukup di situ, setiba di musala aku diadang tahi ayam di tengah pintu. Ha-ha-ha. Marah sekali aku. Ha-ha! Tidak kuhiraukan karena khawatir ketinggalan jamaah. Aku terus melangkah masuk ke musala. Ha-ha.”

Sugiono melirik ke arah Jiran yang terus tertawa.

“Terlihatlah seorang anak kecil yang menjadi imam salat dengan makmum beberapa anak kecil pula. Dan anehnya seorang lelaki dewasa hanya menonton jamaah itu. Geleng- geleng kepala-lah aku, Ran, No.”

Sugiono yang tidak sedang tertawa ketika Jauhari menatapnya-merasa tidak enak. Cepat-cepat ia melebarkan senyum, menyeringai.

“Sialnya aku, ternyata mereka anak-anak TPQ yang sedang praktik azan dan salat, ha-ha-ha. Lucu ya Ran, No. Ha-ha-ha-ha.”

Sugiono tertawa. Pun demikian dengan Jiran. Jauhari apalagi. Terbahak-bahak ia hingga mengundang perhatian warga yang sudah mulai berdatangan. Ketika Jauhari beringsut pergi, Sugiono tak mampu menahan lagi rasa janggalnya.

“Pak Ran. Kenapa kamu terus tertawa? Mana bagian yang lucu sebenarnya?” tanya Sugiono.
Jiran tertawa.

“Kau tak menemukan letak kelucuannya?”

“Tidak,” ucap Sugiono malu-malu.

“Sama.”

“Kenapa tertawa?”

“Setidaknya aku tetap tertawa ketika ada seseorang yang berusaha membuat lelucon. Walaupun itu tidak lucu,” ucap Jiran begitu bijaknya.

Sugiono mengangguk-anggukkan kepala. Pura-pura paham.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan