Kasih Ibu

765 kali dibaca

Mentari mulai memanaskan suasana pasar. Ini saatnya Isti mendapatkan belanjaan murah. Dengan begitu, ia berharap bisa memberikan uang saku kepada Rizki. Di pasar, semakin naik tinggi matahari, harga sayuran biasanya semakin turun.

Dengan langkah malu Isti mendekati pedagang sayur yang belum laku dagangannya. “Jika boleh kangkung sama timunya tiga ribu,” Isti menawar.

Advertisements

““Ini lima ribu sudah murah sekali. Masa masih engkau tawar?” jawab pedagang sayur dengan ketus.

“Ini sudah agak layu, lagian pembeli sudah sepi. Masa cuma turun separo harga?”

Isti terus nyerocos menawar. Karena tak tahan dengan cerocosan Isti, pedagang sayur akhirnya menyerah.

***

Ketika langit telah memerah, saatnya Jayus mengandangkan angkut yang disopirinya. Usai itu, Jayus berjalan ke ruang bendahara PO Pelita. Wajah kecut terlukis saat ia mencoba menghitung setorannya. Kian hari, uang setoran Jayus semakin jauh dari yang diharapkan. Setelah yang setoran ditemina, si bendahara mengarahkan Jayus agar ke ruang direktur.

“Silakan duduk, Pak Jayus,” perintah direktur. “Sebelumnya aku minta maaf. Dengan menyesal aku tidak bisa memperpanjang kontrakmu sebagai sopir.”

“Ini, terimalah uang pesangon dari perusahaan. Regenenerasi merupakan hal biasa dalam perusahaan. Jadi mohon dimaklumi.” Wajah canggung mengiringi ucapan yang terlontar dari mulut sang direktur.

Dengan wajah murung, Jayus berjalan meninggalkan ruangan. Melihat sahabatnya dirundung murung, Sono pun menghampirinya.

“Yus,” panggil Sono. Jayus sengaja menghindar dengan membalik langkahnya.

“Ada apa Yus, wajahmu kamu tekuk begitu?”

“Aku mulai besok sudah tidak bekerja di sini,” jawab Jayus.

“Mengapa? Kamu mau….”

“Tidak. Aku dipecat,” tukas Jayus dengan kesal.

“Tenang, Bro. Aku dengar dari temanku, PO Mahkota sedang membuka lowongan sopir angkut. Jika berminat kamu mau bisa melamarnya ke sana. Walaupun gajinya tidak sebesar di sini,” kata Sono yang berusaha menghiburnya.

“Angkut sekarang sepi. Orang-orang lebih suka motor daripada angkut. Apalagi kondisiku tak seperti muda dulu, ditambah lagi kondisi cacat kakiku.”

“Cobalah melamar di sana, siapa tahu kamu diterima. Menurutku tidak mengapa kamu sementara bekerja di sana. Nanti jika ada lowongan kerja yang lebih banyak gajinya baru kamu pindah.”

Dengan tak acuh Jayus meninggalkan Sono.

***

Jayus duduk di meja depan TV. Diseruputnya kopi pahit yang masih panas. Melihat wajah murung suaminya, Isti berjalan mendekatinya.

“Ini amplop apa, Pak?”

Jayus diam, tak menjawab pertanyaan Isti. Tampak wajah kesal Jayus. Isti tetap berusaha menghiburnya.

“Aku rebuskan air hangat untuk mandi ya? Jika ingin makan dulu, sayurnya sudah hangat.”

“Diamlah! Aku sedang mikir! Sana pergi jangan ganggu aku.”

“Ada yang salah denganku? Aku minta maaf jika ada yang salah. Coba katakan apa yang terjadi? Mungkin aku bisa meringankan beban Bapak.”

Jayus merasa terngganggu dengan omongan Isti. Ia berdiri kemudian mengangkat tangannya hendak menampar Isti.

“Ibu…” teriakan Rizki menghentikan niat Jayus.

“Kalau aku minta kamu diam, maka diamlah!” kata Jayus kepada Istri sambil mendorong Isti hingga sempoyongan.

“Uang di meja ini untuk makan kita sebulan!” Tangan Jayus meletakan sebuah amplop di meja dengan gebrakan keras.

Sejak mengalami kecelakaan, sikap Jayus berubah menjadi temperamental. Sering kali ia ringan tangan kepada Isti. Perilaku ayahnya yang semena-mena kepada ibunya membuat hati Rizki terpukul rasa kecewa. Terlebih, karena ibunya hanya terdiam saja terhadap sikap ayahnya. Semakin hari sikap kasar Jayus semakin menjadi.

Beban kecewa Rizki semakin semakin hari semakin memberat. Malam ini ia tidak tahan lagi untuk tinggal bersama orang tuanya. Di tengah kensuyuian malam ini, ia memutuskan untuk minggat dari rumah. Mendengar suara pintu terbuka, Isti bangun dari tempat tidurnya. Ia melihat Rizki berlari ketika saat dirinya memasuki ruang tamu.

“Riz, kamu mau ke mana?”

Langkah kaki Rizki semakin cepat ketika mendengar penggilan ibunya. Isti tak menyerah, dan mengejar sambil terus memanggil anaknya. Tetapi apa daya, kaki tua Isti tak mampu mengimbangi cepatnya langkah putrinya yang berusia belasan tahun itu. Tiba-tiba suara ibunya tak lagi terdengar, Rizki pun menengok ke belakang. Ia melihat ibunya tergeletak di tengah jalan berbatu.

“Ibu…” Rizki berbalik menghampiri ibunya. “Ibu maafkan aku.”

Sengaja Isti tidak membuka matanya selama beberapa menit untuk mendapatkan hati Rizki. Air mata Rizki tak hentinya terjatuh. Tak tega melihat putri kesayangannya terlarut dalam penyesalannya, Isti membuka matanya.

“Sudah, hentikan tangismu, Nak.” Jawaban Isti menerbitkan senyum di wajah Rizki.

“Ayo kita pergi meninggalkan Bapak sekarang. Aku tak ingin ibu semakin menderita.”

“Jika ibu pergi meninggalkan Bapakmu, apa kata orang-orang kepada Bapakmu? Pasti mereka akan menyalahkannya. Ibu tak memilih pergi meninggalkan kalian karena ibu tak ingin keluarga kita terpisah. Selama tidak membahayakan jiwa kita, ibu rela menerima kata-kata kasar atau pukulan ringan bapakmu.” Isti membangunkan tubuh rentanya dari tanah, kemudian berjalan sambil menggandeng erat tangan Rizki.

“Dulu bapakmu adalah orang baik. Bapakmu orang yang sabar, pekerja keras, dan penyayang keluarga. Mungkin akibat benturan keras sewaktu kecelakaan menyebabkan gegar otak akibat yang dialaminya ia sekarang menjadi pemarah. Mungkin juga ditambah dengan kondisi kakinya yang tak sempurna itu, bapakmu semakin terbebani. Ia tidak bisa mengendarai bus dengan cekatan sehingga tidak banyak penumpang yang menyukainya. Betapa bersalahnya kita jika meninggalkan bapakmu dalam masa susah.”

***

Usai perpisahan kelas XII digelar, Pak Naryo memanggil Rizki dan orang tuanya untuk segera ke ruang BK. Ia mengabarkan bahwa Rizki telah lolos SNMPTN di salah satu kampus ternama. Mendengar itu, mereka bergembira, tetapi lain dengan Rizki. Rasa khawatir menyelimuti wajahnya.

“Selamat ya, Ris.” ucap Pak Naryo dengan tersenyum.

“Terima kasih, Pak. Kami mohon izin untuk pulang,” sahut Rizki. Mereka bertiga meninggalkan ruang BK.

“Nanti waktu perjalan pulang kita mampir ke Rumah Makan Mapan untuk merayakan kesuksesanmu.”

“Apa ini tidak berlebihan?” Perkataan Rizki membuat suasana hening sejenak. Jayus menatap Rizki dengan senyum yang semakin memudar.

“Bagi kami, kamu diterima sebagai mahasiswa adalah kebanggaan karena Allah telah memberikan kelebihan ilmu dibanding anak-anak lainnya,” Isti menghibur putrinya.

“Tetapi biaya kuliah tidak murah, Bu. Belum tentu juga setelah lulus aku bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa membanggakan Bapak-Ibu.”

“Bukankah dengan kamu berkuliah berarti kamu akan mendapatkan ilmu yang lebih dibanding dengan anak yang tidak berkuliah? Apa dengan tidak dijaminnya mendapat pekerjaan yang layak lalu kamu berhenti menuntut ilmu?” tanya Jayus.

Rizki menjelaskan keinginannya untuk tidak membebani orang tuanya dengan berkuliah. Ia ingin lekas bekerja untuk membantu ekonomi orang tuanya.

