Kemuliaan Ibu dalam Islam

3,220 kali dibaca

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Lukman: 14)

Setiap tanggal 22 Desember, kita memperingati Hari Ibu. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, bertepatan dengan ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kongres Perempuan Indonesia sebagai momentum agar kita menyadari bahwa peran perempuan (baca: ibu) sangat penting dalam membawa kesejahteraan bangsa.

Advertisements

Di dalam Islam, kedudukan seorang ibu adalah mulia. Hal ini dapat kita pahami, mengingat seorang ibu merupakan sosok yang begitu tabah dalam menghadapi kepayahan bahkan harus meregang nyawa demi melahirkan seorang anak. Sebelumnya, seorang ibu setidaknya selama 9 bulan mengandung atau hamil dengan segala kondisi yang tidak dapat dirasakan oleh orang yang bukan ibu. Setelah si bayi lahir, ibu masih harus berjuang dengan segala risiko lelah, penat, dan kesibukan mengurus si cabang bayi. Itu semua diberikan oleh ibu dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih, serta dilakukan dengan penuh cinta dan rasa kasih sayang.

Menurut al-Quran, Surat al-Lukman ayat 14 di atas, ada tiga persoalan yang dihadapi seorang ibu. Pertama, mengandung atau hamil selama kurang lebih 9 bulan. Dalam menjalani proses kehamilan, seorang ibu akan dihadapkan pada serangkaian lelah atau payah yang harus ditanggung (dalam bahasa al-Quran, payah yang bertambah-tambah). Namun, ibu tetap tabah dan sabar dalam menghadapi kenyataan ini.

Kedua, ibu harus menanggung sakit yang tak terperi ketika melewati proses kelahiran. Mengorbankan jiwa dan raga demi anak tersayang, demi generasi masa depan yang lebih baik. Ketiga, mengasuh seorang anak yang masih belia, tentu saja membutuhkan pengorbanan dan kesabaran. Membersihkan kotoran, harus bangun di saat orang lain terlelap, serta menjaga si jabang bayi agar tetap nyaman dalam pelukan.

Kemuliaan Ibu

Begitu besarnya pengorbanan seorang, hingga Islam mendudukkan posisi ibu di tempat sangat terhormat. Rasulullah bersabda, “Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu.” (HR. An-Nasi, Ahmad bin Hambal, dan Ibnu Majah).

Hadits ini sudah sangat masyhur di kalangan umat Islam. Meskipun terdapat perbedaan pendapat terhadap status hadits tersebut, namun secara makna termasuk dalam hadits sahih (sahih lidzatihi). Karena itu, berhujah dengan hadits tersebut tidak apa-apa, karena keterangan tentang kamuliaan seorang ibu banyak disebutkan, baik dalam al-Quran maupun hadits lainnya

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dikatakan, “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakan aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi SAW menjawab, ‘Ibumu’. Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW menjawab ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘ Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa seorang ibu tiga kali lebih utama daripada seorang ayah. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi, “Keutamaan ibu tiga kali lebih utama dibandingkan seorang ayah.” Hal ini dikarenakan pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu yang tidak dapat dibandingkan dengan nilai apa pun juga. Derita dan kelelahan seorang ibu jauh melebihi kelelahan dan kepayahan seorang ayah.

Dalam sebuah riwayat hadits, Rasulullah bersabda, “Rida Allah terdapat dalam rida kedua orangtua (ibu bapak) dan murka Allah terdapat dalam murka kedua orangtua.” (HR At-Tirmidzi).

Makna hadits ini menjelaskan bahwa kedua orang tua (utamanya ibu) dapat dijadikan sandaran keridaan Allah. Sebaliknya, ketika kedua orang tua tidak rela, karena suatu sebab yang logis, maka Allah akan murka dan akan berakibat bencana. Karena itu, selagi kedua orang tua kita masih ada, marilah kita berbakti kepadanya dengan cara yang arif, santun dalam bertutur kata, serta menghindari marahnya kedua orang tua.

Tentang Sebuah Kisah

Dikisahkan bahwa Rasulullah pernah berpesan kepada Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib untuk menemui seseorang yang bernama Uwais al-Qarni dan meminta doa darinya. Umar dan Ali merasa heran, apa keistimewaan dari Uwais al-Qarni ini, sampai-sampai Rasulullah menyuruh menemuinya dan meminta doa darinya.

