Karena Mantra Jono

1,547 kali dibaca

Ruangan berdinding dari bilah bambu itu terasa semakin panas. Warga yang sudah berbulan-bulan dilanda paceklik terus mendesak Pak RT. Gemeretak obor di pojok ruangan menambah temaram keadaan.

Tahun 1950-an, negeri ini disibukan dengan penataan infrastruktur pasca kemerdekaan. Hal itu berdampak pada kemakmuran rakyat. Kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan merajalela. Padukuhan Wiyagan mengandalkan pertanian dan perikanan pada bendungan di utara desa. Namun, kini bendungan itu telah kering.

Advertisements

“Sudah kubilang, Pak RT! Jono itu sumber bala bagi desa kita. Wabah, gagal panen, sampai bendungan mengering pasti itu akibat jampi-jampinya,” tuduhBadrun.

“Betul, Pak! Kemarin saya melihatnya membawa buku lusuh sambil komat-kamit sembari menengadah. Tak lama, dia meludah ke bendungan kita,” sambung Warno dari belakang, menguatkan laporan Badrun.

“Sudah-sudah! Harap semua kembali duduk. Tenangkan pikiran, jangan menuduh orang lain,” ujar Pak RT menenangkan warga.

Tamu yang hadir dalam rapat merasa tak puas. Mereka terus saja bersahutan membenarkan ucapan Badrun. Namun, mendengar jawaban Pak RT, suasana semakin kacau.

“Bapak membela Jono? Jangan-jangan kalian bersekongkol untuk membuat banyaknya kematian penduduk, agar semakin kaya karena kalian mendapatkan tumbal pesugihan!” teriak Badrun memengaruhi warga lain.

“Jaga mulutmu, Badrun!” bentak Pak RT sambil menatapnya tajam.
***
“Mak, kenapa mereka menuduhku menjadi biang permasalahan di padukuhan kita?” keluh Jono.

Sarmi tersenyum mendengar hal itu. Sembari menyelesaikan pembuatan gula jawa, dia memindahkan panci berisi gula cair ke meja di samping Jono.

“Sudahlah, Nak. Itu tuduhan warga yang tak berdasar. Mamak tahu kamu tidak melakukan hal itu,” ujar Sarmi menenangkan.

Mendengar ucapan mamaknya, tampak Jono menghela napas berat. Masih ingat di benaknya. Pada rapat desa, banyak warga yang menuduhnya mengguna-guna bendungan. Padahal, dia hanya membaca buku yang diberikan oleh leluhurnya secara turun-temurun. Yang diyakininya, kalau ada persoalan paceklik, dia harus membaca tulisan di buku itu, sambil mengusap wajah dan meludah ke bendungan yang menjadi sumber utama kehidupan masyarakat. Maka, bendungan utara desa menjadi pilihanya.

“Nak, jangan kau hiraukan para warga yang bodoh itu. Gusti Kang Agung itu ora sare. Semua pasti akan menemukan kejelasanya. Tinggal menunggu waktu.”

Melihat anaknya yang masih murung, Sarmi segera duduk di sebelah anaknya. Dia angsurkan segelas teh dengan campuran gula jawa cair.

“Entahlah, Mak. Mereka menuduhku mempelajari ilmu hitam. Selalu saja, apapun yang kukatakan dikira membaca mantra.”
***
Sarmi merasa miris atas nasib yang menimpa keluarganya. Perdukunan dan persoalan klenik di daerahnya memang lebih dipercaya. Dia dan anaknya hanya berusaha menjalankan wasiat suaminya.

“Jangan ikut-ikut kekufuran warga. Yakinlah Gusti Kang Agung iku maha kaya,” ujar Wardi sebelum detik-detik ajalnya.

“Bapak ngomong apa, to? Insyaallah bapak sembuh,” tangis Sarmi pecah ketika mendengar kata suaminya. Tak berselang lama, Wardi menarik napas dalam dan terdiam dengan damai.
***
Kelepak sayap kelelawar, bunyi hewan malam, dan kerlip kunang-kunang membungkus rumah reot Jono. Suasana malam semakin temaram. Gelapnya perdesaan yang belum mengenal listrik menambah aura hitam yang mengelilinginya.

“Ya, sudahh, Nak. Lekas tidur sana! Jangan terus kau pikirkan omongan Badrun dan anteknya.”

“Iya, Mak,” Jono patuh dan lekas beranjak menuju kamar.

Kilasan beberapa bulan lalu itu cukup menyesakkan dadanya. Permusuhan Badrun dengan keluarganya berawal dari persaingan usaha tambak ikan. Badrun tidak terima kalau ternyata usaha suaminya lebih maju. Padahal, menurutnya, dia sudah menggunakan bibit ikan ungggul. Hingga entah kenapa, sepulang dari jamuan makan di rumahnya, suaminya pulang sempoyongan, dengan wajah membiru.
***
Sreeeet.. Gedubrakkk!” Suara pohon tumbang mengagetkan keluarga kecil Jono.

Kemudian, teriakan warga mendadak ramai di depan rumah Jono. Deretan bunga, pohon mangga, dan tumpukan kayu bakar berhamburan diamuk warga.
Duak, Duak, duak!” Gedoran di rumah reot itu semakin membuat nelangsa penyangga pintu yang lapuk.

“Jonoo, keluar kamu!” teriak Warno.

Debu-debu beterbangan. Pagi yang sunyi pecah oleh amukan para warga yang terus memadati halaman. Jono dan Sarmi sedang membereskan susunan gula saat mendengar keributan di luar rumah.

Sebelum ke rumah Jono, para warga mendatangi Deni selaku RT. Ia gagal menenangkan warganya. Mereka ingin menghajar Jono. Bagi mereka, Jono dan keluarganya penganut ilmu sesat. Bencana yang melanda desa diyakini karena jampi-jampi keluarga ini. Bagi mereka, tidak mungkin Badrun yang disepuhkan dan sangat dermawan itu membohongi dan memfitnah orang.

“Mak, selamatkan Dek Kinanti. Aku akan segera menemui warga,” ujar Jono sembari menahan pintu.

“Tapi, Nak, mereka itu membawa peralatan berbahaya. Ayo kita pergi bersama.”

“Tak ada waktu, Mak. Lekas mengungsi dulu!”

Sarmi tak mampu berkata-kata lagi. Tak ada pilihan, segera dia gendong anak bungsunya. Hutan bambu di belakang rumah menjadi pilihanya. Sembari terus berlari, doa keselamatan untuk anaknya tak pernah putus. Air matanya terus menganak sungai. Dia teringat almarhum suaminya.

Braaaaaaak!!!” akhirnya pintu jebol.

“Ini pembawa sialnya!” teriak Warno sambil berusaha menyeret Jono ke tengah kerumunan warga.

“Heh, pemuda sesat! Jangan mengelak kamu!”

“Apa yang kalian inginkan? Permasalahan di desa kita ini bukan salahku. Melainkan salah kalian sendiri selalu menyekutukan Allah,” tutur Jono tenang sembari terus menghindar.

“Tahu apa, hah!? Kamu itu penganut ilmu sesat. Sok-sokan menasihati kami.”

Kekacauan semakin tak terkendali. Jono berusaha terus menjelaskan duduk perkara. Namun, tak dihiraukan warga. Hingga, jeratan tali berhasil mengenai kakinya. Hunjaman parang, injakan kaki, dan pukulan tangan telak merundung tubuhnya yang ambruk.
***
Dari balik pohon kelapa, Badrun mengintip apa yang terjadi di depan matanya. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Segera, dia betulkan baju dan posisi berdirinya. Ketika, dari kejauhan, tampak olehnya seorang pemuda menghampiri.

“Mas, mata air sudah kembali dibuka. Tanah dan besi penyumbat selesai kugali kembali dengan anak buahku. Mana bayaranya?” lapor pemuda tersebut.

“Ooh, jadi kamu sumber masalah desa kita!” bentak sebuah suara.

Badrun dan pemuda itu pun menoleh. Sontak mereka kaget dengan wajah pucat. Tak disangka, Pak RT bersama tentara sudah berdiri di belakang mereka.
***
Keributan warga masih berlangsung. Hingga, sebuah teriakan menghentikan kebrutalan mereka.

“Hei! Ini buku mantra Jono! Ternyata, isinya ayat kursi yang ditulis berulang-ulang!”

Tak lama semerebak bau wangi mengitari mereka. Pandangan warga tertuju pada tubuh tergeletak di belakang mereka. Wajah tersenyum dan keningnya berkeringat. Warga pun merinding menyaksikan hal tersebut. Saat itu, Badrun digelandang ke hadapan mereka dengan tangan terikat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan