Kiai Rifai, Gerakan Literasi dan Perlawanan pada Kompeni

823 kali dibaca

Perjumpaan santri bersama dengan apa yang dewasa ini disebut “giat literasi” yang mulai banyak di kampanyekan sebab berbagai hal merupakan peristiwa kultural dalam dunia pesantren. Kita tidak bisa membahas pesantren dan santri lalu mengesampingkan kultur baca-membaca kitab misalnya, atau hafal-hafalan nadhom nahu-saraf, tulis-menulis arab imlak dan pegon. Semuanya dibahas dan saling berhubungan dalam satu kompartmen.

Hal tersebut merupakan peristiwa-peristiwa atau proses peletakan dasar membentuk kebiasaan santri dalam memacu minat terhadap literasi. Bahkan, dunia pesantren tidak hanya membentuk kultur literasi yang berhenti pada pemaknaan peristiwa baca-membaca dan tulis menulis. Akan tetapi, santri juga dituntun untuk membaca lingkungannya, dari yang sederhana misalnya membaca lingkungan dan atau teman satu kamarnya. Pada tahap ini literasi atau peristiwa baca-membaca telah sampai pada pemaknaan yang lebih luas.

Advertisements

Berangkat dari itu, dan juga yang penulis sering jumpai di berbagai literatur tentang santri dalam memproduksi pengetahuan terkait khazanah keislaman, ternyata banyak memenuhi media-media cetak. Itu artinya bahwa sedikit-banyak kultur yang dibentuk dalam dunia pesantren yang sebelumnya disebut tadi telah dapat menciptakan paling tidak iklim intelektual santri. Sampai di sini ternyata peran kiai pesantren juga tidak bisa kita abaikan.

Sebagai pimpinan pesantren, Gus Dur menyebutnya sesepuh, kiai adalah orang yang memberikan pemahaman ilmu serta yang membentuk karakter seorang santri. Karakter dalam hal ini tidak hanya karakter yang tendensinya ke arah watak, tapi karakter di sini juga termasuk karakter pemikiran seorang santri. Sehingga setiap santri memiliki karakter pemikiran yang sangat beragam.

Kiai Aktivis Literasi di Pedalaman Jawa

Sebagian kita mungkin masih asing dengan kiai yang satu ini. Beliau adalah KH Ahmad Rifai yang hidup sezaman dengan Syekh KH Nawawi Al-Bantani dan Syekh KH Kholil Bangkalan. Ketiganya pernah bertemu di Tanah Haram sana saat menimba ilmu. Nama KH Ahmad Rifai hampir lenyap dari panggung sejarah keislaman di Jawa. KH Ahmad Rifai lahir di Desa Tempuran, Kendal, pada 1 muharram 1200 H atau bertepatan dengan 4 November 1785 M.

Dalam pengembaraannya mencari ilmu di Tanah Haram, beliau orang yang sangat haus akan ilmu. Sepulangnya dari menimba ilmu, beliau lalu memilih Kalisalak, daerah terpencil di pedalaman Kabupaten Batang, Jawa Tengah, sebagai lahan perjuangannya. Perjuangan yang seperti apa? Perjuangannya menumpas kebodohan dan melawan penjajah.

Di Kalisalak, KH Ahmad Rifai mendirikan pondok pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Kalisalak. Pondok ini masih eksis hinga sekarang. Di Kalisalak ini juga Kiai Rifai memulai perjuangannya dengan produktif mencipta karya tulis kitab buah pikiran dan sebagai aktivitas literasinya, yang kemudian diajarkan kepada masyarakat yang memang waktu itu berada pada krisis keagamaan dan moral ditambah kondisi negara dalam cengkeraman penjajah.

Di waktu yang berbeda dengan kondisi yang hampir sama, aktivitas literasi dikembangkan dalam bentuk yang lebih informatif dan efektif oleh para tokoh pergerakan di era selanjutnya dengan membangun corong-corong perjuangan, seperti membentuk berbagai surat kabar dan majalah sebagai wadah mencurahkan gagasan tentang misalnya menentukan nasib bangsa. Tulisan-tulisan mereka di surat kabar cukup menggugah kesadaran dan tentunya mengusik penjajah. Sebut, misalnya, HOS Tjokroaminoto, Soewardi Soeryaningrat, atau Ki Hajar Dewantara dan masih banyak lagi.

Mbah Rifai, panggilan KH Ahmad Rifai, dengan produktif menulis kitab berbentuk bait-bait syair nadhom berbahasa Jawa yang oleh para jemaahnya kemudian kitab-kitab itu dikenal dengan nama Tarajumah. Mbah Rifai ingin masyarakat waktu itu bisa memahami ajaran agama dengan mudah. Dari penelusuran penulis pada beberapa literatur, tercatat Mbah Rifai telah menulis kitab kurang lebih 50-an dan setiap kitabnya bermacam-macam bahasannya.

Mbah Rifai kelihatannya tidak ingin karya-karyanya hanya dikaji dan dipahami di lingkungan pesantren. Ia juga ingin karya-karyanya bisa bermanfaat untuk masyarakat luas waktu itu. Semangat perjuangannya adalah untuk ngical aken kebodohan dan ngurip-ngurip agama Islam (menghilangkan kebodohan menghidupkan agama Islam) di tengah masyarakat. Beliau terus mengajar dan memberi pemahaman tentang ajaran agama ke daerah pedalaman dari kitab yang ditulisnya.

Metode pengajaran yang dilakukan Mbah Rifai kala itu dengan cara bandongan. Hal ini tentunya mengingat kondisi masyarakat waktu itu yang masih butuh “dituntun” untuk memahami ajaran agama. Metode lain misalnya digunakan cara semaan dibaca bait per bait dan dilagukan, sehingga kitab yang berbentuk syair nadhom berhbahasa Jawa ini mudah dihafal dan diingat. Kegiatan itu terus berlangsung di surau-surau yang ada di desa-desa.

Utawi ilmu ushuluddin pertelane
Pertelane ilmu ushul yaiku ngaweruhi bab iman tinemune
Lan barang kang ta’alluq ing iya wicarane
Lan ngaweruhi ing Allah kewajiban
Lan muhale lan jaize kinaweruhan
Lan kaya mangkono ngaweruhi kewajiban
Hake para rusul muhale lan kawenangane
Iku nyata nuli aja kataqsiran
(penggalan nadhom Mbah Rifai tentang ilmu ushuluddin)

Kebanyakan karya Mbah Rifai tulis merupakan kitab-kitab tentang ushul, fikih, dan tasawuf. Hampir semuanya ditulis dalam bentuk nadhom berbahasa Jawa. Hal yang menarik dari kitab-kitab yang beliau tulis adalah tentang bagaimana kitab-kitab ini tidak hanya membicarakan tentang makna agama dan tauhid secara umum, tetapi juga menjadi sumber semangat dalam melawan pemerintah zalim dan kolonial. Pada tahap ini hemat penulis bahwa agama menjadi bagian dari aspek sosial masyarakat yang termanifestasi dalam gerakan sosial berbasis agama. Melalui karya serta aktivitasnya, Mbah Rifai paling tidak telah menggerakkan sebuah aktivitas intelektual sekaligus social movement dalam mengisi ruang khazanah pemikiran Islam.

Gerakan atau lebih tepatnya manifesto sikap Mbah Rifai terhadap penjajah dan pemerintah zalim waktu itu cukup membuat geram. Menurut Abdul Basit dalam tesisnya “Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Ahmad Rifai Terhadap Kolonial Belanda”, gerakan Mbah Rifai ini mampu mengguncang stabilitas politik di Jawa waktu itu.

Perlawanan Terhadap Penjajah

Kesadaran sosio-historis tokoh agama, dalam hal ini KH Ahmad Rifai, membuat paling tidak rakyat yang berada dalam kungkungan kebodohan dan kolonialisme Barat menjadi sadar akan daulatnya untuk merdeka, melawan dan menentukan nasibnya. Merdeka dari kebodohan dan merdeka dari jajahan koloni.

Tentang gerakan sosial, Anthony Giddens menyebutkan bahwa gerakan sosial merupakan upaya kolektif untuk mencapai suatu kepentingan bersama dengan melalui tindakan-tindakan kolektif (collective action) di luar lembaga-lembaga mapan. Secara garis besar, apa yang Mbah Rifai ajarkan terkait perlawanan terhadap kolonialisme Barat adalah apa-apa yang berkaitan dengan kolonial, misalnya lembaga pemerintahan bentukan mereka wajib untuk tidak ditaati. Hal ini bertumpu pada doktrin kolonialisme Barat adalah kafir. Karena meraka kafir, maka haram untuk diikuti.

Setengah alim akeh podo syarekat
Maring raja negoro dosa alim
Lan raja kafir atine tan taslim
Tan ngistoake ing Qur’an karim
Nyateru ing panutan ‘adil ‘alim
(penggalan nadhom Mbah Rifai)

Memang, ajaran atau doktrin Mbah Rifai terasa sangat keras dan menghantam. Pun, tidak heran jika kemudian mengguncang stabilitas politik kolonialisme Barat di tanah Jawa kala itu. Perlawanannya tidak hanya pada kolonialisme Barat, termasuk juga pada kaki tangannya, yaitu para demang atau Mbah Rifai menyebutnya pemerintah zalim.

Perlawanan terhadap bangsa Barat atau kolonilisme Barat tidak hanya terjadi satu dua kali. Sebut, misalnya, perlawanan seperti Perang Paderi, Perang Diponegoro, Perang Aceh, dan banyak yang lainnya. Karena perlawanannya ini kemudian mendatangkan reaksi dari pihak penjajah terhadap gerakan perlawanan Mbah Rifai sehingga memaksa Belanda saat itu untuk menyeret-mengasingkan Mbah Rifai ke tanah Ambon dan Manado berdasar surat keputusan Gubernur Jendral Pahud. Di tanah pengasingan itu pula Mbah Rifai meninggal dunia di tanah Manado, Sulawesi Utara.

Mengenai wafatnya Mbah Rifai tidak ada yang tahu pasti tanggalnya. Ada yang mengatakan beliau wafat pada Kamis, 25 Rabiul Akhir 1286 H. Ada literature lain menyebut beliau wafat pada 1292 H di usia 92 tahun.

Referensi:
Khamdi, M. (2009, Juli-Desember). Gerakan Dakwah Rifaiyah. Jurnal Dakwah, 146-147.
Suradi, S. (2014). Grand Old Man of The Republick Haji Agus Salim dan Konflik Politik Sarekat Islam. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan