Konflik, Dampak Rendah Literasi

1,373 kali dibaca

“Perbedaan adalah berkah”, demikian yang selalu dijadikan tameng mengatasi potensi konflik sosial. Bahwa perbedaan akan menciptakan keindahan dan menjadi semboyan bangsa Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika. Namun menurut Amy Gallo, perbedaan tidak otomatis menghasilkan sesuatu yang positif sebab seringkali berujung pada konflik. Konflik bisa dalam bentuk konfrontasi langsung maupun pasif dalam bentuk keenggenan berkomunikasi.

Konflik memiliki dimensi metafisis yang melampaui analisis praktis. Konflik bisa dianggap sebagai simbol bahwa perpecahan adalah suatu keharusan. Setiap manusia perlu memasuki diskusi dengan orang-orang yang berbeda dengan pikiran terbuka. Membebaskan diri dari siapapun lawan bicara dan apapun bentuk argumennya.

Advertisements

Ada beberapa sumber konflik yang terjadi. Pertama, konflik di tataran substansi, yaitu perbedaan pandangan mengenai isi dari tugas atau persoalan yang ada di depan mata. Kedua, konflik di tataran relasional, seperti tidak menyukai orang yang lain sebab karakter atau sikapnya mengenai masalah tertentu. Ketiga, konflik di tataran perseptual, yaitu melihat satu masalah yang sama dari sudut pandang yang berbeda.

Penyelesaian konflik di zaman modern tidak semudah menggunakan metode kuno dengan berdialog atau bermusyawarah. Saat ini, dunia tidak sedang pada kehidupan yang rasional dengan prinsip hidup yang argumentatif. Kevalidan data dan keakuratan analisis suatu masalah tidak serta merta menyadarakan seseorang di pihak yang bersebrangan untuk mengakui kesalahan.

Media sosial mendukung eksistensialisme manusia senantiasa bersikap egois tentang klaim kebenaran. Mengedepankan emosi kebencian dan kemarahan daripada menerima kebenaran. Permintaan maaf menjadi sesuatu yang tabu. Fitnah dan adu domba dijadikan cara merebut kekuasaan dengan cara menciptakan konflik di tengah masyarakat.

Akar konflik terjadi karena kesempitan berpikir dan cara pandang yang konservatif. Kesempitan berpikir menciptakan perilaku diskriminasif, radikalisme, dan terorisme. Kecenderungan untuk memutlakan kebenaran atas pandangan sendiri dan menolak untuk menerima kebenaran dari sudut pandang orang lain menandai kurangnya empati. Selalu merasa benar meskipun tidak berpijak pada akal sehat dan realita yang ada.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan