Keris Kiai Megalamat

10,922 kali dibaca

Seto menempuh perjalanan selama tiga hari menuju Cirebon. Saat bertemu sungai, ia membasahi tubuhnya untuk meredam sengatan matahari. Ia bertemu sungai yang airnya begitu jernih, tidak begitu dalam, ditumbuhi oleh tanaman teratai dan enceng gondok. Setelah berada di bibir sungai, ia melepas pakaiannya— bertelanjang dada, menceburkan tubuhnya ke sungai seperti burung rajawali yang hendak menangkap ikan.

Ia ke Cirebon dalam rangka mencari guru kedigdayaan, kemudian ia akan kembali ke Jawa untuk ikut serta dalam misi penyerbuan mengusir Belanda di tanah Rembang.

Advertisements

Sungai itu diteduhi oleh pepohonan yang rindang. Seto sangat pandai berenang. Ia menyelam untuk melihat dasar sungai. Ia melihat batu-batu cadas, tumbuhan dasar sungai, ikan-ikan kecil yang bersembunyi di balik lumut-lumut hijau kebiru-biruan.

Ia kembali ke permukaan untuk bernapas. Ia tidak tahu jika ada buaya yang mengintainya. Buaya itu mendekat perlahan dan tanpa disadari olehnya. Sementara itu, ia sibuk menggosok-gosokkan tubuhnya dengan batu kecil, mulai dari lengan sampai ke leher.

Awalnya Seto tidak mengetahui jika buaya itu mendekat, tetapi matanya melihat sebuah gelombang kecil seperti ombak menuju ke arahnya. Semakin lama semakin mendekat. Ia mulai bersiaga. Buaya berukuran besar itu menyembul ke permukaan sungai, hendak menerkam dengan rahang yang lebar, tajam, dan kuat ke arah Seto.

Ia mencoba menghindar dari sergapannya dengan menahan mulut buaya itu, lalu melemparkannya beberapa meter di dekatnya dengan kedua lengannya yang berotot. Namun buaya itu pantang menyerah. Binatang itu kembali menyerang dengan serangan membabi-buta.

Kulit tangan Seto terkoyak, membuat air di sungai menjadi merah darah. Pertarungan Seto dengan buaya itu masih berlangsung sengit, membuat ombak-ombak kecil. Buaya itu tak mudah ditaklukkan saat berada di sungai. Meskipun tubuh Seto sangat kuat, namun tampaknya luka yang dideritanya membuat tenaganya menurun drastis.

Buaya itu menggelepar-gelepar. Tak lama kemudian ada seseorang yang tampak mengambang sedang berjalan di atas air hendak menolongnya. Selang beberapa waktu, sesosok itu mendekat, perlahan. Secara mengejutkan, tiba-tiba buaya itu menyingkir, seolah-olah ia takut dengan sesosok manusia renta yang diperkirakan masa hidupnya hampir seabad. Ia mengajak Seto untuk menepi, sementara ia masih mengambang di air, berjalan menuju tepi sungai.

Lelaki yang tampak renta itu berkumis putih dengan blangkon di kepalanya mengenakan jarit batik dan kaus panjang polos berwarna abu-abu. Ia memperkenalkan diri sebagai Mbah Jimar

“Kelihatannya kau berasal dari jauh? Siapa namamu?” tanyanya.

“Nama saya Seto, berasal dari Jawa Mbah,” jawab Seto.

“Tujuanmu apa datang ke sini?”

“Saya disuruh Kiai saya untuk memimpin penyerangan pengusiran kompeni di rembang, tetapi saya diperintahkan untuk berguru kepada Kiai Makdum,” jawabnya. Setelah menjelaskan niatnya, Seto diajak ke sebuah lembah berkapur. Mbah Jimar berjalan sangat cepat. Seto kewalahan mengejarnya, mesti ia berlari.

Ia tahu kalau sebenarnya Mbah Jimar adalah Kiai Makdum, orang yang ia cari. Ia mengetahui setelah ia bertanya pada santri-santrinya.

Menurut penuturan dari Kiainya, Mbah Jimar adalah salah satu orang yang paling ditakuti oleh kompeni. Ia kebal peluru, ia juga tidak bisa dibunuh dengan hanya menggunakan senjata tajam. Ia juga orang yang tidak tergoda dengan kekayaan dunia.

Kata Kiainya, pernah suatu ketika puluhan tentara kompeni berhadap-hadapan dengan Mbah Jimar. Tidak satu pun dari mereka yang bisa melumpuhkan Mbah Jimar. Ketika ia mengeluarkan aji lembu sekilan, tidak ada senjata apa pun yang dapat mengenainya, bahkan tentara kompeni kocar-kacir ketika kerisnya terbang sendiri, menikam beberapa orang-orang berkulit putih itu.

Mendengar hal itu, pimpinan kompeni yang menguasai daerah itu sangat murka. Ia menyewa pendekar-pendekar sakti dari berbagai pelosok pulau Jawa untuk menangkap Mbah Jimar, namun pendekar-pendekar bayaran itu tak mampu membekuk Mbah Jimar, setelah ia mengeluarkan pusaka pamungkasnya berupa keris yang bernama Keris Kiai Megalamat.

Cahaya kemerah-merahan itu terpancar seperti bara api saat Mbah Jimar mengeluarkan keris pusaka itu. Kemudian ia mengamuk seperti banteng terluka dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Ketika keris itu meluncur ke arah musuh, keris itu melesat tanpa sia-sia.

Sepuluh pendekar centeng Belanda itu mulai waspada dan beberapa pendekar mengeluarkan pusaka mereka masing-masing. Suara benda tajam saling berdesing. Keris milik Mbah Jimar melayang-layang. Gerakan Mbah Jimar seperti angin. Beberapa kali Mbah Jimar menghalau pukulan dan melakukan serangan balik, sehingga membuat para pendekar-pendekar bayaran itu kalang kabut. Ada beberapa yang tewas, ada pula yang melarikan diri.

Mbah Jimar mendapat keris itu dari ritual penarikan gaib yang didapat dari pohon keramat di pesisir Tuban. Keris sakti itu konon adalah milik Adipati Ronggolawe.

Setelah beberapa bulan berguru kepada Mbah Jimar, Seto mendapat berbagai ilmu terutama tentang ajaran ketuhanan, kebatinan, olah kanuragan. Setelah digembleng Mbah Jimar, ia kembali ke Rembang. Dan Seto diwarisi keris sakti itu.

“Tugas pendekar adalah membela yang tertindas. Kau akan tak terkalahkan ketika kau membela kebenaran,” pesan Mbah Jimar, disusul oleh anggukan kepala dari Seto. Setelah berpamitan, Seto bergegas pulang menuju Rembang dengan berjalan kaki.

***

“Akhirnya kau kembali dengan cepat. Kami sudah menunggumu berbulan-bulan yang lalu. Belanda sudah menguasai seperempat daerah ini,” ucap salah satu teman seperjuangannya.

“Sebelum kita melakukan penyerangan, alangkah baiknya kita harus paham dengan kekuatan yang dimiliki musuh,” jawab Seto.

“Akulah yang akan menjadi mata-mata,” sambungnya.

Singkat cerita, ia mulai melancarkan aksinya dengan menyusup di markas musuh. Dengan cekatan ia mampu melompat dan bergerak seperti angin. Ia mengamati setiap kekuatan musuh. Dua orang tentara kompeni lewat di sebuah lorong, sementara ia harus melarikan diri agar tidak ada memancing keributan.

Ia melompati tembok besar dan segera bersembunyi agar tidak ketahuan oleh pasukan penjaga. Ia terus berlari sampai kemudian ia berada di ruangan khusus. Ia melihat seorang gadis cantik bersama dua pelayan sedang berada di kolam yang dipenuhi oleh bunga. Ia terpesona dengan kecantikan gadis itu. Dadanya bergetar. Pesona gadis itu menggetarkan hatinya. Baru pertama kali ia merasakan hal semacam ini.

“Mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta?” gumamnya.

Gadis itu melihat Seto. Seketika ia dan kedua pelayannya berteriak. Tak lama kemudian penjaga segera berdatangan. Penjaga yang sempat Seto lihat tadi segera menyerang dengan senapan. Dengan gerakan seperti angin, ia memecundangi penjaga itu dengan satu kali pukulan, seketika terhuyung, kemudian roboh.

