Ketika AI Mengancam Posisi Mufti

Keberadaan AI alias Artificial Intellegence atau kecerdasan buatan saat ini bisa dikatakan sebagai pembantu yang efektif. Dibekali dengan kecerdasan yang tak terhingga, ia mampu menyerap semua informasi yang disuguhkan. Ia mampu menjawab semua pertanyaan, kerumitan, hingga kemasygulan yang dialami oleh manusia. Ai juga dapat berposisi seolah-olah sebagai pendengar yang baik atau pun menjadi pembicara yang handal, tergantung bagaimana ia diposisikan.  Kemanjaan yang ditawarkan kecerdasan buatan ini membuat semua orang dari belahan dunia mana pun ramai-ramai menjadikannya pendamping setia.

Akan tetapi, di kemudian hari, banyak kalangan merasa bahwa kehadiran AI mengancam posisi manusia, tak terkecuali dalam aspek keagamaan. Tokoh-tokoh agama mulai was-was ketika orang-orang mulai beralih pada AI saat terantuk kemusykilan dalam kehidupan sehari-hari.

Advertisements

Misalnya, dengan data yang tak terukur dan efisiensi waktu yang melimpah, kini manusia cenderung lebih suka meminta fatwa hukum Islam pada mesin ini ketimbang harus bersusah payah meluangkan waktu datang kepada pakarnya alias mufti.

Hal inilah yang mendorong Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur berinisiatif untuk mengadakan muktamar Fikih Peradaban Jilid 2. Kali ini, tema besar yang dibahas adalah “Reposisi AI dan Fakih dalam Kehidupan Nyata.”

Acara yang digelar pada Selasa, 13 Mei 2025  kemarin berikhtiar menjawab sebuah pertanyaan besar terkait apakah benar AI mampu menggantikan posisi seorang mufti dalam hal memberikan fatwa hukum. Selain itu, juga diulas masalah bagaimana seharusnya manusia memosisikan AI dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak ada lagi pertentangan yang malah merugikan manusia sebagai pembuat AI itu sendiri.

Sampai saat ini, setidaknya ada tiga jenis kecerdasan buatan yang sudah diciptakan manusia. Pertama, Artificial Narrow Intelligence (ANI) yang merupakan bentuk dari AI Lemah. Wajar saja, karena memang ANI masih produk awal atau bisa dikatakan sebagai langkah percobaan.

Kedua, Artificial General Intelligence (AGI). Berbeda dengan ANI, AGI lebih dikenal sebagai AI Kuat yang memiliki kemampuan sebanding dengan manusia. Ketiga, Artificial Super Intelligence (ASI) yang yang secara sengaja diciptakan untuk melampaui kemampuan manusia.

Kecanggihan yang ditawarkan AI memang tak layak untuk disia-siakan. Terbukti bahwa saat ini, dalam dunia hukum, analisis data yang membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup besar dapat diatasi dengan mudah melalui bantuan perangkat AI.

Dengan menggunakan tools AI dalam proses hukum, seperti perangkat lunak analisis dokumen, pengacara dan hakim dapat dengan cepat menemukan preseden hukum, memahami pola kasus, dan menyusun argumen hukum yang lebih kuat. AI memungkinkan analisis yang lebih cepat dan akurat dibandingkan metode konvensional. Misalnya, AI dapat memindai ribuan dokumen hukum hanya dalam hitungan menit, yang sebelumnya memakan waktu berhari-hari.

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa dalam hal apakah AI dapat berposisi sebagai mujtahid, atau setidaknya sebagai mufti yang dapat memberikan fatwa hukum, masih dibutuhkan perenungan ulang. Meski, AI memiliki kemampuan penyimpanan dan analisis data yang cukup mumpuni, ia belum sampai pada taraf bisa memberikan sebuah fatwa. Karena memang dalam memberikan sebuah fatwa tidak cukup hanya mengandalkan efisiensi waktu. Butuh sebuah kemahiran, kecakapan, dan kesadaran yang itu hanya dimiliki oleh seorang manusia.

Sebagaimana yang dikatakan Walid Mustafa Syawiys dalam karyanya “Ijtihad Fikih Di Masa Kecerdasan Buatan”, bahwa metode ijtihad dalam hukum fikih adalah sebuah kemampuan yang tertanam dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan makna-makna terselubung, mengaitkan satu makna dengan makna yang berkelit-kelindan, ataupun dengan lafaz-lafaz yang muncul dari Syari (Al-Quran dan Hadis). Selanjutnya, makna-makna tersebut diproses dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan seperti maqhasid syariah, kaidah usul, dan fikih realitas yang itu semua tidak dimiliki oleh AI.

Selain itu, keputusan hukum yang dihasilkan mujtahid dilandasi keadaan psikologis yang bervariasi. Itulah mengapa hukum yang dihasilkan (fikih) dari beberapa mujtahid sangat memungkinkan untuk berbeda, sebagaimana kaidah yang cukup masyhur bahwa “hukum fikih bersifat fleksibel sesuai dengan perubahan masa, tempat, hingga manusia.” Hal ini menunjukkan bahwa hukum sangat bergantung pada siapa, bagaimana, dan di mana seorang mujtahid berada.

Sementara, kecerdasan buatan sampai saat ini hanya mampu beroperasi menggunakan algoritma yang mengumpulkan kata-kata berdasarkan kelompok-kelompok yang telah dimasukkan ke dalam jaringan, dan tidak mampu berinteraksi dengan makna. Ia juga tak merasakan pengalaman sosial dan budaya dalam dunia nyata, yang berarti ia sama sekali tidak memiliki elemen kesadaran yang dapat menghilangkan kelenturan hukum yang merupakan ciri khas dari fikih.

Sehingga, kesimpulan yang didapatkan dari seminar fikih peradaban tersebut adalah bahwa AI hingga saat ini masih tidak layak untuk menggantikan peran seorang mufti atau mujtahid. Ia hanya dapat digunakan sebagai alat bantu yang dapat menyediakan akses data dalam kitab-kitab klasik mau pun kontemporer yang sangat membantu dalam sebuah penelitian, tetapi tidak bisa memutuskan sebuah hukum, bahkan oleh AI yang sengaja diciptakan untuk melebihi kapasitas kemampuan manusia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan