Setiap 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional—penanda lahirnya Boedi Oetomo pada 1908, yang menjadi tonggak awal kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan dan pendidikan. Tokoh-tokoh seperti Dr Soetomo dan Wahidin Soedirohoesodo menyalakan semangat kebangsaan melalui pena dan ide. Mereka sadar, kekuatan bangsa tidak hanya dibentuk dengan senjata, tapi juga dengan pikiran dan ilmu.
Kini, lebih dari satu abad kemudian, arena perjuangan itu berpindah: dari ruang kelas ke ruang digital, dari majalah ke media sosial. Dalam lanskap inilah, para santri diharapkan mengambil peran utama dalam kebangkitan digital yang berlandaskan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman.

Santri, dalam sejarah panjang Indonesia, bukan sekadar pelajar agama. Mereka adalah garda depan perjuangan, dari laskar resolusi jihad hingga pelopor pendidikan rakyat. Namun, di era cyber society, tantangan yang dihadapi tidak lagi berbentuk kolonialisme fisik, melainkan penjajahan informasi.
Polarisasi politik yang masif, penyebaran hoaks, dan maraknya ujaran kebencian menjadikan media sosial sebagai ladang konflik yang membahayakan kohesi sosial. Dalam kondisi ini, santri harus tampil bukan hanya sebagai pengguna pasif, tapi sebagai produsen narasi yang mencerahkan. Mereka harus membawa nilai-nilai pesantren ke dunia digital, menjadikannya ruang dakwah sekaligus medan literasi.
Perjuangan masa lalu berhasil karena didasari pada semangat pendidikan dan kesadaran kolektif. Layaknya perkataan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Menghargai dalam konteks kekinian bukan hanya mengenang, tetapi mewarisi api perjuangan dalam bentuk yang relevan.
Content creator berbasis pesantren harus hadir, bukan sekadar viral tapi mendidik. Mereka harus menciptakan konten yang mengangkat isu-isu kebangsaan, moderasi beragama, toleransi, dan keadaban publik. Inilah bentuk baru nasionalisme digital: mengisi ruang maya dengan gagasan dan nilai, bukan provokasi dan kebencian.
Kekuatan santri ada pada kedalaman ilmu dan kekayaan spiritualitas. Budaya ngaji, adab kepada guru, dan etika berpikir adalah fondasi kokoh yang bisa menjadi penawar dari kebisingan digital yang tak terarah. Jika ini dikombinasikan dengan keterampilan teknologi dan komunikasi massa, santri bisa menjadi figur penting dalam memproduksi narasi yang sehat dan inklusif.