Kiai Pesantren dan Ancaman Radikalisme

1,339 kali dibaca

Berulang-ulang saya mengatakan, pesantren saat ini telah mengambil (ditempatkan pada) posisi yang cukup strategs dalam dunia pendidikan. Kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan yang sudah eksis sejak era Kapitaya ini sudah kian meningkat. Pendidikan pesantren menjadi euforia tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, tanggal 22 Oktober Joko Widodo (Presiden Republik Indonesia) menjadikannya sebagai Hari Santri Nasional. Ini tidak lain merupakan indikator bahwa peran santri, berikut pesantrennya, sudah mulai dilirik.

Sebagai sebuah lembaga tradisional, pesantren mampu mengambil hati masyarakat dengan segala bentuk upgrade, perbaikan, dan update yang dilakukan di dalamnya. Sehingga, selain adanya pesantren salaf yang kita kenal, pesantren modern juga bertebaran saat ini, tentunya dengan kiblat yang sama; yakni menyejahterakan umat dan keberlangsungan pendidikan (baik etika atau intelektual).

Advertisements

Maraknya tradisi mondok, seperti halnya di Madura sendiri (tempat saya tinggal) adalah bentuk keberhasilan pesantren dalam sebuah persaingan. Stigmasi masyarakat, utamanya masyarakat kota yang menganggap pesantren sebagai sarang penyakit, kolot, dan pandangan sinis lain sudah mulai hilang dan bahkan hampir tidak ada sama sekali.

Sementara itu, kedudukan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang digemari oleh masyarakat tersebut, rupanya dijadikan target bidikan oleh beberapa pihak yang memiliki kepentingan. Mulai dari kepentingan politik sampai kepentingan-kepentingan lain, seperti radikalisme. Beberapa pesantren sudah mulai disusupi oleh paham-paham yang fundamental. Doktrin-doktrin kacau radikalisme yang disuguhkan juga mulai tampak.

Sebagaimana yang tertera dalam judul, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana fenomena pesantren yang disusupi oleh radikalisme dan bagaimana peran kiai sebagai sentra dalam problem tersebut. Bagaimana radikalisme tumbuh mengakar di lingkungan pesantren dan bagaimana kiai pesantren harus bertindak atas itu?

Pesantren dan Radikalisme

Dulu, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pesantren pernah mendapatkan tatapan sinis dari banyak masyarakat. pandangan sinis itu bermula ketika Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden mengatakan bahwa bukan tidak mungkin penyebab dari adanya radikalisme dan terorisme yang terjadi itu lahir dari pesantren. Sebagaimana terjadinya bom bali yang merupakan ulah Amrozi dan Ali Ghufron, keduanya pernah menjadi santri dari Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Solo yang saat itu diasuh oleh Abu Bakar Ba’asyir.

Saat itu pesantren dianggap sebagai lumbung radikalisme dan terorisme. Pernyataan Jusuf Kalla ihwal stigmasi terhadap pesantren tersebut rupanya berimbas pada eksistensi pesantren-pesantren yang terjaga dari radikalisme, sebut saja pesantren yang berafiliasi dengan Nadhatul Ulama (NU). Pernyataan Jusuf Kalla tentunya masih general. Ia hanya mengambil satu pesantren sebagai acuan, dan memandang sama semua pesantren. Walhasil, publik beranggapan miring terhadap pesantren.

Sejak peristiwa bom Bali I pada tahun 2002, pesantren menjadi term yang dibahas, diperbincangkan, dan dibidik oleh skala nasional bahkan internasional. Pernyataan Jusuf Kalla rupanya memantik anggapan miring dari masyarakat mengenai pesantren. Pesantren dan radikalisme dianggap sebagai dua hal yang tak bisa dipisahkan.

Beberapa alumnus santri Al-Islam Lamongan yang menjadi pelaku pengeboman tersebut semakin memperkeruh pandangan orang tentang pesantren waktu itu. Pesantren dicap sebagai lembaga pendidikan yang memang memberikan fasilitas terhadap aksi terorisme yang ada. Padahal, pesantren—sebagaimana yang saya sebutkan di awal—justru menekankan pada perbaikan moralitas santri dan intelektualnya.

Beberapa pesantren, seperti yang diasuh oleh Abu Bakar Baasyir, misalnya, adalah sebagian realitas saja. Memang ada pesantren-pesantren (termasuk pesantren yang saya sebutkan sebelumnya) yang menekankan doktrinasi radikal dan fundamental terhadap santrinya, sehingga kemudian mengakar menjadi terorisme.

Lalu bagaimana pesantren bisa melepaskan diri atau bisa melindungi diri dari radiasi radikal yang belakangan ini masih marak terjadi? Tentunya beberapa pihak—sebagaimana kiai sebagai teladan—sangat berperan dalam hal ini.

Peran Kiai

Sebagai personal yang memiliki posisi sangat strategis di pondok pesantren, maka perlu juga bagi kiai untuk membuat perencanaan untuk menghalau segala paham radikalisme. Kiai sebagai pemimpin (biasa diistilahkan pengasuh) pondok pesantren harus mampu menyusun rencana itu, agar pesantrennya tidak dijangkiti paham-paham demikian. Sebab, radikalisme yang dibiarkan tumbuh subur dan beranak-pinak akan berimbas pada tindakan profan lain, semisal terorisme.

Tak hanya di pondok, sebagai seseorang yang disegani oleh masyarakat, kiai juga harus siap memberikan doktrin sejuk bagi masyarakat, semisal pemahaman-pemahaman moderasi beragama, pentingnya hidup rukun, dan semacamnya. Sebab, perannya tak hanya difungsikan untuk lingkup pondok pesantren saja, melainkan juga kepada masyarakat luas, sesuai dengan pengaruhnya di masyarakat.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan kiai pesantren dalam menghalau gerakan radikal yang sewaktu-waktu bisa saja menyerang. Pertama, bekerja sama dengan pihak terkait untuk menanggulangi paham tersebut. Beberapa pihak—semisal Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT)—bisa menjadi afiliator untuk meluruskan ikhtiar dalam penanggulangan ini.

Di sisi lain, pemerintah, melalui BNPT ini juga harus aktif dan siaga dalam melakukan program-program penanggulangan. Maka, dua kekuatan (antara pesantren dan BNPT) bisa membuat benteng pertahanan (setidaknya meminimalisasi) masuknya paham-paham yang kurang jelas.

Kedua, sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, pesantren sejatinya memiliki otoritas dalam mempromosikan hal-hal yang positif dan masyarakat, semisal mempromosikan ihwal moderat dan wacana-wacana kebangsaan. Hal itu bisa ditempuh dengan jalur pelajaran di sekolah, pengajian-pengajian, dan kemasan-kemasan lainnya.

Ketiga, deradikalisasi juga bisa dilakukan dengan adanya dialog-dialog keagamaan yang dibuat. Dialog-dialog tersebut bisa kemudian diisi dengan beberapa pemabahasan terkait bahayanya paham radikalisme dan tindakan terorisme, urgensitas nasionalisme, wacana kebangsaan, dan menanamkan rasa patriotisme dalam diri masyarakat.  Hal itu bisa dilakukan untuk menyeimbangkan, kalau bisa mengalahkan, radiasi radikalisme yang sudah menyasar ke dunia pesantren. Selain itu juga, bisa melindungi masyarakat sekitar dari amukan-amukan demikian. Wallahu a’lam…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan