Pondok pesantren diminta untuk meninjau ulang metode pendidikannya, terutama dalam pembacaan terhadap teks-teks klasik dari kitab kuning. Hal tersebut diperlukan agar iklim tradisi intelektual dalam dunia muslim tidak mandek atau jumud. Kritik itu salah satunya datang dari Muhammad Abed Al-Jabiri
Abed Al-Jabiri dikenal sebagai filsuf, pemikir, dan intelektual muslim besar asal Maroko. Ia lahir di Maroko ―tepatnya di kota Figuig― pada 27 Desember 1936. Sebagai seorang muslim, Al-Jabiri memulai pendidikannya di sekolah agama untuk mempelajari dasar-dasar ilmu agama.

Setelah itu, Al-Jabiri melanjutkan sekolah tingkat menengah di Madrasah Hurrah Wataniyyah dan sekolah setingkat SMU milik pemerintah di Casablanca. Di sinilah Al-Jabiri mulai mempelajari ilmu-ilmu umum. Saat menempuh pendidikan tinggi, Al-Jabiri mulai mmepelajari filsafat hingga ia memperoleh gelar doktor falsafah pada tahun 1970.
Salah satu kritik Al-Jabiri yang paling fenomenal ialah kritik nalar Arab. Yang dibukukan dalam karyanya yang berjudul “Naqd al-‘Aql al-‘Arabi”, yang berarti kritik terhadap akal Arab. Kritik terhadap nalar yang mengutamakan teks sebagai sumber utama pengetahuan.
Dalam pandangan Al-Jabiri, nalar Arab diartikan sebagai kumpulan kaidah atau prinsip yang berasal dari peradaban dan kebudayaan Arab yang dijadikan landasan dalam memperoleh pengetahuan. Al-Jabiri membedah bagaimana warisan pemikiran klasik telah membentuk pola pikir umat Islam yang memberlakukan teks sebagai sesuatu yang mapan (bahkan profan) dan tidak bisa diotak-atik.
Menurut Al-Jabiri, pemikiran Islam lebih banyak didominasi oleh corak pemikiran epistemologi bayani. Epistemologi bayani berusaha menempatkan teks sebagai kebenaran mutlak. Adapun, akal hanya menempati kedudukan sekunder. Artinya akal berada dibawah teks. Ciri pendekatan burhani terletak pada penggalian makna dari sisi bahasa, baik berupa tata bahasa seperti; nahwu, sharaf, balaghah ataupun dari sisi sastra.
Kondisi ini relevan dengan pola pikir masyarakat pesantren di Indonesia yang menganggap kitab kuning sebagai otoritas tertinggi yang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat. Segala permasalahan yang ada selalu diserahkan kepada teks sebagai sebuah solusi pemecahan masalah tanpa mempertimbangkan konteks terkait.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di sebagian pesantren klasik, metode pembelajaran yang diterapkan berupa pembacaan arti atau terjemahan kitab kuning dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, disertai dengan sedikit penjelasan yang berkaitan dengan teks. Hubungan antara teks dengan konteks zaman sekarang jarang sekali disinggung dalam sebuah kajian kitab kuning.
Kondisi yang seperti ini dapat memunculkan sikap fanatik terhadap teks. Karena menganggap bahwa semuanya yang tertulis dalam teks merupakan sebuah kebenaran. Padahal teks selalu berkelindan dengan budaya, lingkungan, kondisi sosial-politik sang penulisnya. Selain karena dapat berakibat mudah menyalahkan orang, hal ini jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan stagnasi produksi keilmuan. Karena diskursus yang ada hanya membahas pengetahuan pada masa lampau tanpa memperhatikan konteks zaman.
Al-Jabiri menawarkan sebuah solusi berupa sikap mengembangkan akal burhani. Yakni nalar rasional yang berakar pada logika, argumentasi, dan bukti empiris. Apabila dalam epistemologi bayani pemikiran lahir dari sebuah teks, burhani justru memunculkan makna terlebih dahulu daripada kata-kata. Oleh sebab itu, maksud epistemologi burhani adalah untuk mengukur kebenaran sesuatu dengan komponen berupa akal.
Dalam konteks pesantren, pendekatan ini dapat diterjemahkan sebagai upaya integrasi antara turats (warisan intelektual klasik) dengan pengetahuan kontemporer dan metode ilmiah. Adanya integrasi antara kedua epistemologi ini diharapkan dapat menjembatani antara warisan intelektual klasik dengan perkembangan zaman.
Kesimpulannya, Al-Jabiri tidak mengajak untuk menafikan turats atau warisan klasik. Melainkan menekankan pentingnya menyeleksi dan membaca ulang turats dengan pendekatan kritis. Ia memperkenalkan istilah al-qira’ah al-ma’quliyyah li al-turats (pembacaan rasional terhadap tradisi).
Dalam konteks ini, pesantren perlu mulai meninjau ulang metode pengajaran, memperluas nalar dan perspektif santri, serta mendorong budaya diskusi dan berpikir kritis. Ini bukan berarti menggantikan kitab kuning, tetapi menjadikannya sebagai bahan dialog dengan tantangan zaman, bukan sebagai sumber kebenaran yang absolut.