Kisah Mazhab Empat Pilar

900 kali dibaca

Sebagai kitab yang selalu selaras dengan zaman, Al-Quran tidak cukup dengan 30 juz. Namun, karena setiap katanya mempunyai banyak makna, menjadikan Al-Quran sebagai kitab yang fleksibel. Hadirnya hadis juga memberi arahan dalam Al-Quran. Oleh karenanya, hadis hadir sebagai penjelas dari setiap tujuan dan maksud dalam Al-Quran.

Al-Quran dan hadis tidaklah cukup untuk menjawab berbagai persoalan. Oleh karenanya, ada empat mazhab yang memberi jalan bagi pemeluk agama Islam. Memudahkan, memberi cara, arahan, dan menjawab segala permasalahan yang dibutuhkan setiap masyarakat.

Advertisements

Kita tahu bahwa mazab fikih umat muslim ada empat. Buku ini tidak mengupas masalah fikih yang seringkali menjadi perbedaan di masyarakat. Namun, buku ini hadir untuk mengupas biografi dari keempatnya. Membahas latar belakang, rekam jejak pendidikan, dan pola pikir yang dibangun.

Pertama Imam Hanafi. Beliau bernama Abu Hanifah an-Nu’man, lahir di Kufah pada tahun 80 H. Beliau keturunan orang kaya. Ayahnya pedagang sutera. Beliau ikut ke mana ayahnya berdagang. Namun, beliau mempunyai kebiasaan berdiskusi dengan orang-orang. Hinga sampai suatu hari beliau berdiskusi dengan seorang ulama dan memberi saran agar Abu Hanifah belajar ilmu agama karena kecerdasan yang dimilikinya.

Beliau hidup di zaman perpindahan kekuasaan dari dinasti Bani Umayyah ke Bani Abbasyiyah. Mulanya, beliau mendukung pemerintah, namun belakangan beliau dimintai fatwa yang bertentangan dengan pemahamannya demi ambisi pemerintah. Ditambah lagi kehidupan ulama yang lebih memilih sebagai penjilat penguasa. Acap kali putusan alhi fikih keliru demi memuaskan ambisi para penguasa. Meski demikian, Abu Hanifah tetap berpegang teguh pada kebenaran agamanya. Tak ayal, pendapat beliau sering bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan pemerintah.

Abu Hanifah tidak henti-hentinya menjelaskan pada khalayak umum tentang ajaran agama Islam. Beliau tetap berpegang teguh atas pendirian dan ilmu pengetahuannya. Meski berkali-kali diberi upeti dari pemerintah demi memuluskan hasratnya, sebanyak itu pulalah Abu Hanifah menolak.

Singkatnya, beliau berfatwa demi menegakkan agama Islam. Tak jarang, banyak ahli fikih di masanya mengahasut dan meminta pemerintah untuk menghukum Abu Hanifah. Puncaknya, beliau dipenjara. Bliau disiksa setiap kali menolak jabatan yang ditawarkan oleh pemerintah. Puncaknya, ketika kesehatannya semakin melemah, beliau karena diracun khawatir perlakuan pemerintah bocor ke khalayak umum (hal 45).

Kedua, Imam Malik. Beliau menghabiskan seluruh hidupnya di kota Madinah. Lahir, tumbuh, belajar, dan mengajar di Madinah. Jika ada perihal yang membuatnya keluar Madinah, maka tak lain adalah dalam rangka melaksanakan ibadah haji. Kecintaanya kepada kota Nabi membuatnya bertahan meski beliau harus menerima siksaan dari penguasa karena perbedaan hukum fikih.

Kehidupan yang seringkal bertentangan denganpemerintah tidak menyusutkan niatnya untuk memberi fatwa kepada mereka. beliau tetap memberi masukan kepada pemerintah pada musim haji.

Selama kurang lebih 30 tahun, beliau tidak terpisah dengan ulama ahli fikih. Dari mereka, beliau menerima, meneliti, memeriksa sanad, dan memelajarinya untuk beristinbath atas kasus-kasus baru. Dari mereka, beliau belajarAl-Quran dan hikmah. Ia bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi serta hal ikhwal manusia serta mempelajari berbagai hubungan muamalat. Hasilnya, beliau mempunyai pandangan khas dan bersikap mandiri dengan pandangannya (hal 61).

Ketiga, Imam Syafi’ie. Beliau merupakan ulama yang sangat cerdas. Meski begitu, beliau pernah menjadi pejabat pemerintah di daerah Najran, Yaman. Beliau berlaku adil dan bijak, namun difitnah oleh penguasa Najran dan disebut sebagai pemberontak terhadap pemerintah hingga beliau mendapat hukum pancung dari Harun ar-Rasyid. Beliau dituduh sebagai kelompok Alawiyyin yang mendukung Ali.

Bukan tanpa alasan kenapa Imam Syafi’ie sayang dan cinta kepada keluarga Ali. Karena Ali merupakan sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad saw. Beliau mengakui sangat mencintai Ali, namun beliau menolak termasuk atau terlibat dari golongan Alawiyyin.

Terakhir, Imam Ahmad bin Hambal. Beliau merupakan salah satu murid dari Imam Syafi’ie. Dalam banyak hal, Imam Ahmad banyak berbeda pendapat dengan gurunya. Meski berbeda, beliau tidak serta mengklaim pendapat dirinya adalah yang paling benar. Sekali lagi, pendapat beliau melihat situasi dan kondisi yang berbeda dengan gurunya.

Semenjak ditinggal ayahnya, ibunya mendidik dan membesarkan Ahmad bin Hambal seorang diri. Meski banyak lelaki yang berusaha mendapatkan cintanya, ibunya menolak agar perhatiannya kepada putranya tidak terbagi. Ibunya juga menanam nilai luhur Islam dalam lubuk hati putranya sejak usia kanak-kanak (185).

Maka, dasar dasar ilmu agama yang sudah dikuasai sejak kecil menjadikan Ahmad bin Hambal menjadi pelajar yang semangat dan gigih.hingga akhirnya beliau berguru kepada Imam Syafi’ie.

Empat imam tersebut semuanya hidup pada tahun-tahun yang berdekatan, dengan pikiran yang cemerlang, laksana untaian emas langka dalam rangkaian cahaya. Mereka hidup dalam kurun waktu satu abad, pada akhir masa Bani Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah. Mereka mengalami cobaan dan ujian, namun mereka tidak mundur dari pandangan mereka, dan tidak pula menundukkan kepala (302).

Walau berbeda pendapat, mereka tetap menghargai pendapat ulama sezaman dan ulama pendahulunya. Mereka sangat menghargai ilmu, beradab sebagaimana ilmu yang mereka miliki.

Data Buku

Buku               : Biografi Empat Imam Madzhab
Penulis            : Abdurrahman al-Syarqawi
Penerjemah    : Moh. Ainul Yaqin dan Hilman H. Subagyo
Penerbit          : Qaf
Terbitan           : Oktober 2020
ISBN               : 978-602-5547-88-1
Tebal Buku      : 311

Multi-Page

Tinggalkan Balasan