Banyak orang merasa resah dan bergidik setiap kali tiba Idul Adha. Lebih dari jutaan sapi dan domba disembelih dalam ritual Kurban. Ada orang yang mengatakannya secara berlebihan sebagai genosida hewan.
Ada yang tak kuasa menahan sedih ketika sapi itu dijatuhkan dan lehernya digorok. Ada yang ngilu mendengar lenguh rintihan suara sapi menjelang sekaratnya.

Ada yang menganggap ritual tersebut kejam dan biadab. Tetapi, mungkin ritual pengurbanan hewan yang telah berlangsung lama ini, yang menjadi sentral dalam agama-agama kuno, tidaklah seberapa.
Leluhur kita mungkin akan merasa lebih ngeri dan geram bila melihat penjagalan jutaan binatang di rumah potong hewan saat ini. Nyaris setiap hari binatang-binatang yang telah di-domestifikasi tersebut dipotong demi memenuhi permintaan kita atas daging setiap harinya.
Pemotongan sekuler itu dilangsungkan dengan tidak diiringi ritual-ritual yang memberikan hormat dan martabat pada hewan yang disembelih. Selain sekadar sebagai sumber makanan bagi manusia. Tentu lebih mengerikan dari pemotongan yang diritualkan dengan penuh martabat.
Rasa Hormat pada Hewan
Idul Adha sering dilihat sebagai momen refleksi tentang menyembelih ego, keangkuhan, atau memperkuat kerelaan, pengorbanan, menyisihkan harta benda untuk berbagi pada sesama.
Namun, bila mencoba melihat dari sudut yang lain, kita bisa melihat makna lain dari relasi antara manusia dan makhluk-makhluk lain. Makna berkurban yang lain.
Dalam tradisi Islam terdapat beberapa adab yang perlu dilakukan ketika menyembelih. Seperti hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, demikian terjemahannya:
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam proses sanksi qishah), maka berbuat baiklah (lakukan dengan baik) dalam cara membunuh dan jika kalian menyembelih, maka berbuat baiklah dalam cara menyembelih, dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.
Penyembelihan harus dilakukan dengan cara yang paling tidak menyakitkan serta penghormatan yang sebaik mungkin.
Disyaratkannya untuk menggunakan pisau yang paling tajam, agar lekas kesakitannya hilang. Diantarkannya lewat doa-doa dan takbir untuk mengiringi kematiannya.
Kematian untuk Kehidupan
Hewan-hewan yang berkurban itu adalah makhluk istimewa yang merelakan dirinya dalam kematian untuk kehidupan yang-lain, kehidupan manusia. Maka dengan penuh syukur dan penuh hormat, ucapan-ucapan terima kasih harus dialamatkan sebanyak mungkin pada hewan-hewan tersebut.
Dalam situasi seperti ini, para penyaksi ritual kurban tersebut menatap dengan penuh haru dan syukur pada nasib hewan yang ditakdirkan untuk dikonsumsi.
Menyadari bahwa kehidupan-kehidupan yang ada ditopang oleh kematian-kematian. Seperti api yang hidup dari hangusnya kayu menjadi debu. Kelak kita pun akan habis dan mati, untuk menyajikan kehidupan bagi yang lain.
Seketika kita menyadari kenyataan seperti ini; tentang kehidupan yang ditopang oleh kematian, tentang kenikmatan yang harus dibayar oleh penderitaan. Idul Adha ini harus menimbulkan efek besar dalam diri kita.
Kita harus mengamalkan kembali ikatan antara manusia dan alam yang dilandasi secara etis, resiprokal, dan bertanggung-jawab. Ketika kita memberi martabat dan rasa hormat yang sebesar-besarnya atas pengurbanan yang-lain, kita akan lebih penuh kesadaran atas setiap laku dalam hidup kita.
Kita perlu untuk mereformasi sikap kita, perasaan kita, dalam setiap hal-hal kecil yang kita lakukan. Setiap kita istirahat di kamar, di rumah, kita akan menyaksikan tembok, atap dan genting yang berasal dari material yang membentuknya, dari tanah, semen, batu, yang dulu tersimpan nun di suatu gunung yang harus mengurbankan dirinya untuk kita bisa bernaung.
Setiap kita mengendarai berbagai macam jenis kendaraan, kita tidak bisa lagi melenggang dengan ketidakpedulian yang tak acuh. Ada banyak ongkos yang harus dibayar, dari bahan bakar hingga seluruh material yang membentuk kendaraan itu.
Kesadaran itu harus meliputi setiap tindak tanduk sikap kita, dalam setiap aktivitas sehari-hari kita. Kesadaran ini akan merajut ulang relasi antara manusia dan alam yang telah terpisah dan robek ini.
Di hadapan krisis ekologi dewasa ini, kita perlu mereformasi secara radikal cara kita memandang dunia. Memberikan martabat yang penuh untuk setiap pengorbanan yang ada. Memandang dengan penuh hormat dan syukur atas setiap makhluk yang ada di semesta ini. Menggunakannya dengan hati-hati dan penuh perasaan, menjaga, dan menyayanginya. Menjadi kudus dan sakral kembali.
Bumi yang telah begitu banyak berkorban untuk kemanusiaan harus dibalas secara resiprokal dengan konservasi dan perawatan yang penuh kesadaran. Meninjau ulang kembali segala aktivitas ekonomi dan gaya hidup kita. Menyusun ulang dunia yang lebih layak dan mesra antara manusia dan alam, kembali.