Setelah diselidiki, ternyata Uwais adalah seseorang yang sangat berbakti kepada ibunya. Ibu Uwais sudah lanjut dan mengalami kelumpuhan. Namun, Uwais dengan segala kasih baktinya menuruti semua kemauan ibunya. Pada suatu ketika, ibu Uwais ingin sekali menunaikan ibadah haji. Namun karena keluarga Uwais termasuk miskin, ia tidak mampu untuk membeli kendaraan. Uwais pun berpikir bagaimana cara agar ibunya dapat menunaikan ibadah haji.

Kemudian, Uwais membeli seekor domba dan setiap hari digembalakannya. Tidak sebagaimana orang lain mengembala, Uwais justru menggendong dombanya, menaiki dan menuruni bukit. Semula Uwais dianggap gila oleh warga sekitarnya. Mereka tidak tahu bahwa hal itu ia lakukan sebagai latihan untuk menggendong ibunya dalam menunaikan ibadah haji. Dan benar saja, karena terbiasa menggendong domba, akhirnya badan Uwais menjadi kekar dan mampu menggendong ibunya ke tanah Mekkah yang jaraknya sangat jauh.

Sesampainya di Mekah, saat Uwais dan ibunya memunaikan ibadah haji, Uwais memohon kepada Allah agar dosa-dosa diri dan ibunya diampuni. Dan Allah mengabulkan doa Uwais al-Qarni. Itulah mengapa, Rasulullah berpesan kepada Umar dan Ali untuk meminta doa kepada Uwais. Doa Uwais al-Qarni makbul (diijabah oleh Allah) karena bakti dan pengabdiannya kepada ibu.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian.” (HR. Muslim).

Tidak sedikit ibrah (contoh) yang lebih bernilai legenda terkait dengan ibu. Durhaka kepada seorang ibu akan berdampak cukup fatal. Seperti kisah Malin Kundang, Sangkuriang, Si Tanggang, Batu Menagis, Si Lintang, Si Lancang, dan lain-lain adalah cerita rakyat yang dapat dijadikan peringatan oleh siapa saja. Bahwa, kalau kita durhaka kepada ibu, tidak berbakti atau bahkan menyakiti ibu, baik fisik maupun psikis, akan berdampak buruk dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.

Memaknai Hari Ibu

Berdasarkan cerita-cerita tersebut, Hari Ibu yang kita peringati setiap tanggal 22 Desember harus kita maknai dengan kegiatan yang bernilai positif. Nilai keagungan dari seorang ibu, sudah sewajarnya diaplikasikan dalam dunia realita. Menyemarakkan perbuatan kebajikan untuk lebih peduli pada ibu, seperti mengumpulkan dana dari donatur untuk diberikan ke panti-panti jompo. Mengadakan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan kemuliaan ibu, serta memberikan contoh langkah kongkrit terkait pengabdian terhadap seorang ibu.

Kemuliaan seorang ibu tidak dapat dibalas dengan perbuatan apa pun. Pengorbanan ibu tidak dapat dinilai dengan harta benda. Sebab cinta kasih, pengorbanan, dan sayang ibu tidak bernilai. Hanya Allah yang dapat memberikan balasan dari kemuliaan ibu dengan cinta dan kasih Tuhan.

Hari Ibu harus dijadikan pelecut bagi kita semua untuk lebih memperhatikan ibu. Senyampang ibu masih ada, hendaknya kita selalu berbakti kepadanya. Selagi ibu masih hidup, kesempatan untuk berbakti dan berbuat baik masih ada. Hendaknya kita peluk ibu sebagai reaksi cinta yang tak terperikan. Berikan senyum terbaik, agar hati ibu damai berada di sisi kita. Karena hanya dengan berbaik tingkah, ibu kita akan mendapatkan harapannya. Seorang anak yang salih, selalu berbuat sesuai dengan kaidah Islam. Ibu akan merasa bahagia mendapati seorang anak yang membuat ia tersenyum gembira.

Bahkan, andai pun ibu sudah tidak ada, maka kesempatan untuk berbakti masih terbuka. Nabi Muhammad bersabda, “Bila seorang hamba meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfat, serta anak saleh yang senatiasa mendoakan kebaikan baginya (kedua orang tua).” (Hadits dari Abu Hurairah).

Menjadi seorang anak yang kedua orang tuanya meninggal, mendokan keduanya agar diampuni dosa-dosanya, merupakan jalan yang terbaik. Berziarah ke makam kedua orang tua, juga merupakan bagian dari nilai kebaikan seorang anak. Doa seorang anak senanatiasa diharapkan oleh kedua orang tua, meskipun mereka telah menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sejenak kita ingat sebuah kisah di masa Rasulullah. Seorang sahabat bernama al-Qamah dipandang sebagai seorang yang taat beribadah. Setiap salat jamaah di masjid ia selalu berada di saf paling depan. Al-Qamah memiliki seorang ibu, sedangkan ayahnya meninggal dunia. Dan ia juga dikenal sebagai anak yang berbakti kepada ibunya. Apa pun yang dikehendaki ibu, Al-Qamah selalu memenuhinya. Tidak sekalipun Al-Qamah membiarkan ibunya mengambil air. Karena ia sendiri yang memenuhi keperluan air ibunya.

Namun, sejak Al-Qamah berumah tangga dan tinggal di rumah sendiri bersama istrinya, ia tidak lagi memperhatikan ibunya. Melihat kenyataan yang demikian, ibu Al-Qamah merasa sakit hati. Ibu Al-Qamah tidak rela terhadap perubahan sikap anaknya. Meski demikian ibu Al-Qamah tidak pernah menceritakan sakit hatinya kepada siapa pun.

Hingga sampai pada suatu waktu, Al-Qamah jatuh sakit bahkan mendekati ajal. Para sabahat berkumpul di rumah Al-Qamah dan menuntunnya agar membaca kalimat syahadat sebelum ia menghadap Tuhannya. Tetapi yang terjadi, justru Al-Qamah yang dikenal ahli ibadah, tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Tidak dapat mengucapkan kalimat tauhid. Melihat kenyataan tersebut, sahaba memberitahukan kepada Rasulullah. Rasul pun datang ke rumah Al-Qamah dan melihat kejadian aneh pada sahabat tersebut.

Kemudian, Rasulullah menanyakan ibu Al-Qamah. Apakah masih ada atau sudah meninggal. Sebagian sahabat yang mengetahui, memberitahukan bahwa ibu Al-Qamah masih hidup. Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Tolong datangkan ibu Al-Qamah ke sini.” Sahabat pun menjemput ibu Al-Qamah.

Setelah ibu Al-Qamah tiba di hadapan Rasulullah, “Wahai Ibu, kesalahan apa kiranya yang terjadi pada anakmu? Jika memang ada salah, tolong dimaafkan.” Ibu Al-Qamah menjawab, “Saya sakit hati wahai Rasul. Sejak menikah dengan seorang perempuan ia tidak lagi memperhatikan saya. Jadi, mana mungkin saya memaafkan anak yang durhaka,” jawab Ibu Al-Qamah bergetar sambil meneteskan air mata.

Mendengar jawaban ibu Al-Qamah, Rasulullah mempunyai cara jitu untuk meluluhkan hati sang ibu. Beliau memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan kayu bakar. “Kita bakar saja Al-Qamah ini, biar cepat selesai,” begitu sabda Rasul di hadapan para sahabat dan didengar oleh ibu Al-Qamah. Melihat anaknya akan dibakar, spontan ibu Al-Qamah berkata, “Jangan wahai Rasul, jangan dibakar Al-Qamah. Saya telah memaafkan segala kesalahannya.” Dan saat itu juga Al-Qamah menghadap Allah dengan lidah lancar mengucapkan kalimat tauhid.

Hari Ibu adalah waktu yang tepat untuk merenung diri. Apakah selama ini kita telah berbuat baik kepada ibu. Apakah selama ini kita telah patuh dan taat terhadap ibu. Maka jika masih ada waktu, segeralah kita cari restu dan rida dari seorang ibu. Karena kesempatan itu tidak datang dua kali. Pada saat ibu pergi untuk selama-lamanya, maka kesempatan untuk berbakti langsung kepadanya telah tiada. Hal itu akan melahirkan penyesalan dan tidak akan pernah terulang kembali.

Ibu telah mengorbankan banyak hal. Selanjutnya adalah kewajiban kita sebagai seorang anak untuk membalas kebaikan ibu dengan bakti dan kepatuhan. Berikan pelayanan terbaik bagi ibu, agar seorang ibu merasa bangga dengan keberadaan anaknya. Rida Allah tergantung pada rida ibu, maka jadikanlah ridanya untuk mendaptkan ampunan-Nya. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan