Kontekstualisasi Pembelajaran Sejarah

Di kelas-kelas sejarah, kita diajari mengingat tanggal atau tahun-tahun bersejarah seperti 1945, 1965, 1998. Kita diminta menghafal siapa yang mendeklarasikan kemerdekaan, siapa yang terlibat dalam G30S, dan kapan Sumpah Pemuda dikumandangkan. Tapi pertanyaan yang lebih penting jarang diajukan adalah “Kenapa kita harus tahu ini semua dan apa maknanya untuk hidup kita hari ini?”

Kita tumbuh dengan sejarah yang lebih sering menjadi museum daripada cermin. Ia dikurung dalam buku teks, dikunci dalam format ujian pilihan ganda. Jadilah pelajaran sejarah sebatas rutinitas: dibaca, dihafal, diuji, lalu dilupakan. Tak heran jika generasi muda mengenal nama-nama pejuang hanya sebatas nama jalan. Bung Hatta, Diponegoro, Ki Hajar Dewantara—semua terdengar akrab tapi asing. Akrab karena sering disebut, asing karena tak pernah sungguh-sungguh dicerna.

Advertisements

Masalahnya bukan pada sejarahnya, tapi pada cara kita menyampaikannya. Sejarah jadi seolah-olah milik masa lalu, padahal semestinya ia juga hidup dalam perbincangan masa kini. Ia harusnya mengusik cara kita melihat dunia hari ini: tentang ketimpangan, keberanian, perubahan sosial.

Yang menyedihkan, kita diajarkan untuk tahu, bukan untuk paham atau mengingat, bukan untuk merefleksikan. Maka lahirlah lulusan-lulusan yang tahu kapan Indonesia merdeka, tapi tak paham kenapa kemerdekaan itu layak diperjuangkan.

Kita sering membanggakan bahwa pelajaran sejarah adalah cara mengenalkan anak-anak bangsa pada identitasnya. Tapi kalau kita jujur, banyak ruang kelas hanya menjadikan sejarah sebagai parade fakta. Guru berbicara panjang lebar, murid mencatat, lalu hafal. Selesai. Ujian menjadi panggung utama, bukan pemahaman.

Dalam sistem pendidikan kita, kemampuan mengulang informasi lebih dihargai ketimbang kemampuan berpikir kritis. Murid yang bisa menyebutkan tahun runtuhnya VOC dapat nilai tinggi, tapi yang bertanya “kenapa VOC bisa jatuh?” justru sering dianggap mengganggu jalannya pelajaran.

Itu sebabnya, sejarah kehilangan nyawanya sehingga tidak lagi menjadi ruang pembelajaran sosial yang hidup dan menginspirasi. Dan sejarah berubah jadi beban hafalan yang harus dituntaskan sebelum bel istirahat berbunyi. Padahal, sejarah seharusnya menyalakan kesadaran. Sejarah adalah panggung bagi manusia untuk belajar tentang sebab akibat, tentang jatuh dan bangkit, tentang pilihan-pilihan moral yang berdampak panjang.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan