Kelahiran Nabi Muhammad merupakan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam. Tradisi Muslim menempatkannya sebagai momen yang sarat dengan tanda-tanda kebesaran, mukjizat, dan simbol-simbol spiritual.
Narasi yang berkembang dalam kitab-kitab sirah klasik, seperti karya Ibn Ishaq yang kemudian disusun ulang oleh Ibn Hisham, menggambarkan bagaimana cahaya terpancar dari perut Aminah, bagaimana istana Kisra Persia berguncang, dan bagaimana api sesembahan Majusi yang telah menyala berabad-abad lamanya tiba-tiba padam. Semua itu diyakini sebagai tanda kedatangan seorang nabi akhir zaman yang akan mengubah sejarah umat manusia. Dalam tradisi hagiografis Islam, kelahiran Nabi bukanlah sekadar peristiwa biologis, melainkan juga fenomena kosmik yang menandai transformasi besar dunia.

Namun, dalam kajian orientalis, narasi ini dipandang secara berbeda. Para orientalis, khususnya pada abad ke-19 dan ke-20, mendekati kisah kelahiran Nabi Muhammad dengan lensa historis-kritis. Mereka tidak serta merta menerima catatan mukjizat yang tercatat dalam sirah atau hadith, melainkan mencoba menafsirkannya sebagai konstruksi literer, simbolis, atau bahkan imajinatif, yang dibentuk oleh komunitas Muslim awal untuk memperkuat legitimasi kenabian Muhammad. Bagi sebagian orientalis, kisah kelahiran Nabi yang sarat mukjizat hanyalah sebuah pola yang lazim ditemukan dalam biografi tokoh-tokoh religius besar, baik dalam tradisi Yahudi, Kristen, maupun agama-agama Timur lainnya.
Salah satu orientalis awal yang memberi perhatian terhadap hal ini adalah Abraham Geiger. Dalam karyanya What has Muhammad Received from Judaism? (1833), Geiger berargumen bahwa banyak aspek ajaran Islam, termasuk narasi terkait kehidupan Nabi, mendapat pengaruh dari tradisi Yahudi. Ia menganggap bahwa kisah-kisah yang menyertai kelahiran Nabi Muhammad tidak terlepas dari pengaruh pola-pola narasi kelahiran tokoh-tokoh suci dalam tradisi Yahudi maupun Kristen.
Menurut Geiger, penyisipan unsur mukjizat dalam kelahiran Nabi Muhammad lebih bersifat teologis daripada historis. Pandangan ini sejalan dengan kecenderungan orientalis yang mereduksi unsur adikodrati menjadi hasil konstruksi komunitas keagamaan, bukan fakta objektif.
Tokoh lain, Sir William Muir, yang menulis Life of Mahomet pada abad ke-19, cenderung bersikap skeptis terhadap catatan mukjizat. Ia lebih menekankan aspek sosial dan moral Nabi Muhammad daripada kisah-kisah yang dianggapnya “legenda.”
Bagi Muir, kelahiran Muhammad hanyalah kelahiran seorang anak dari keluarga Quraisy, tanpa fenomena supranatural yang menyertainya. Namun, meskipun menolak mukjizat, Muir tidak bisa menutup mata terhadap pengaruh besar Muhammad dalam membentuk masyarakat Arab. Ia bahkan mengakui bahwa Muhammad memiliki “kelembutan dan kasih sayang yang mendalam, dipadukan dengan ketegasan dan keadilan,” sebuah kombinasi sifat yang jarang ditemukan pada tokoh sejarah lain. Kesaksian Muir ini menunjukkan bahwa meskipun ia skeptis terhadap narasi kelahiran yang penuh mukjizat, ia tetap mengakui kualitas luar biasa pribadi Nabi yang lahir dari peristiwa itu.
Montgomery Watt, salah satu orientalis paling berpengaruh pada abad ke-20, mengambil posisi yang lebih moderat. Dalam karya-karyanya seperti Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina, Watt tidak terlalu memusatkan perhatian pada kisah mukjizat kelahiran, melainkan pada dampak kelahiran Muhammad bagi masyarakat Arab.
Baginya, narasi mukjizat hanyalah simbol, sementara yang paling penting adalah kenyataan bahwa seorang tokoh lahir dari masyarakat yang sedang mengalami krisis moral dan politik, lalu membawa perubahan mendasar.
Watt menulis bahwa “ajaran Muhammad menghasilkan komunitas yang adil dan kohesif, sebuah transformasi sosial yang tak mungkin dijelaskan hanya dengan narasi mistis semata.”
Dengan demikian, Watt mengakui signifikansi kelahiran Nabi bukan karena fenomena kosmik yang menyertainya, tetapi karena dampak revolusioner yang ia bawa bagi sejarah manusia.
Selain itu, orientalis lain seperti Alfred Guillaume, seorang penerjemah terkenal dari karya Ibn Ishaq, lebih menyoroti aspek sastra dan simbolis dalam narasi kelahiran Nabi. Guillaume menilai bahwa kisah-kisah mukjizat dalam sirah harus dipahami sebagai “karya puitis dan simbolik” yang berfungsi memperkuat keyakinan komunitas Muslim awal.
Ia menegaskan bahwa, meskipun sulit dibuktikan secara historis, narasi tersebut tetap penting karena mencerminkan kebutuhan spiritual dan imajinasi religius umat. Bahkan, Guillaume mengakui adanya “eloquence, spiritual depth, and consistency” dalam wahyu Muhammad yang sulit dijelaskan hanya melalui reduksi historis semata.
Dengan kata lain, meskipun orientalis seperti Guillaume skeptis terhadap fakta mukjizat, mereka tidak menutup mata terhadap daya spiritual yang terkandung dalam narasi tersebut.
Di sisi lain, kritik tajam terhadap narasi mukjizat kelahiran Nabi Muhammad datang dari D.S. Margoliouth. Dalam karyanya Mohammed and the Rise of Islam (1905), Margoliouth menggambarkan kehidupan awal Nabi dengan kecurigaan mendalam. Ia menolak hampir semua laporan mukjizat, dan bahkan menuduh bahwa banyak kisah dalam sirah adalah hasil rekayasa politik untuk memperkuat legitimasi Nabi di mata umatnya. Margoliouth mewakili aliran orientalisme yang sangat reduksionis, yang memandang narasi keagamaan semata-mata sebagai alat ideologi.
Namun, tidak semua orientalis menolak total keistimewaan Nabi Muhammad. Sebagian justru menilai bahwa, meskipun kisah mukjizat kelahiran sulit diverifikasi, keagungan pribadi Muhammad sendiri cukup menjadi bukti kenabiannya. Misalnya, Thomas Carlyle, meski bukan seorang orientalis akademis, dalam kuliah terkenalnya Heroes and Hero Worship (1840) menyebut Nabi Muhammad sebagai “a true Prophet, not a liar,” dan menolak tuduhan yang meremehkan keaslian spiritualitasnya. Perspektif ini menunjukkan bahwa dalam spektrum orientalis, terdapat variasi antara skeptisisme ekstrem dan pengakuan parsial terhadap keagungan Nabi.
Kritik orientalis terhadap narasi kelahiran Nabi juga terkait erat dengan persoalan metodologi sejarah. Sebagian besar orientalis meragukan validitas sirah Ibn Ishaq, yang merupakan sumber utama biografi Nabi.
Mereka menekankan bahwa Ibn Ishaq hidup lebih dari satu abad setelah kelahiran Nabi, sehingga informasi yang disusunnya sangat mungkin sudah bercampur dengan legenda dan interpretasi teologis. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa Ibn Hisham, yang mengedit karya Ibn Ishaq, secara sadar menghilangkan bagian-bagian yang dianggap “tidak pantas” atau tidak sesuai dengan keyakinannya. Bagi orientalis, kondisi ini membuat narasi kelahiran Nabi sulit diperlakukan sebagai dokumen sejarah murni.
Dalam konteks inilah muncul karya Muhammad Mohar Ali, seorang sarjana Muslim yang menulis Sirat al-Nabi and the Orientalists sebagai jawaban terhadap pandangan skeptis orientalis. Ali berusaha menunjukkan bahwa meskipun sumber sirah memang memiliki keterbatasan, hal itu tidak berarti seluruh narasi kelahiran harus ditolak. Ia menekankan bahwa tradisi Islam memiliki mekanisme transmisi yang ketat, termasuk isnad dalam hadith, yang membedakannya dari sekadar legenda populer. Dengan demikian, narasi kelahiran Nabi Muhammad tetap memiliki nilai sejarah, meskipun harus dipahami juga dengan pendekatan simbolis.
Narasi kelahiran Nabi Muhammad dalam konstruksi pemikiran orientalis pada akhirnya mencerminkan benturan dua paradigma: paradigma religius yang melihat mukjizat sebagai realitas spiritual, dan paradigma kritis yang menilainya sebagai konstruksi literer. Para orientalis berusaha membongkar mitos untuk mencari “Muhammad historis,” sementara umat Muslim mempertahankan narasi mukjizat sebagai bagian integral dari iman.
Namun, menariknya, meskipun orientalis banyak menolak kisah-kisah mukjizat, mereka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dari seorang anak yang lahir di Mekkah pada tahun 570 M itu, muncul figur yang mengubah wajah dunia, baik dalam aspek spiritual, sosial, maupun politik.
Narasi kelahiran Nabi Muhammad dalam pemikiran orientalis lebih banyak ditempatkan sebagai teks simbolis ketimbang fakta sejarah literal. Para orientalis seperti Geiger, Muir, Margoliouth, Watt, dan Guillaume menampilkan variasi interpretasi mulai dari reduksi radikal hingga pengakuan parsial terhadap keagungan Nabi. Kritik mereka sering kali menyoroti persoalan metodologi, pengaruh agama-agama sebelumnya, dan peran komunitas dalam membentuk narasi.
Namun, terlepas dari semua skeptisisme itu, kelahiran Nabi Muhammad tetap diakui sebagai titik awal dari sebuah transformasi besar dalam sejarah umat manusia. Narasi mukjizat mungkin diperdebatkan, tetapi dampak kelahiran itu sendiri tidak dapat disangkal.