“Kamu harus kuliah. Insyaallah, Allah akan memudahkan jalan orang yang menuntut ilmu. Aku juga sudah lama menabung dengan menyisihkan uang belanja untuk persiapan masa depanmu. Jadi, jangan mengkhawatirkan kami.”

“Tapi, Bu…” belum sempat Rizki menyelesaikan ucapannya, Isti menukasnya.

“Dengan kamu melewatkan kesempatan ini, berarti kamu telah mengecewakan kami. Satu-satunya harapan kami untuk mengubah nasib, kamu pupuskan.”

***

Kebahagiaan mendatangi keluarga Rizki hari ini karena akan ada calon besan yang berkunjung ke kos Rizki untuk membicarakan pernikahan kedua anak mereka. Jayus dan Isti sengaja berkunjung ke kota yang beratus kilometer jaraknya untuk menemui calon menantu serta calon besannya. Mereka membawakan beraneka penganan dari kampung sebagai ungkapan syukurnya atas lamaran anaknya. Sesampainya di kosan Rizki, peluk cium Isti dijatuhkan ke tubuh putri semata wayangnya.

“Ini uang saku dari kami, terimalah ini, Riz.” Walaupun Rizki sudah bekerja, Isti tetap menganggapnya sebagai gadis mungil kesayangannya.

“Saya sekarang sudah bekerja sebagai penulis sekaligus editor di Penerbit Lentera Ilmu. Gajinya sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi, tidak perlu memberikan uang saku lagi, Bu.”

“Terimalah uang pemberian kami ini, sebagai syarat kami menafkahimu. Bukankah kewajiban orang tua menafkahinya sampai anak perempuannya sudah menjadi istri seseorang.” Melihat ibunya memohon dengan sangat, Rizki memutuskan menerima uang pemberian ibunya.

“Baiklah Bu, saya menerimanya. Terima kasih, Bu.” Berkali-kali Rizki mengecup tangan keriput orang tuanya untuk meluapkan perasaan cinta kepadanya.

“Jam berapa calon menantuku datang?” tanya Jayus kepada Rizki.

Belum sempat Rizki menjawab, suara ketukan pintu terdengar. Rizki berdiri dari tempat duduknya untuk membuka pintu kosnya,

“Assalamuaikum…”

“Waalaikumsalam…”

Pandangan Adit dan Okta menjadi malas ketika memasuki kamar kos yang berukuran 25 meter persegi. Wajah orang tua Rizki yang tampak miskin dengan baju sederhana menambah tawar hati mereka.

“Kelak Rendi akan kami warisi beberapa showroom mobil. Coba jelaskan mengenai latar belakang keluarga Anda serta pekerjaan Anda?” tanya Adit, ayah Rendi.

Isti menjelaskan bahwa pekerjaannya sebagai pemilik toko kelontong di desanya, suaminya sebagai penarik angkutan umum, sedangkan anaknya bekerja sebagai editor sekaligus penulis lepas di sebuah penerbit.

“Mengapa kamu lebih memilih dia, Ren? Apa kelebihannya dibandingkan Sherly. Ia sekarang menjadi manager di swalayan milik keluarganya. Di masa depan, Sherly akan menjadi pewaris usaha milik keluarganya,” kata Okta, ibu Rendi.

“Rizki lebih cantik, Bu. Ia juga cerdas. Setelah merenerima ijazah sarjana, ia akan dijadikan manejer tim kreatif di tempat kerjanya jika mampu mempertahankan kinerjanya. Saya yakin nanti Rizki bisa membantu saya dalam mengelola usaha Papa dan Mama.”

“Menjadi direktur kreatif tetap saja menjadi pekerja, bukan pemilik perusahaan. Sudah dari dulu, orang tak punya merayu anak orang kaya itu untuk mengubah nasibnya,” celetuk Okta. Isti merasa kecewa anaknya direndahkan.

“Atas dasar apa, Anda berprasangka? Walaupun bukan sebagai pemilik perusahaan, Rizki ini anak yang mandiri. Ia berkuliah dengan biaya sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan ia selalu mendapatkan nilai hampir sempurna.”

“Coba jelaskan apa motif keluarga Anda menerima lamaran Rendi jika bukan karena harta?” ucapan Okta menyulut amarah Jayus. Ia tak tahan hendak menumpahkan kemarahannya.