“Tenanglah, aku bukan orang jahat,” katanya.

“Orang jelata tidak seharusnya berlaku lancang memasuki ruangan ini!” ucap Delina Van Holman.

“Baru kali ini aku melihat gadis secantik seperti kau,” tanpa sadar ia mengucapkan kata itu. Kemudian ia berlari dan melompat tembok untuk melarikan diri.

***

Delina sering kali berbohong. Ia sering bolos les bahasa Inggris dan Prancis, padahal ia menemui Seto di padang rumput. Mereka berbaring di atas rumput sambil menatap langit biru dengan awan-awan yang berarak. Mereka seperti sepasang merpati yang terbang bebas, merasakan kebahagiaan yang tak terukur oleh kasta.

Hal itu diketahui oleh penggembala yang ada di padang rumput itu, lalu melaporkannya ke Tuan Holman. Seketika, ia sangat murka lalu ia mengutus puluhan tentaranya untuk menangkap pemuda itu.

Tak begitu lama, rombongan pasukan kompeni itu sampai di padang rumput. Seketika mereka menodongkan senapan ke arah Seto. Ia mengeluarkan pusakanya. Keris itu menyala mengeluarkan cahaya kemerah-merahan. Ia membabat tentara kompeni, belasan musuh terbunuh.

Tuan Holman sudah mendengar kesaktian Seto, lebih tepatnya keris pusakanya. Ia memikirkan cara bagaimana ia bisa menangkap pemuda itu. Dahinya berkerut. Setelah memikirkan hal itu semalaman, alhasil ia menemukan cara untuk menangkap pemuda itu.

Keesokan harinya, Tuan Holman mengundang Seto ke rumahnya. Awalnya Tuan Holman merasa sangsi jika pemuda itu datang ke rumahnya. Tuan Holman menyambut dengan ramah ditemani oleh putrinya. Mata Seto berbinar saat melihat Delina yang begitu anggun dan cantik. Ia terpesona, sampai-sampai beberapa detik matanya tak berkedip. Delina melempar senyum kepadanya.

Tuan Holman mengetahui bahwa pemuda itu mencintai putrinya. Ia mengajukan kesepakatan dengan pemuda itu.

“Apa benar kau mencintai putriku?” kata Tuan Holman. Untuk sesaat Seto merasa gugup atas pertanyaan itu. Tetapi setelah itu ia berterus terang bahwa ia mencintai Delina.

“Benar, aku mencintai putri Tuan.”

“Benarkah?”

“Benar Tuan.”

“Kalau begitu, kamu akan memberikan segalanya untuk kebahagiaannya?”

“Iya Tuan, saya akan menjaganya seperti saya menjaga nyawa saya.”

“Baik, kalau begitu, aku akan merestui hubungan kalian tapi ada satu syarat. Kau harus memberikan mas kawin yang aku inginkan.”

“Apa itu Tuan?” tanya Seto, sedikit berdebar.

“Kau harus memberikan kerismu kepadaku,” ucap Tuan Holman bernada tinggi. Seketika Seto kaget mendengar persyaratan n itu. Ia terdiam, ada semacam pertentangan batin antara memberikan keris itu atau ia harus mengubur impiannya untuk menikahi gadis yang sangat ia cintai.

“Bagaimana?” kata Tuan Holman. “Kau juga dapat menikmati kekayaanku. Dengan begitu, kau dapat membantu rakyat yang kesusahan dan kelaparan,” sambungnya.

“Baiklah aku terima kesepakatan itu,” jawab Seto. Ia menyerahkan sebilah keris itu kepada Tuan Holman. Setelah diberikan keris itu, kemudian keris itu dibawa masuk oleh Tuan Holman.

Selang beberapa waktu, berpuluh-puluh pasukan mengepung Seto. “Ada apa ini?!” ucap Seto dengan nada tinggi. Pasukan itu sudah bersiap untuk menangkapnya, menodongkan senapan ke arahnya.

Awalnya Seto dapat melawan, namun ia terkena jaring yang membuat ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kemudian Seto diseret lalu dijebloskan ke penjara bawah tanah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan