Kronik Peristiwa 1965 (1): Di Antara yang Terbunuh…

3,697 kali dibaca

Pada suatu hari di tahun 1988, Gus Dur bercerita menarik tantang pembunuhan PKI pada peristiwa 1965. Begini singkatnya. “Kamu PKI, ya?” gertak seorang kopral kepada  sederet orang yang diborgol di bibir lubang kuburan massal di salah satu tempat di Malang Selatan, Jawa Timur.

Mboten ndoro, kulo sanes PKI, kulo BTI,” jawab seorang yang kebetulan persis di depannya.

Advertisements

Guuoblok!” bentak sang kopral mengakhiri. Dan hanya beberapa detik kemudian: dor-dor-dooor! Sekitar 30-an orang yang dijejer itu pun terjungkal masuk ke dalam lubang.

Ia, si penjawab yang terbunuh itu, memang benar-benar tak tahu apa itu PKI, persis seperti ia tak tahu apa itu BTI. Apalagi hubungan antara keduanya. Ia hanya tahu dan mendengar kabar dari teman-teman dan tetangganya bahwa PKI dilarang, pengikutnya ditahan atau dibunuh.

Tetapi, ia benar-benar tak tahu bahwa pengakuannya sebagai BTI ternyata tak juga menyelamatkannya dari maut, terkubur bersama 30 orang yang tak ia kenal. Sampai akhir hayatnya, ia tetap tak tahu apa bedanya PKI dan BTI, hingga di liang kubur massal.

Gus Dur tidak meneruskan ceritanya, dan orang yang mendengarkan disuruh memaknai sendiri.

Tidak hanya itu. Menurut kesaksian banyak orang di Madiun, terungkap bahwa Hasan Simin, seorang kiai desa di Magetan, tetap digorok lehernya meski diketahui sangat rajin beribadah, mengajar ngaji, dan tidak pernah melanggar ketentuan umum masyarakat sekitarnya. Ia dibunuh hanya karena tercatat pernah hadir di salah satu pertemuan BTI untuk membahas soal pembagian air irigasi sawah di desanya. Bahkan, sesaat sebelum digorok, atas izin si penggorok, ia sempat melaksanakan shalat isya.

Saya menyaksikan tujuh orang santri langgar yang tertangkap awal September 1965 disembelih bersama 20 orang lain dan dikubur dalam satu lubang di sebuah desa di Jember, Jawa Timur. Gara-garanya, mereka diajak perampok senior – dan diancam disiksa kalau tidak mau –  untuk menggasak toko kelontong dan sembako tetangga desanya, dan karena kepepet ekonomi dan ketakutan, mereka ikuti ajakan itu.

Mereka ditangkap bersama yang lain selang dua hari setelah perampokan itu terjadi. Celakanya, keturunan mereka harus menerima nasib pilu, dikucilkan dalam pergaulan sekolah dan sehari-hari dan sangat sulit mengurus surat-surat keterangan termasuk KTP, bahkan tidak mungkin menjadi pegawai, apalagi pegawai negeri.   Kisah tujuh orang santri langgar itu belum termasuk entah berapa orang di negeri ini yang terkubur selubang dengan warga PKI, semata-mata hanya karena mereka  mencuri ayam, sepeda onthel, pisang, atau pencopet di pasar. Mereka tertangkap menjelang 30 September 1965 dan belum dimeja-hijaukan.

Itu memang sekadar kasus, meski masih bisa ditambah kisah-kisah lain lagi. Tetapi, itu sudah cukup menggetarkan kita untuk bertanya: di mana sebenarnya letak ideologisnya?

Pembunuhan waktu itu ternyata tak peduli apakah benar-benar penganut (ideologis) komunisme, sekadar ikut-ikutan, atau malahan tak tahu apa-apa soal komunisme. Jangankan ajaran marxisme-komunisme, beda dan hubungan antara BTI dan PKI saja tidak tahu. Apalagi, ternyata sebagian dari mereka adalah muslim taat. Apakah kekeliruan yang disengaja, dan karena itu tak dimaafkan? Bisa jadi.

Marxisme, setelah diluncurkan penggagas awalnya, ditangkap dan ditafsirkan oleh sejumlah tokoh dan penguasa politik sangat bervariasi. Lenin dan Mao Tje Tung adalah dua di antara penafsir yang sangat popoler. Marxisme sebagai aliran pemikiran, mereka transformasikan menjadi ideologi gerakan, atau bahkan gerakan itu sendiri. Dan wujud gerakan yang mereka pilih adalah partai komunis yang, pada saatnya, tidak hanya berpengaruh di Unu Soviet dan China, tetapi juga di sejumlah negara lain seperti di Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu ditafsirkan beraliran pada tafsir kedua tokoh tersebut.

Akan, teapi apakah semua komunis Indonesia beraliran Lenin dan Mao yang atheis dan menghalalkan segala cara untuk menggerakkan revolusi? Bukankah Tan Malaka yang menganut komunis, justru dianggap “penghianat” dari pelaku pemberontakan PKI 1926 hanya karena ia mengajukan pertimbangan-pertimbangan rasional rencana revolusi saat itu yang menghalalkan segala cara. Begitu pula Hasan Raid,yang sejak kecil terdidik di surau dan murid Haji Rassul (pendiri Pesantren Thawalib Sumbar) ini, meskipun ia mengaku komunis, namun ia adalah pelopor dan setia sebagai pengajar sekolah Islam di Batu Sangkar, Bukittinggi, Sumbar.

Lalu ada Haji Misbach dari Solo. Di tengah kehidupannya sebagai tokoh utama SI garis merah, ia tetap rajin beribadah bahkan sempat menunaikan ibadah haji. Juga dua tokoh komunis dari NTB, Muhammad Basir dan Muslimin Yasin yang pada tahun 1952 menddirikan partai komunis di Lombok dan Sumbawa. Mereka tetap taat beragama Islam berpaham Masyumi dan Muhammadiyah. Itulah sebabnya PKI NTB, seperti diungkap Zakaria (Geger September 65: Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah), tidak pernah melakukan revolusi. Gerakannya hanya berkisar soal gugatan monopoli aset-aset ekonomi.

Haruskah orang yang tidak mengerti bedanya PKI dan BTI, para pencuri kelas teri yang hampir pasti tidak kaitanya dengan idelogi komunis, dan santri-santri yang nakal terpaksa merampok, dan kiai desa yang menghadiri pertemuan pembagian air irigasi dibunuh, secara harfiah dan keturunannya dimarjinalisasi bahkan didiskriminasi? Entahlah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan