Di tengah hiruk-pikuk wacana moderasi beragama, satu pertanyaan yang kerap terlewat adalah ini: mengapa agama—yang seharusnya membimbing manusia menuju kasih, damai, dan kebijaksanaan—justru kerap menjadi pemicu konflik, kekerasan, bahkan pembenaran atas penindasan?
Pertanyaan ini bukan tuduhan kosong. Ia lahir dari realitas sejarah dan pengalaman kita hari ini. Berbagai konflik berdarah di dunia, dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara, dari serangan ekstremis hingga ujaran kebencian di media sosial, sering kali melibatkan simbol atau klaim keagamaan.

Charles Kimball, seorang akademisi agama dari Amerika Serikat, menanggapi persoalan ini secara kritis dalam bukunya When Religion Becomes Evil. Ia menyebutkan lima ciri ketika agama menjadi sumber malapetaka: klaim kebenaran mutlak, tuntutan akan ketaatan buta, pembenaran kekerasan demi tujuan, glorifikasi masa lalu yang fiktif, dan pengkultusan pemimpin karismatik tanpa kontrol.
Pandangan ini mungkin terasa tajam, bahkan menyakitkan. Tapi justru karena itulah kita perlu menyimaknya. Kimball bukan sedang memusuhi agama, melainkan mengingatkan bahayanya jika agama kehilangan ruhnya dan dikendalikan oleh ego manusia.
Ironisnya, lima gejala itu juga bisa berkembang dalam tubuh umat Islam, seperti dalam agama lain, bila tak dijaga dan direfleksikan dengan jujur.
Islam Punya Imunitas, Tapi Sering Tak Digunakan
Yang menarik, Islam sebenarnya telah menyediakan “imunitas” terhadap penyakit-penyakit tersebut. Sejak awal, Islam memperkenalkan konsep ijtihad—yakni kebebasan berpikir dalam menggali hukum dan etika, selama berakar pada teks dan akal. Ini bentuk pengakuan bahwa pemahaman manusia atas wahyu tidak absolut, dan karenanya perlu terus diperbarui.
Ada pula konsep shura (musyawarah), yang mengajarkan pengambilan keputusan secara kolektif, bukan otoriter. Dalam prinsip keadilan (adl) dan kasih sayang (rahmah), Islam tidak hanya menekankan aspek ritual, tapi juga mendorong pembelaan terhadap yang lemah, toleransi kepada yang berbeda, dan keberpihakan kepada kemanusiaan.