Ketika Ibu Negara Bukan di Istana Tapi di Rumah-rumah Kita

Dalam hingar-bingar pemberitaan politik, kita sering melihat sosok Ibu Negara tampil anggun di layar kaca, mendampingi pemimpin tertinggi negeri dalam berbagai kunjungan kenegaraan, acara protokoler, hingga kegiatan sosial yang disorot media. Tapi Hari Dharma Wanita Nasional, yang diperingati setiap tanggal 5 Agustus, mengajak kita menoleh ke arah lain. Bukan ke istana, tapi ke rumah-rumah kita sendiri. Di sana, tersembunyi sosok-sosok perempuan yang mungkin tak bergaun kebaya di depan kamera, tapi justru menopang pilar bangsa dengan cara yang lebih sunyi.

Mereka adalah istri-istri aparatur sipil negara (ASN), perempuan yang tergabung dalam organisasi Dharma Wanita Persatuan. Dalam keseharian, mereka tak selalu disorot, tak selalu dipuji, bahkan sering kali tak dihitung dalam statistik keberhasilan negeri. Tapi di balik layar birokrasi dan pelayanan publik, merekalah yang menjaga ritme rumah, mendukung pasangannya, serta menjadi motor penggerak kegiatan sosial di masyarakat. Mereka bukan hanya pendamping, tapi juga pengabdi.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Tak Tercatat, tapi Terasa

Perempuan-perempuan Dharma Wanita mungkin tidak menandatangani kebijakan, tapi banyak dari mereka menghidupi semangat pengabdian dengan caranya masing-masing. Ada yang menjadi penggerak literasi di desa, membina UMKM lokal, menjadi relawan saat bencana, atau bahkan hanya sekadar memastikan bahwa anak-anaknya tumbuh dalam kehangatan dan nilai-nilai integritas. Itu semua adalah kontribusi yang tak bisa diremehkan.

Dalam ajaran Islam, peran seorang istri bukan hanya pelengkap suami, tapi bagian dari satu tim dalam kehidupan. Nabi Muhammad SAW adalah contoh nyata bagaimana rumah tangga dibangun dengan kerja sama. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, diceritakan bahwa Nabi membantu istrinya di rumah. Ini bukan hanya soal pekerjaan domestik, tapi tentang nilai bahwa rumah adalah ruang perjuangan bersama.

Menghidupkan Rumah dan Masyarakat

Dharma Wanita, sesuai namanya, adalah wadah bagi perempuan untuk menyalurkan dharma atau pengabdian. Tapi pengabdian di sini bukanlah bentuk tunduk tanpa suara, melainkan bentuk kontribusi aktif yang sering kali tidak diberi panggung. Mereka hadir di posyandu, di pelatihan keterampilan, di pengajian lingkungan, dan di barisan terdepan ketika masyarakat butuh tangan yang ringan membantu.

Bukan hal sepele ketika seorang ibu mengajarkan etika dan kedisiplinan di rumah. Karena dari sanalah lahir anak-anak yang kelak duduk di kursi birokrasi, pengusaha, hingga pemimpin. Ketika rumah menjadi sekolah pertama, maka para ibu adalah guru pertamanya. Mereka mungkin bukan profesor, tapi pelajaran yang mereka berikan bisa membekas seumur hidup.

Mengabdi dalam Sunyi, Membangun dengan Cinta

Dalam kebudayaan kita, pengabdian perempuan kerap dibingkai dalam kesunyian. Tidak heboh, tidak perlu dipuji. Tapi bukan berarti kontribusi itu kecil. Justru dalam diam itu, tersimpan kekuatan yang luar biasa. Seorang ibu yang sabar mendampingi suaminya berpindah-pindah tugas antar daerah, harus membesarkan anak di lingkungan yang asing, dan tetap menjaga semangat keluarga, adalah bentuk keberanian yang tidak semua orang mampu lakukan.

Sering kali kita berpikir bahwa kontribusi harus ditunjukkan melalui panggung besar, acara resmi, atau angka-angka dalam laporan. Tapi bagaimana dengan perempuan yang sabar menemani suami bekerja lembur, yang mengatur keuangan keluarga agar tetap cukup meskipun tunjangan belum turun, atau yang tetap menghidangkan makanan hangat meskipun tubuhnya sendiri kelelahan? Mereka tak masuk statistik keberhasilan nasional, tapi mereka adalah fondasi yang menopang semua struktur sosial itu.

Kita jarang melihat kamera meliput ibu-ibu yang menginspirasi anaknya untuk tetap belajar meski listrik padam, atau istri ASN yang harus mengurus anak-anak dan orang tua sendirian karena sang suami ditugaskan ke luar kota. Tapi di balik semua kesunyian itu, mereka sedang membangun karakter, menanam nilai, dan menjaga semangat. Tak ada berita utama tentang mereka. Tapi jika kita jujur, banyak dari kita tumbuh dewasa karena cinta dan pengorbanan seperti itu.

Cinta yang mereka berikan bukan hanya kepada keluarga, tapi juga kepada lingkungan. Banyak kegiatan sosial yang berjalan karena uluran tangan para anggota Dharma Wanita. Mereka menggalang dana, mengedukasi masyarakat, hingga menciptakan ruang-ruang aman bagi perempuan lain yang sedang butuh dukungan. Mereka menjadi penggerak perubahan yang tidak selalu punya label, tapi punya dampak nyata. Dan seperti akar pohon yang tak terlihat tapi menjaga batang tetap berdiri, mereka pun menopang bangsa ini dari dalam tanah kehidupan.

Tak Harus di Istana untuk Jadi Ibu Negara

Ketika kita menyebut Ibu Negara, bayangan yang muncul mungkin adalah perempuan yang berdiri di samping presiden. Tapi jika kita lihat lebih luas, setiap rumah di negeri ini bisa jadi istana kecil. Dan di setiap rumah itu, ada perempuan yang memainkan peran penting sebagai pengatur, penjaga, dan penyejuk. Maka secara esensial, merekalah juga Ibu Negara, dalam lingkup yang lebih personal tapi tak kalah penting.

Hari Dharma Wanita Nasional adalah momen untuk menyadari bahwa membangun bangsa tak hanya tugas pemimpin di kursi eksekutif, tapi juga mereka yang menjaga nyala api kecil di rumah-rumah. Di balik keberhasilan seorang ASN, seorang pejabat, bahkan seorang pemimpin, ada perempuan yang setia mendampingi dan mendoakan. Pengorbanan mereka mungkin tidak tampak, tapi hasilnya nyata.

Saatnya Berhenti Meremehkan Peran Domestik

Kita hidup di zaman yang serba mengagungkan pencapaian di ruang publik. Penghargaan, jabatan, pencapaian akademik, atau followers media sosial sering kali dianggap ukuran keberhasilan. Namun, bukan berarti pekerjaan rumah, pengasuhan, atau kegiatan sosial berbasis komunitas menjadi hal yang patut dipandang sebelah mata. Perempuan-perempuan Dharma Wanita adalah contoh nyata bahwa kekuatan perempuan tak melulu harus ditunjukkan lewat jabatan atau panggung besar.

Pekerjaan domestik sering distereotipkan sebagai ‘biasa saja’ atau ‘tak penting,’ padahal justru dari ruang rumah tangga itulah karakter anak dibentuk, nilai kesetiaan dipupuk, dan empati dilatih. Mengajarkan anak-anak untuk disiplin, menanamkan nilai tanggung jawab, mendampingi mereka saat gagal dan memberi semangat saat mereka mencoba lagi, semua itu adalah pekerjaan intelektual dan emosional yang tidak mudah.

Banyak istri ASN yang juga harus bekerja di luar rumah, sambil tetap memikul tanggung jawab domestik tanpa pengakuan. Mereka multitasking bukan karena ingin terlihat hebat, tapi karena memang tak ada pilihan lain. Tapi ketegaran mereka seharusnya tidak dilihat sebagai kewajaran belaka. Ini adalah tanda kekuatan yang layak dihargai.

Dalam Islam, posisi seorang ibu begitu tinggi hingga disebut bahwa surga ada di bawah telapak kakinya. Ini bukan metafora kosong. Ini penegasan bahwa kerja-kerja domestik, kerja-kerja penuh cinta dan pengorbanan, adalah bagian dari ibadah yang agung. Bahkan jika tak ada panggung yang memberi tepuk tangan, Allah SWT mencatat setiap cucuran keringat dan doa yang mereka panjatkan dalam sepi.

Maka, mengapresiasi Dharma Wanita bukan sekadar formalitas, tapi bentuk penghormatan atas peran yang terlampau lama dianggap biasa saja. Sudah saatnya narasi tentang pengabdian perempuan tidak hanya berhenti di ruang seremonial dan foto kegiatan. Kita butuh perubahan cara pandang: bahwa mendidik anak dengan cinta, mendampingi suami dengan sabar, dan menghidupkan masyarakat lewat kegiatan sederhana, adalah bentuk kontribusi besar yang layak dimuliakan.

Tangguh Tanpa Harus Jadi Sorotan

Di Hari Dharma Wanita Nasional ini, mari kita rayakan bukan hanya dengan seremoni, tapi juga dengan refleksi. Bahwa banyak perempuan di sekitar kita yang telah berjuang tanpa pamrih. Mereka mungkin tak memiliki gelar tinggi, tak punya ribuan pengikut di media sosial, tapi mereka punya hati yang kuat, tangan yang ringan membantu, dan semangat yang tak pernah padam.

Ketika ibu negara bukan hanya mereka yang berada di istana, tapi juga perempuan-perempuan yang menjaga rumah kita tetap hidup dengan kasih sayang dan kerja keras, maka sesungguhnya bangsa ini punya banyak alasan untuk bersyukur.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan