Dulu kita percaya bahwa angin dan hujan adalah bagian dari rahmat Tuhan. Tapi dalam dunia yang makin canggih, penuh intrik, dan tak percaya pada yang gaib, hujan pun bisa menjadi senjata. Angin bisa diarahkan. Langit bisa direkayasa. Awan bisa disedot. Hujan bisa dicegah.
Beberapa hari ini Iran tengah dilanda gelombang panas ekstrem. Di beberapa wilayahnya suhu tembus 50 °C. Hal ini menyebabkan krisis air, gangguan jaringan listrik, hingga pemerintah harus menetapkan hari libur nasional demi menekan penggunaan energi.

Di tengah kondisi ini, muncul kabar dari kawasan Teluk. Kabar itu menyebut bahwa Uni Emirat Arab (UEA) diduga melakukan operasi cloud seeding di wilayah udara dekat Iran bagian selatan. Operasi ini dilakukan untuk memicu hujan buatan, tapi secara tidak langsung dituding telah ‘membajak’ awan-awan yang seharusnya menuju ke Iran.
Dugaan ini tentu belum bisa diverifikasi sepenuhnya. Tetapi, ia menguatkan kecurigaan bahwa dalam era krisis iklim dan kemajuan teknologi, cuaca bukan lagi ranah netral. Ia bisa diperebutkan.
Perang Tanpa Peluru
Tuduhan bahwa hujan bisa dicuri memang terdengar seperti teori konspirasi. Namun jika kita jujur melihat sejarah, perang cuaca bukan hal baru dan bukan pula sekadar khayalan.
Dalam Perang Vietnam, militer Amerika Serikat meluncurkan Operation Popeye, sebuah program rahasia untuk menyemai awan di atas Jalur Ho Chi Minh. Tujuannya adalah memperpanjang musim hujan, memperlambat pergerakan pasukan musuh, dan menghancurkan logistik mereka lewat banjir dan lumpur.
Program ini berlangsung selama lima tahun (1967–1972) dan berhasil meningkatkan curah hujan sekitar 30% di wilayah sasaran. Itu adalah satu-satunya operasi militer yang terdokumentasi menggunakan cuaca sebagai senjata secara langsung.
Sejak saat itu, teknologi modifikasi cuaca terus berkembang. Di banyak negara, cloud seeding digunakan untuk meningkatkan curah hujan dalam menghadapi kekeringan, atau mengurangi risiko kabut asap dan polusi.
Tapi di balik tujuan sipil, potensi militer dari teknologi ini tidak bisa diabaikan. Apa yang dulu hanya mungkin lewat eksperimen kimia di laboratorium kini bisa dilakukan dengan bantuan satelit, kecerdasan buatan, dan drone berakurasi tinggi.
Teknologi cuaca kini tak lagi sebatas menyemai perak iodida ke awan. Negara-negara seperti Tiongkok, AS, Rusia, dan UEA telah mengembangkan sistem modifikasi cuaca yang lebih kompleks. Misalnya, penggunaan sinar laser untuk merangsang pembentukan awan, mengatur kelembapan udara lewat penguapan terarah, hingga menyebar gelombang elektromagnetik dari stasiun darat untuk memanipulasi tekanan atmosfer.
Langit yang Dimiliterisasi
Kita hidup di era ketika data atmosfer bisa dipetakan secara real-time. Satelit meteorologi milik negara-negara besar dapat memantau pergerakan awan, tekanan udara, dan curah hujan dengan presisi tinggi. Bersama sistem AI prediktif dan model-model superkomputer, skenario rekayasa cuaca tidak lagi mustahil.
Sementara itu, dalam dunia militer, upaya penguasaan ruang udara tidak hanya soal rudal dan jet tempur. Kontrol atas langit kini juga menyasar elemen-elemen tak kasat mata: suhu, kelembapan, arah angin, dan pola awan.
Beberapa skenario militer dalam konteks perang cuaca antara lain: menyemai awan di wilayah musuh agar terjadi hujan ekstrem, menciptakan kekeringan berkepanjangan untuk menggagalkan musim tanam dan memicu instabilitas sosial, mengalihkan awan hujan dari satu wilayah ke wilayah lain dengan pemicu ionisasi udara, serta mengganggu radar dan sistem komunikasi dengan manipulasi awan buatan.
Perjanjian internasional ENMOD (Environmental Modification Convention) yang disahkan tahun 1977 oleh PBB memang secara hukum melarang penggunaan teknik modifikasi lingkungan sebagai senjata.
Tapi perjanjian ini sangat terbatas dalam pengawasan dan sanksi. Ia juga tidak mengatur aktivitas dalam kerangka sipil, sehingga banyak negara dapat menjalankan eksperimen modifikasi cuaca dengan dalih riset atau mitigasi iklim, padahal efeknya bisa lintas batas dan merugikan negara lain.
Era Invasi Meteorologis
Kelemahan dari modifikasi cuaca adalah atmosfer yang bersifat kompleks dan kadang tak terduga. Tapi dengan kombinasi data cuaca real-time, superkomputer, dan pemodelan berbasis AI, margin kesalahan bisa diperkecil. Dalam waktu dekat, manipulasi cuaca secara presisi bukan tidak mungkin.
Pertanyaannya bukan lagi “bisakah cuaca dimodifikasi?” melainkan, “siapa yang akan pertama kali menggunakannya secara ofensif?” Dan lebih lanjut, “siapa yang akan memonopoli teknologi langit?”
Perang cuaca mungkin belum sepenuhnya terbukti secara terbuka. Tapi semua indikator teknis menuju ke arah itu. Ketika cuaca sudah bisa dimodifikasi, dan niat untuk dominasi tetap ada, maka cepat atau lambat senjata itu akan digunakan.
Kita butuh regulasi global yang lebih kuat, sistem pengawasan internasional, dan keterlibatan publik dalam menjaga agar langit tetap menjadi sumber kehidupan, bukan alat politik. Kita juga butuh etika baru dalam teknologi, bahwa tidak semua yang bisa dilakukan harus dilakukan.