Kiai As’ad Syamsul Arifin, Pembawa Isyarat Berdirinya NU

1,711 kali dibaca

Nahdlatul Ulama atau NU adalah salah satu ormas keagamaan terbesar bukan hanya di Indonesia, bahkan di dunia. Hal ini tak hanya dibuktikan dengan jumlah anggotanya yang mencapai lebih dari 80 juta jiwa, tapi juga banyaknya cabang istimewa NU yang tersebar hampir di seluruh dunia. Terbilang ada 34 cabang istimewa NU, seperti di Belanda, Belgia, Jerman, dan lain-lain.

NU sendiri berdiri pada tanggal 31 Januari 1926. Sesuai dengan namanya, NU banyak sekali melibatkan para kiai atau ulama dalam proses pendiriannya. Salah satu ulama yang memiliki peranan yang amat signifikan adalah KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo.

Advertisements

Biografi Kiai As’ad

Kiai As’ad merupakan pendiri dan pengasuh kedua Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Beliau lahir di tanah suci Makkah pada tahun 1897 buah cinta dari KHR Syamsul Arifin dan Nyai HJ Siti Maimunah. Saat genap berusia enam tahun, beliau dibawa pulang ke tanah asalnya, yaitu Pondok Kembang Kuning, Pamekasan, Madura.

Rihlah keilmuannya pertama kali diperoleh dari ayahnya, Kiai Syamsul Arifin. Pada usia remaja, As’ad muda dipondokkan ke Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan. Kurang lebih tiga tahun menimba ilmu di sana, ia melanjutkan perjalanan keilmuannya ke Madrasah Shaulatiyah Makkah yang mayoritas pelajarnya berasal dari Melayu.

Di sana, Asad belajar di bawah asuhan ulama-ulama besar di zamannya, seperti Sayyid Abbas Bin Abdul Aziz (kakek dari Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki), Syekh Muhammad Amin Al-Quthbi, termasuk juga kepada salah seorang guru yang berasal dari Yogyakarta, yakni Syekh Bakir.

Kemudian beliau kembali ke tanah air untuk menimba ilmu kembali kepada Syaikhona Kholil di Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Diceritakan bahwa semasa mondok di sana, beliau justru tidak pernah diperintahkan oleh sang maha guru untuk belajar, berbeda dengan para santri lainnya. Beliau justru diperintah untuk membangun pondok.

Di pesantren inilah beliau mendapatkan pengalaman yang sangat sulit dilupakan, yakni menjadi mediator atau pembawa pesan dalam sejarah berdirinya NU.

Mediator NU

Mungkin nama beliau kurang begitu dikenal dalam literatur sejarah berdirinya NU. Hal ini cukup wajar, sebab semasa hidupnya, beliau enggan jika kisah perjuangannya diungkap ke publik lantaran merasa khawatir terjerumus ke dalam penyakit hati, yaitu riya’.

Saking susahnya untuk mendirikan organisasi NU, Kiai As’ad menuturkan bahwa beliau bahkan diperintah oleh Syaikhona Khalil untuk menyampaikan isyarat kepada Hadratus Syaikh Hasyim As’yari Jombang, Jawa Timur, sebanyak dua kali. Bisa dibayangkan perjalanan dari Bangkalan ke Jombang pulang pergi sebanyak dua kali dengan jarak yang kurang lebih 105 KM dan ditempuh dengan berjalan kaki!

Di dalam buku KHR As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya, beliau menceritakan: “Berdirinya NU tidak seperti lazimnya perkumpulan lain. Berdirinya NU tidak ditentukan oleh perizinan dari bupati atau gubernur, tapi langsung dari Allah SWT. Dan izin dari Allah itu juga ditempuh melalui perjuangan para Wali Songo. Karena itu, di dalam simbol NU terdapat bintang berjumlah sembilan.”

Isyarat yang dinanti itu akhirnya tiba kepada Syaikhona Khalil. Beliau lantas memerintahkan Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy’ari untuk memberikan sebuah tongkat. Selama di perjalanan, Kiai As’ad diperintah agar senantiasa membaca surah Thaha ayat 17-23. Tidak ada penanggalan yang jelas kapan peristiwa ini terjadi, namun yang jelas peristiwa ini terjadi pada tahun 1924.

Di pertengahan tahun 1925, Kiai As’ad kembali mendapatkan perintah untuk mengantarkan tasbih kepada Kiai Hasyim Asy’ari seraya membaca zikir Asmaul Husna, yaitu Ya Jabbar, Ya Qahhar terus menerus hingga sampai.

Pesan inilah yang kemudian menjadi indikasi bahwa NU telah memperoleh restu untuk didirikan, dan sebagai Raisnya adalah Kiai Hasyim Asy’ari.

Begitulah kontribusi besar seorang KHR As’ad Syamsul Arifin untuk NU. Bahkan dalam sebuah kesempatan, beliau berkata: “Jiwa, raga, dan tulang sumsum saya adalah NU.” Lahul Fatihah…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan