Kenapa Indonesia Tak Ada dalam Al-Qur’an

94 views

“Adakah Indonesia disebut dalam Al-Qur’an?”

Pertanyaan itu terdengar seperti bisikan kecil yang mencemaskan. Diucapkan lirih oleh santri yang mencintai tanah airnya, karena seringkali kami disuguhi dengan slogan Hubbul wathon minal iman.

Advertisements

Tulisan ini terinspirasi dari obrolan kecil dalam lingkar “Ngopi Majelis Ilegaliyah”, sebuah lingkar forum kecil-kecilan yang sengaja dibentuk di lingkungan Pesantren Cipasung. Forum ini untuk menjaga sekaligus menghidupkan tradisi guru kami, Abah Ruhiat Cipasung yakni “Tarekat Ta’lim Watta’allum” namun dalam versi “ilegalnya”.

Disebut”ilegal”, sebab apa yang dibahas dan disalurkan belum tentu sahih dan mutawatir. Apalagi, setiap akhir sesi kami selalu mengucapkan dua kalimah syahadat terutama ketika topik yang dibahas soal-soal akidah kelas menengah semisal Ummul Barohin dan kitab-kitab yang ditulis langsung oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari semisal Alluma’, kitab-kitab Washil bin Atha’, Al-Milal Wannihal dan Aqidah Tsalatsah-nya Nashroni (Trinitas) yang agak rentan untuk “log out” dari Islam, tapi mudah-mudahan log in kembali setelah bersyahadat.

Saya rasa menarik ini untuk ditanggapi dengan agak serius walaupun tidak terlalu sahih, karena si penanya “Bengeutna piwatiren, polos, cileupeung, serta pikarunyaeun” namun sepintas melihat cahaya, harapan dan kerinduannya kepada Sang Nabi. Juga ingin melihat negerinya dalam cahaya wahyu.

Sayangnya, jawabannya lugas: tidak. Tak ada kata Indonesia dalam mushaf. Dari 6236 ayat, 114 surat, tak ada satupun kata tersebut atau semisalnya. Tak seperti Mishr (Mesir), Madyan, atau Saba’, negeri seribu pulau ini tidak muncul dalam satu pun ayat.

Tapi mari berhenti sejenak. Apakah karena tidak disebut berarti kita tidak penting? Atau justru karena tidak disebut, kita ditantang untuk menjadi bukti?

Kita mungkin absen dari “nash ayat”, tapi tidak dari “maksud ayat”, dibungkam dalam nama namun hidup dalam makna. Allah Swt berfirman:

> يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ

Artinya: “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.(Q.S. Al-Ḥujurāt: 13)

Ayat ini bukan menyapa bangsa Arab semata. Ia menyapa semua bangsa—Jawa, Bugis, Sunda, Batak, Dayak, Papua—yang hidup dalam keberagaman. Keberadaan kita sebagai bangsa bukan kecelakaan sejarah, melainkan desain Ilahiyah. Bahkan keniscayaan.

Dalam kitab Taurat (Kejadian 11:9), Allah juga menciptakan keragaman bahasa dan bangsa setelah peristiwa Menara Babel sebagai bagian dari kehendak-Nya: “…dari situlah Tuhan menyerakkan mereka ke seluruh bumi.”

Kita tak perlu dicari namanya dalam mushaf, sebab kita hadir dalam maksud wahyu itu sendiri.

Frasa ini sering dilantunkan dalam doa dan khutbah: “Baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr”. Kadang juga, di kampung saya (Singaparna), para mubalig sering sekali menambahi dengan awalan “Gemah ripah loh jinawi.”

Namun, perlu diperhatikan dengan seksama bahwa ayat itu muncul bukan dalam konteks pujian, melainkan prolog kehancuran.

> كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Artinya: “Makanlah dari rezeki Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu adalah) negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun.” (Q.S. Saba’: 15)

Tetapi setelah itu, negeri Saba’ justru kufur nikmat dan dihancurkan oleh banjir besar.

Apakah Indonesia cukup bersyukur? Apakah pemimpinnya amanah? Apakah santrinya teguh memegang ilmu dan akhlak? Apakah Al-Qur’an sudah jadi sumber inspirasi dan bukan sumber dogma?

Jika tidak, kita sedang berada dalam rel yang sama dengan Saba’: dipuji, lalu ditinggalkan sejarah.

Umat yang datang belakangan, tapi bisa menjadi penjaga cahaya, karena Islam datang ke Indonesia lewat jalur damai, yakni dengan proses ‘asimilasi’ dan interaksi sosial semisal dagang, budaya, akhlak. Tidak ada perang, tidak ada fathu. Islam ke Indonesia datang tidak dengan pedang atau imperialisme. Tapi ia datang dengan cinta yang menjalar lewat lisan dan teladan.

Allah berfirman:

> وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ ۚ

Artinya; “Dan (Rasul diutus juga kepada) kaum lain dari mereka yang belum bergabung dengan mereka…”(Q.S. Al-Jumu‘ah: 3)

Salah satu mufasir, seperti Al-Alusi, memaknai ayat ini sebagai nubuat untuk bangsa-bangsa di luar Arab (Ajam) yang kelak menerima Islam. Maka kita—umat Islam Indonesia—adalah buah dari janji itu.

Bahkan dalam Injil Yohanes 10:16, Yesus berkata:

“Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; mereka juga harus Kutuntun.”

Sebuah bayangan bahwa wahyu akan meluas ke penjuru dunia dan sampai kepada bangsa kita.

Santri tak butuh disebut namanya dalam ayat. Ia adalah penjaga makna, bukan pemburu pujian atau sekadar validasi. Menjadi bangsa muslim terbesar adalah amanah, bukan medali. Ia dibentuk bukan diwariskan. Negeri yang tak disebut ini justru diberi kepercayaan untuk menjadi laboratorium hidup bagi ayat-ayat Tuhan.

Jika santri Indonesia gagal memaknai ini, maka kita akan jadi kosong dalam kemegahan atau istilah sunda menyebutnya sebagai “kopong”. Ribuan pesantren, tapi tak satu pun menyala; jutaan santri, tapi tak satu pun menggugah nurani bangsa.

Indonesia secara dhohiriyah memang tidak ada dalam Al-Qur’an. Tapi bukan karena dilupakan. Mungkin karena Allah ingin kita tidak sekadar disebut dalam cangkang ayat, tapi menjadi makna ayat itu sendiri.

> وَفِي أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

Artinya: “Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?(Q.S. Adz-Dzāriyāt: 21)

Jangan minta disebut, tapi jadilah sebutan. Jangan hanya membaca ayat, lalu menghakimi orang lain, tapi hiduplah sebagai ayat. Karena ayat terbesar itu adalah negeri dan manusia yang menuliskannya dalam tindakan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan