Di antara rak-rak kayu tua perpustakaan di lingkungan pondok pesantren, biasanya berjejer kitab-kitab kuning yang telah usang. Sebagian tertumpuk tanpa sampul. Sebagian lainnya masih dibacakan secara rutin dalam halaqah-halaqah kecil.

Kitab-kitab itu menjadi nadi pengetahuan di pesantren: dari fikih, ushul fikih, balaghah, hingga tasawuf. Namun jarang sekali nama Ibn Rusyd muncul di antara teks-teks yang dibaca. Bukan karena ia tidak penting, tetapi karena pemikirannya dianggap terlalu “filsafat”, terlalu rasional, dan mungkin terlalu berani bagi sebagian kalangan yang telah lama terlatih dalam pola pikir taqlid dan tafaqquh.

Namun sesungguhnya, di balik sunyi nama Ibn Rusyd dalam tradisi pesantren, terdapat warisan besar yang patut diangkat kembali ke permukaan. Tahāfut al-Tahāfut, karyanya yang terkenal, merupakan sebuah perlawanan intelektual terhadap kejumudan pemikiran. Ia bukan semata respons terhadap al-Ghazali yang menulis Tahāfut al-Falāsifah, melainkan sebuah manifesto tentang pentingnya akal dalam memahami wahyu, teks, dan kenyataan.