Kritis Membaca Kitab Kuning Bersama Ibn Rusyd

Di antara rak-rak kayu tua perpustakaan di lingkungan pondok pesantren, biasanya berjejer kitab-kitab kuning yang telah usang. Sebagian tertumpuk tanpa sampul.  Sebagian lainnya masih dibacakan secara rutin dalam halaqah-halaqah kecil.

Sumber: https://images.app.goo.gl/1DeaKboydcGyoZT5A

Kitab-kitab itu menjadi nadi pengetahuan di pesantren: dari fikih, ushul fikih, balaghah, hingga tasawuf. Namun jarang sekali nama Ibn Rusyd muncul di antara teks-teks yang dibaca. Bukan karena ia tidak penting, tetapi karena pemikirannya dianggap terlalu “filsafat”, terlalu rasional, dan mungkin terlalu berani bagi sebagian kalangan yang telah lama terlatih dalam pola pikir taqlid dan tafaqquh. 

Advertisements

Namun sesungguhnya, di balik sunyi nama Ibn Rusyd dalam tradisi pesantren, terdapat warisan besar yang patut diangkat kembali ke permukaan. Tahāfut al-Tahāfut, karyanya yang terkenal, merupakan sebuah perlawanan intelektual terhadap kejumudan pemikiran. Ia bukan semata respons terhadap al-Ghazali yang menulis Tahāfut al-Falāsifah, melainkan sebuah manifesto tentang pentingnya akal dalam memahami wahyu, teks, dan kenyataan.

Dalam dunia yang semakin membatasi ruang tafsir, Ibn Rusyd tampil sebagai suara yang tegas namun tenang, kritis namun penuh adab. Ia tidak mencaci lawan-lawan pemikirannya, tapi mengajak berdialog dalam bahasa yang runtut, tajam, dan penuh tanggung jawab ilmiah. 

Dalam Tahāfut al-Tahāfut, Ibn Rusyd membela para filsuf dari tuduhan kufur yang dilontarkan oleh al-Ghazali. Ia menilai bahwa al-Ghazali tidak membedakan antara kesalahan logika dan kesalahan akidah.

Misalnya dalam isu kekekalan alam, pengetahuan Tuhan tentang partikular, dan kebangkitan jasmani, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa perbedaan pandangan tidak serta merta membatalkan keimanan seseorang. Baginya, banyak ulama terjebak pada pemahaman literal terhadap ayat-ayat mutasyabihat, padahal Allah sendiri menyuruh hamba-Nya untuk bertadabbur dan menggunakan akal. Wahyu tidak dimaksudkan untuk membungkam akal, melainkan menuntunnya agar tidak tersesat. 

Apa yang diperjuangkan Ibn Rusyd sejatinya bukan filsafat Yunani, bukan sekadar Aristotelianisme, melainkan martabat akal manusia sebagai karunia ilahiyah. Ia tidak menolak wahyu.  Sebaliknya, ia menganggap akal sebagai jembatan sah menuju pemahaman wahyu yang lebih dalam dan utuh.

Dalam hal ini, Ibn Rusyd berseberangan dengan kecenderungan sufistik al-Ghazali yang lebih menekankan pencapaian makna melalui kasyf dan ma’rifah. Ibn Rusyd memilih jalan rasional, tidak karena menolak spiritualitas, tetapi karena ia percaya bahwa manusia, sebagai makhluk berpikir, memiliki tanggung jawab moral untuk menguji kebenaran dengan nalar sebelum menerima kebenaran dengan hati. 

Dalam konteks pesantren, pemikiran Ibn Rusyd sebetulnya sangat relevan. Kitab kuning mengajarkan manthiq (logika), ushul fiqh (metode istinbath hukum), dan kalam (teologi) yang semuanya menuntut keterampilan berpikir kritis. Namun terkadang, pelajaran itu hanya bersifat prosedural, tanpa mendorong keberanian untuk bertanya dan menguji kembali apa yang sudah dianggap mapan. Ibn Rusyd menawarkan alternatif: bahwa tradisi bukan untuk disembah, tetapi untuk dirawat dengan cara diperbaharui melalui akal sehat dan dialog terbuka.

Sumber: https://pin.it/LlfooztXl

Ada satu sisi penting dari Ibn Rusyd yang sering luput dibahas: etika berpikir. Dalam Tahāfut al-Tahāfut, ia menunjukkan keteladanan luar biasa dalam berdebat. Ia mengutip lawannya dengan akurat, tidak memelintir argumen, dan menanggapi secara sistematis. Ia menolak mencaci, apalagi memvonis.

Dalam tradisi pesantren, inilah yang disebut adab al-bahs wa al-munazharah, etika dialog ilmiah. Kita sedang kekurangan teladan seperti ini hari ini, baik di ruang kelas, mimbar keagamaan, maupun dunia digital. Perdebatan telah kehilangan kesabaran dan kejujuran. Ibn Rusyd mengingatkan kita bahwa berpikir tidak cukup hanya benar, tetapi juga harus santun dan bertanggung jawab. 

Lebih dari itu, Ibn Rusyd adalah pembela kemanusiaan. Ia menulis bukan demi kemenangan ide, tetapi demi pembebasan manusia dari ketakutan atas pikirannya sendiri. Ia tidak ingin manusia hidup dalam ketaatan membabi buta, tetapi dalam pemahaman yang sadar. Maka baginya, ilmu bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan agama, tetapi jalan menuju kebebasan spiritual. Dalam kerangka ini, Tahāfut al-Tahāfut adalah teks emansipatoris, yang melawan kemapanan tanpa menjadi anarkis, dan mengajarkan kritik tanpa kehilangan rasa hormat terhadap tradisi. 

Bayangkan jika pesantren-pesantren hari ini membuka ruang untuk membahas Ibn Rusyd secara jujur. Para santri akan melihat bahwa dunia keilmuan Islam bukan monolitik, tetapi plural dan dinamis. Mereka akan belajar bahwa menjadi ulama tidak berarti menutup diri dari filsafat, tetapi justru mengolah filsafat agar menjadi teman setia dalam memahami syariat. Mereka akan mengerti bahwa Islam tidak pernah anti-akal, justru menjunjung tinggi nalar sejauh ia dilandasi oleh niat tulus mencari kebenaran. 

Pada akhirnya, Ibn Rusyd mengajarkan kita bahwa kitab, baik kuning maupun putih, baik berbahasa Arab maupun Latin, bukanlah benda mati. Ia hidup sejauh kita membacanya dengan hati yang jernih dan akal yang jujur.

Membaca Tahāfut al-Tahāfut bukan sekadar menelusuri jejak filsuf abad pertengahan, melainkan membuka kembali ruang tafsir yang selama ini tertutup oleh prasangka dan ketakutan. Di tengah zaman yang gaduh dengan dogma dan hoaks, suara Ibn Rusyd menjadi oase: tenang, berani, dan mencerahkan. 

Maka, saat kita membuka kitab kuning dalam pengajian malam hari, dengan kopi hitam dan suara jangkrik dari kejauhan, barangkali kita bisa sisipkan juga lembaran dari Ibn Rusyd. Bukan untuk menggantikan, tetapi untuk melengkapi. Agar tafsir menjadi lebih dalam, dan agar ilmu menjadi lebih membebaskan. Karena pada akhirnya, kitab kuning bukan hanya warisan ulama, tapi juga medan perjumpaan antara akal, iman, dan kemanusiaan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan