Legalisasi Ganja dan Kaidah Fikihnya

762 kali dibaca

Ada kejadian tak biasa pada pekan Car Free Day (CFD) di Jakarta pada Minggu, 26 Juni 2022. Tampak seorang ibu-ibu sedang membawa putrinya yang duduk di kursi roda serta membawa selebaran bertuliskan “Tolong, anakku butuh ganja medis.” Lantas kejadian dan tulisan tersebut pun mengundang simpati dari peserta CFD, tak terkecuali masyarakat secara luas.Foto itupun menjadi viral, bahkan di beberapa media. Saya melihat foto itu divisualisasikan ulang dalam bentuk anime bernada simpatik.

Dilansir dari BBC News Indonesia, ibu tersebut bernama Santi Warastuti. Dia membutuhkan minyak Cannabidiol agar bisa menyembuhkan putrinya, Pika, dari penyakit cerebral palsy yang menjangkiti bagian otak. Lebih jauh, perempuan itu meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) segera menjawab putusan dalam upaya uji materi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal tersebut telah dilayangkan sebelumnya oleh Santi, beberapa orang tua pasien dengan penyakit yang sama, dan lembaga swadaya masyarakat.

Advertisements

Pengajuan itu telah dilakukan dua tahun sebelumnya, tepatnya pada November 2020. Tujuannya adalah agar legalitas narkotika golongan satu, seperti ganja disahkan dan bisa digunakan sebagai penelitian dan kepentingan kesehatan. Santi telah lama berjuang demi kesembuhan putrinya, seperti menggunakan terapi legal, kontrol setiap bulan ke rumah sakit, dan minum obat-obatan rekomendasi dokter. Namun, Santi mengatakan semua itu tidak menghentikan kejang-kejang yang dialami putrinya.

Kaidah Fikih terhadap Legalitas Ganja

Pemanfaatan ganja sebagai salah satu obat medis bukan hanya dialami pada Santi dan anaknya. Jauh sebelum itu, kasus lain juga pernah terjadi. Namun, mereka yang ketahuan menggunakan ganja sebagai obat dan kesembuhan atas dirinya atau orang-orang terdekatnya berakhir mendekam di penjara.

Tentu kita akan mengalami keambiguan dalam memberikan penilaian. Konstitusi mengatur pelarangan konsumsi ganja atas dasar kemaslahatan. Di satu sisi, orang-orang dengan penyakit tertentu membutuhkan ganja sebagai obat medis. Sebuah kenyataan yang kontradiktif.

Pada 2019, P Ridanto Busono, penderita penyakit neuropatik kronis ditangkap oleh polisi karena menggunakan ekstrak ganja sebagai obat pereda nyeri. Kondisi itu mulai menjangkiti tubuhnya sejak Ridanto mengalami kecelakaan pada 1995. Saat ini, Ridanto menjalani masa hukuman sembilan tahun di Rutan Kelas II-b, Jembrana, Bali.

Bagaimana kalau menggunakan obat-obatan resep dokter? Ridanto—menurut pernyataan kuasa hukumnya, Tomi—menyatakan bahwa resep obat legal dari dokter sudah dia tempuh, tapi tidak memperoleh hasil yang memuaskan. Bahkan, saat ini Ridanto sudah tidak mengonsumsi obat resep dokter lagi, karena khawatir terhadap ginjalnya. Tomi juga memberi keterangan bahwa tanpa adanya ganja medis, Ridanto kerap merasakan sensasi setruman setiap tiga detik di tangannya yang patah.

Kasus lain misalnya datang dari Fidelis Ari Sudarwoto, pria yang divonis 8 bulan penjara karena terbukti menanam ganja untuk mengobati istrinya yang sedang menderita penyakit Syringomyelia.

Tiga kasus atau fakta tersebut adalah bukti bahwa kebutuhan sejumlah masyarakat terhadap ganja medis sangat besar. Namun, nyatanya masih ada kekosongan hukum terkait aturan ganja medis. Maknanya, sebutuh apapun masyarakat terhadap ganja medis, jika tidak ada konstitusi yang mengatur, maka nihil.

Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia (RI) Ma’ruf Amin kemarin telah memberikan sirine kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar segera menerbitkan fatwa terkait pelegalan ganja medis. Namun, Sekretaris MUI Amirsyah menegaskan bahwa MUI akan terus melakukan pertimbangan lagi.

Amirsyah berargumen bahwa pelegalan ganja dan beberapa macam problematika yang ada tersebut harus selalu berpatokan pada prinsip ketetapan syariat. Maka dalam hal ini, tentunya maqashid syariah yang biasa kita kenal dalam konsep maslahat adalah menjadi barometernya.

Dalam maqashid syariah, sebagai barometer dalam penetapan fatwa MUI, setidaknya memuat lima aspek dasar. Lima aspek itu adalah hifdz nafs, hifdz mal, hifdz din, hifdz nasl, hifdz aql. Namun, di antara lima aspek ini, relevansi yang paling kuat dengan tema adalah hifdz nafs (menjaga diri atau jiwa). Hal ini juga dijelaskan oleh Amirsyah.

Jika ganja medis memang digunakan dengan semestinya dan dengan takaran yang direkomendasikan, maka tidak ada masalah dan masih bisa dipertimbangkan. Namun, jika sudah terjadi peyelewengan penggunaan, misal untuk kebutuhan tersier (hiburan atau kepuasan diri), maka itulah yang dihukumi haram.

Dalam qawaidh fiqh atau kaidah-kaidah fikih, ada lima hal pokok yang menjadi dasar dari hukum syariat (fiqh). Salah satu di antara lima kaidah itu adalah ad-dlararu yuzal (kemudaratan/madarat itu bisa dhilangkan). Kaidah ini berdasar kepada sebuah hadis Nabi yang berbunyi;

لا ضرر ولاضرار

Artinya, tidak memberi madurat kepada diri sendiri, juga kepada orang lain. Begitu kurang lebih maksud dari hadis ini. Hadis itulah menjadi cikal bakal kaidah pokok ad-dlararu yuzal tersebut.

Pada kaidah pokok ini, ada tiga kaidah cabang dengan spesifikasi masalahnya masing-masing. Tiga kaidah cabang itu yakni; ad-dlaruratu tubihul mahdzurat (kemudaratan membolehkan yang dilarang), ad-dlararu laa yuzalu bi-dharari (kemudaratan tidak bisa atau tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan juga), dan dar’ul mafasid muqaddam ‘alaa jalbil mashalalih (menolak keburukan lebih baik dari melakukan kebaikan).

Sementara itu, ganja adalah salah satu narkotika jenis 1 yang pemakaiannya dilarang oleh pemerintah. Bahkan, dalam agama pun dilarang dengan alasan memabukkan (analoginya sama dengan arak; qiyasul musawi dalam ushul fiqh). Namun, berdasar pada kaidah cabang yang pertama, sesuatu yang dilarang, pada kondisi-kondisi darurat itu dibolehkan.

Kasusnya sama dengan kita mengalami kelaparan di tengah gurun yang tandus, dan hanya ada makanan haram di sana (misal). Maka untuk mempertahankan hidup, makan makanan haram dibolehkan, dengan takaran yang ala kadarnya, cukup untuk menghilangkan kedaruratan. Implementasinya sama dengan ganja yang dilarang. Jika memang ganja menjadi satu-satunya harapan untuk terapi kesembuhan, maka menggunakannya untuk menghilangkan kedaruratan diperbolehkan.

Namun, kedaruratan yang dimaksud juga ada kriterianya, tidak ujuk-ujuk menentukan kedaruratan secara sewenang-wenang. Adib Bisri, dalam Risalah Qawaidh Fiqh menjelaskan bahwa ada 5 tingkatan kedaruratan terkait dengan kaidah cabang yang pertama tersebut, yaitu dharurat (bahaya/mati jika tidak segera diberi pertolongan), hajat (payah jika tidak secepatya ditolong), manfaat, zienah, dan fudlul.

Kedaruratan yang dimaksud dalam kaidah ad-dlaruratu tubihul mahdzurat tersebut adalah darurat dan hajat. Sedangkan, untuk manfaat, zienah, dan fudlul itu hanyalah kebutuhan tersier. Manfaat itu diibaratkan seperti orang yang ingin makan nasi, tapi terpaksa hanya mampu makan singkong. Zienah adalah seperti orang yang ingin makan lauk mewah, tap terpaksa makan dengan lauk yang sederhana. Sedangkan, fudlul adalah orang yang cenderung berlebih-lebihan. Maka, tingkat manfaat, zienah, dan fudlul tidak bisa membolehkan hal yang diharamkan.

Jadi, ganja dalam tahap proses legalisasi harus mempertimbangkan beberapa aspek. Aspek kebutuhan masyarakat juga penting, namun keterangan dari penelitian, kesehatan, dan agama juga harus menjadi tolok ukur bersama. Sebagai legal drafter dalam mengkaji konstitusi, tentu para ahli harus bisa memberikan pertimbangan yang matang. Sementara itu, pemerintah juga harus cerdik memilah dan memilih masyarakat yang memang kredibel untuk diikut sertakan dalam legal drafting dan proses legalisasi ganja yang dimaksud. Begitu juga MUI ketika memberi fatwa terhadap ganja medis. Wallahu a’lam...

Multi-Page

Tinggalkan Balasan