“Ma!…” kata Adit dengan nada tinggi. “Mohon maaf, atas sikap istri saya. Mohon maaf, kami belum bisa memutuskan untuk melamar Rizki. Kami akan mendiskusikan hal ini terlebih dahulu.”

“Tahan amarahmu, Pak. Jangan sampai kita memperkeruh keadaan,” bisik Isti kepada suaminya.

Seketika tangan Isti memegang kepalan tangan Jayus untuk memberikan isyarat agar Jayus mengendalikan diri. Ia meremas tangan Isti sekuat tenaga untuk melampiaskan marahnya. Karena Jayus meremas kuat, Isti menyeringai menahan kesakitan.

Air mata Rizki terurai ketika keluarga Rendi meninggalkan kosnya.

“Jika memang jodohmu, walaupun ada rintangan apa pun, pasti kalian akan bersatu. Tetapi alangkah baiknya jika pernikahan mendapat restu orang tua,” Jayus berusaha menghibur Rizki.

Malam ini Isti menemani anaknya tidur di kamarnya. Semalaman, Isti mendengar anaknya tersedu-sedu. Isti hanya bisa pura-pura tak mengetahuinya. Ia tak telah kehabisan kata-kata untuk meredakan ketawarhatian Rizki.

***

Rasa tak tega melihat anaknya larut dalam kesedihan selama berhari-hari memaksa Isti untuk mengajak Jayus menemui Okta. Ia ingin kembali merembuk perjodohan kedua anak mereka.

“Mohon maaf Bu, apa yang membuat Anda tidak bisa menerima Rizki jadi menantu Anda?”

“Bukankah semua keluarga menginginkan anaknya mendapat kebahagiaan. Salah satu kebahagiaan itu adalah kecukupan finasial. Kami tak ingin kondisi ekonomi Anda menjadi beban kami,” jawab Okta.

“Yang memberatkan Anda, jika kami meminta uang kepada Rizki?”

“Kami hanya butuh komitmen Rizki benar-benar tulus mencintai Rendi. Keluarga besan harus berjanji di atas materai tidak akan meminta gaji Rendi dan Rizki,” pinta Okta.

“Mama keterlaluan jika seperti itu. Tidak perlu mereka membuat surat seperti itu!” Adit menimpali.

“Setelah mereka menikah bukankah kita mewariskan beberapa showroom kepada Rendi? Ini sebagai antisipasi mereka memanfaatkan kita.”

“Tapi aku menolak jika selamanya besan tidak boleh meminta bantuan finansial kepada mereka. Berikan jangka waktu yang realistis. Aku lebih setuju jika membatasi nominal uang pemberian kepada besan,” sekali lagi Adit menyanggah.

“Jika hanya kami tidak boleh meminta uang kepada mereka, kami pasti setuju. Selama ini kami ikhlas menafkahi Rizki. Tak pernah terbesit dalam hati kami untuk meminta kembali yang telah kami berikan kepada anak kami,” Jayus menimpali.

***

“Istri Anda mengidap kanker serviks stadium lanjut. Sel kanker telah menyebar ke paru-paru. Kami sudah berusaha maksimal. Saran kami, biarkan istri Anda menikmati kehidupannya karena kondisi psikologis Ibu Rizki sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Obat dan kemo akan sangat efektif jika kondisi psikologis Ibu Rizki baik,” penjelasan dokter kepada Rendi.

“Baik, Pak. Terima kasih.” Usai bercakap, Rendi pun keluar menuju ke mobilnya.

“Maaf ya Ma, terlalu lama menunggu, ini tadi saya msih konsultasi dengan Dokter Adi.”

“Tidak mengapa Pa. Apa kata Dokter Adi?” tanya Rizki.

“Cuma bilang besok dua minggu lagi Mama harus kontrol dan kemo. Sekarang kita ke mana, Ma? Langsung pulang atau ke mana?”

“Sebenarnya aku ingin pulang menemui ibu, Pa.”

“Baiklah, kita pulang dulu untuk menjemput Amel.”

“Tidak perlu Pa, aku ingin sendirian menemani ibu. Kasihan Amel jika membolos, nanti tertinggal pelajarannya. Saya titip Amel ya, Pa?”

Dengan berat hati, Rendi melepas kepergian Rizki. Bersama deru kereta api, Rizki pulang ke kampung halamannya untuk melepas rindu kepada ibunya.

ilustrasi: encyclopedia dki, karya amang rahman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan