Lelaki yang Menjemur Pakaian

867 kali dibaca

Pagi itu Matahari bersinar malu-malu. Langit lebih dominan berwarna kelabu, tak seperti kemarin yang sinarnya sangat terik meski baru jam lima lewat.

Tak seperti hari biasanya, Minggu adalah hari di mana para penghuni kompleks perumahan Kalirejo bangun telat. Terutama para istri yang menyempatkan diri untuk bermalas-malasan di hari libur itu. Bagaimana tidak? Enam hari mereka mengurus rumah, apakah tidak ada hari libur buat mereka? Yang benar saja.

Advertisements

Hari Minggu adalah hari kemerdekaan istri dan ibu-ibu rumah tangga dari rutinitas yang selama enam hari mengungkung mereka. Setidaknya, begitulah konsensus itu terjalin di antara penghuni kompleks perumahan Kalirejo itu. Mereka sepakat untuk membuat agenda acara bagi para istri dan ibu rumah tangga setiap hari Minggu.

Minggu pertama di awal bulan, para istri wajib mengikuti acara jalan-jalan di alun-alun kota. Mereka di sana juga akan menikmati berbagai kuliner yang dijajakan dalam acara car free day kota.

Minggu kedua, para istri memiliki agenda untuk berbelanja bersama di pusat perbelanjaan kota. Mereka diagendakan sibuk memilih dan membeli segala kebutuhan. Tapi tidak hanya untuk mereka sendiri. Agenda belanja itu murni untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dari sembako, pakaian anak dan suami, hingga peralatan make up yang sudah pasti dibutuhkan kaum istri.

Minggu ketiga, para istri dan ibu-ibu rumah tangga kompleks perumahan Kalirejo memiliki agenda arisan. Ya. Selain arisan, tentu acara tersebut menjadi ajang pamer masakan. Begitupun dengan Minggu keempat alias minggu terakhir dalam sebulan. Para istri memiliki agenda besar, yaitu berkumpul di taman kompleks sembari membawa anak-anak mereka. Di sana mereka berbagi cerita tentang suami mereka. Rata-rata pendapat mereka tentang seorang suami sama, yaitu manusia pemalas yang harus diberi pelajaran di hari Minggu.

“Suami saya sekarang sudah mengerti. Sejak saya ngambek sekitar enam bulan yang lalu, dia sekarang lebih sering membereskan sendiri peralatan kerjanya. Masak iya, istri juga yang harus membereskan urusan pekerjaannya?”

“Saya juga, Jeng. Suami saya sekarang sudah tidak menuntut saya untuk masak yang saya gak bisa. Masak iya saya setiap hari disuruh buat masakan yang sama persis dengan yang ibunya buat di rumahnya dulu. Saya kan juga punya selera sendiri.”

Begitulah satu per satu para istri dan ibu rumah tangga itu memulai percakapan. Topiknya tak jauh berbeda dari yang minggu kemarin ketika mereka arisan di rumah Bu Fitri.

Kemudian salah satu warga baru di lingkungan itu berbicara.

“Suami saya masih tetap tidak berubah.”

“Ha? Apanya yang tidak berubah, Jeng? Apa dia masih suka menyuruh kita yang aneh-aneh? Apa perlu kita susun rencana besar lagi untuk menjinakkan dia?” kata ibu-ibu lain dengan nada sangat jengkel.

“Tidak. Bukan begitu. Tapi entahlah. Saya memang ingin sekali suami saya berubah. Sedikit saja mungkin. Tapi sepertinya tidak bisa. Saya selalu kalah dengannya.”

“Begini Bu Irma. Anda memang masih anggota baru di perkumpulan ini. Tapi Anda jangan khawatir. Kita akan membantu untuk mengubah perilaku suami Anda itu.”

“Memangnya apa yang menjadi kebiasaan buruk suami sampean, Bu Irma?” Ibu-ibu lain mencoba menggali informasi lebih mendalam.

“Suami saya itu hampir tidak pernah membantu pekerjaan saya sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi seisi rumah.”

“Bahkan di hari Minggu?”

“Ya. Begitulah.”

Akhirnya perkumpulan itu menemukan topik serius untuk dibicarakan. Satu per satu para istri dan ibu rumah tangga kompleks perumahan Kalirejo itu memberikan pendapatnya. Bahkan, beberapa kali sempat terjadi perdebatan sengit mengenai perilaku suami Bu Irma yang belum juga memahami betapa berat dan sulitnya pekerjaan seorang istri di rumah.

Sementara itu, Bu Irma terus menyimak dan mencatat beberapa masukan yang coba diusulkan oleh anggota ibu-ibu yang menamakan diri mereka Aliansi Ibu-ibu Sekompleks Kalirejo. Mulai dari strategi ngambek, mengajak bertengkar, dan lain sebagainya. Akan tetapi, semua usulan itu tampaknya tak ada yang mengena di hati dan pikirannya. Bu Irma tak dapat memutuskan cara mana yang akan dipakainya. Meskipun demikian, ia bertekad akan berhasil menaklukkan suaminya itu.

“Coba sampean pakai trik ngambek. Itu sangat ampuh. Saya pernah ngambek. Gak makan seharian. Akhirnya suami saya mau mengerti keinginan saya,” kata salah satu ibu yang duduk di bangku taman.

“Saya malah berani mengancam akan pulang ke rumah orang tua saya jika saya diperlakukan seperti pembantu oleh suami saya sendiri. Dan cara itu berhasil,” kata ibu yang lain.

“Tapi suami saya ini berbeda dari suami ibu-ibu semua,” sahut Bu Irma, dan itu membuat ibu-ibu dalam ruangan itu tercengang.

“Maksud Bu Irma?”

“Suami ibu spesial? Apa dia memperlakukan ibu lebih parah dari yang pernah kami alami?”

“Tidak juga. Sebenarnya suami saya tidak spesial. Cuma ia orang yang sering menyendiri. Saya sebenarnya sudah kenal tabiatnya itu. Tapi akhir-akhir ini saya merasa terganggu dan saya merasa seperti tinggal sendirian di rumah meskipun ada suami,” Bu Irma menjelaskan.

Ia pun melanjutkan, “Saya dan suami saya memang pasangan muda yang baru menjelajahi kehidupan berumah tangga. Meskipun sudah lama menjalin hubungan, tapi akhir-akhir ini saya merasa suami saya sedang menelantarkan saya. Saya mengerjakan pekerjaan rumah sendirian tanpa ada pembantu. Bahkan suami yang selalu saya tunggu setiap kali ia pulang bekerja, juga tak ada niatan membantu pekerjaan saya.”

Semua penghuni taman itu diam; ibu-ibu, para istri, penjual cilok, dan anak-anak. Semua orang menyimak cerita Bu Irma. Menurut mereka, ini merupakan kasus baru dan harus segera ditangani. Aliansi ibu-ibu itu pun menggodok sebuah skenario besar untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Bu Irma. Perempuan harus bersatu untuk melawan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para suami. Minggu harus tetap menjadi hari kemerdekaan bagi istri, termasuk Bu Irma.

***

“Apa saja kerjaannmu, Mas?”

“Hari libur kamu masih malas-malasan. Apa kamu tidak tahu perjuanganku setiap hari membereskan rumah ini?”

“Jangan diam saja kalau diajak bicara, Mas.”

“Oke. Jadi kamu merasa menjadi raja karena rumah ini dibeli dari harta warisan keluargamu? Jadi kamu menanggap aku ini hanya numpang di rumahmu? Aku ini hanya pembantu? Hah?”

Ibu-ibu dan para istri kompleks perumahan Kalirejo tampak dari jauh sedang memantau dan sebagian lagi mendekat untuk menguping drama rumah tangga pagi itu. Si laki-laki tampak terpojokkan dan si perempuan tampak masih belum selesai dengan cercaannya.

“Bahkan di hari minggu begini aku juga yang harus mencuci dan menjemur pakaian? Lalu kerjamu apa di hari minggu? Hah? Apa mentang-mentang karena kamu yang cari uang, kamu bisa seenaknya? Kalau saja kamu dulu tidak melarangku terus bekerja, aku pasti sekarang sudah di posisi yang bagus di bank. Apa kamu lupa itu?”

Si laki-laki itu masih terdiam. Kepalanya menunduk. Tampak dari kejauhan beberapa ibu bersorak sorai, tapi segera yang lain menahannya. Mereka kembali bersembunyi di balik tembok pagar rumah di depan rumah Bu Irma.

“Entah bagaimana kamu bisa mencukupiku. Padahal kamu hanya tukang ojek dan tanganmu tak pernah lepas dari HP. Atau, jangan-jangan kamu masih menyimpan sisa warisanmu dariku?”

Laki-laki itu tak menjawab, tetapi matanya melirik pada layar gawai yang digenggamnya.

“Lihat itu! Cuciannya belum dijemur!”

Bu Irma dengan tegas menunjuk pada ember berisi cucian yang belum dibilas.

“Aku tak mengerti. Kenapa kamu cepat berubah seperti ini? Kenapa kamu soalah iri denganku? Kamu menyuruhku membilas cucian itu? Tanpa kamu suruh aku pasti akan membilasnya. Aku memang sedang akan membilasnya sebelum kamu marah-marah seperti ini. Aku bilas sekarang.”

Dengan cekatan, laki-laki itu mengangkat cucian lalu membilasnya di kran air. Sementara itu Bu Irma masih tampak bersungut-sungut, melipat kedua tangannya di dada. Dan keriuhan terdengar dari balik pagar rumah depan. Ibu-ibu kompleks itu tampak kegirangan. Mereka tidak sadar bahwa dari balik jendela ada seseorang yang sedang memotret mereka menggunakan gawai.

Sementara itu, di seberang, Bu Irma yang tadinya merasa senang dan puas mendadak tertunduk. Lipatan tangannya terurai. Ia seperti baru menyadari suatu hal, atau sepertinya ia sedang merasa bersalah kepada suaminya itu.

Suami Bu Irma telah selesai membilas dan menjemur pakaian mereka. Ia lalu meninggalkan Bu Irma yang masih terdiam. Suaminya melewatinya begitu saja. Ia lalu bergegas mengambil gawai yang sebelumnya ia mainkan.

Dari layar gawai itu terlihat aplikasi sedang terbuka. Itu adalah aplikasi menulis teks dan terbaca sebuah judul tulisan “Lelaki yang Menjemur Pakaian”.

Bondowoso, 2022.

ilustrasi: SICA, Pameran Bersama Archives.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan