Kang Zastrouw, sapaan akrab Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia Dr Ngatawi Al-Zastrouw, menerbitkan buku baru. Bukan buku biasa. Profesor Dr Semiarto Aji Purwanto menyebutnya sebagai buku autoetnografi. “Etnografi yang ditulis oleh aktornya sendiri,” demikian Prof Aji menyebutnya.
Buku yang diberi judul Oase Hikmah Para Masyayikh tersebut diterbitkan pada Rabu (14/5) malam di selasar gedung Makara Art Center (MAC) Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat. Peluncuran buku ini berbarengan dengan acara Majelis Nyala Purnama yang dihadiri para pegiat seni dan budaya.

Diberi anak judul “Catatan Anjangsana Islam Nusantara”, buku anyar Kang Zastrouw yang disunting dan dieditori penyair Mahwi Air Tawar ini membeberkan kisah perjalanan Kang Zastrouw mengunjungi (sowan) para tokoh agama atau kiai atau disebut masyayikh, satu laku yang menjadi tradisi santri.
Prof Aji, yang menuliskan prolog, memberikan catatan-catatan bernas yang disampaikan pada peluncuran buku ini. Pertama, dari buku tersingkap bahwa para kiai atau masyayikh ternyata bukan sekadar tokoh agama. Lebih dari itu, mereka adalah agen budaya. Bahkan, melalui modernisasi yang dilakukan di lingkungan pesantren, para kiai sekaligus bertindak sebagai agen sosial, ekonomi, dan politik.
Kedua, buku ini juga mengungkap bahwa proses islamisasi yang terjadi di lingkungan pesantren berlangsung sangat dinamis dan dialogis. Islamisasi tidak berlangsung secara tekstual belaka, namun juga kontekstual.
Ketiga, melalui buku, kita disadarkan bahwa Islam figur-figur ulama atau tokoh agama di Nusantara demikian beragam. Dalam figur-figur ulama Nusantara, selalu ada perpaduan antara sufisme dan nasionalisme. “Para kiai ini memiliki kecanggihan sosial tersendiri dalam mendidik masyarakatnya,” ujar Prof Aji.
Keempat, buku ini juga mengungkap bahwa ternyata Islam bukan sekadar (identitas) agama. Buku ini menampilkan betapa Islam sesungguhnya juga telah menjadi indentitas budaya, karena tak melulu berurusan dengan Tuhan, melainkan juga urusan manusia dengan manusia serta pranata sosialnya.
Yang menarik dari buku ini, di mata Prof Aji, merupakan etnografi yang ditulis dengan gaya khas santri. Penuh humor tapi tetap berpegang pada unggah-ungguh (adab). Lebih dari itu, buku ini merupakan buah dari perjalanan seorang santri mengunjungi atau men-sowani para kiainya.
Anjangsana yang dimaksud dalam buku ini tentu bukan sekadar perjalanan fisik. Lebih dari itu, ia merupakan perjalanan spiritual (spiritual journey) atau laku dalam tradisi Jawa.
Dari buku, Prof Aji melihat Kang Zastrouw sebagai penulisnya sedang menjalani laku untuk mencapai sesuatu atau spiritual journey. Tiap journey selalu ada pertemuan dengan tokoh empirik dan spiritual. Laku sendiri dijalani sebagai proses belajar untuk terlahir kembali. Laku, ngelakoni, lakon. Dengan spiritual journey ini, Kang Zastrouw terlahir kembali melalui bukunya ini.
Ada 10 tokoh agama, kiai, atau masyayikh yang diceritakan dalam buku ini. Semua diceritakan dengan deskripsi yang penuh empati. Memang, diakui Prof Aji, ada kecenderungan glorifikasi pada tokoh-tokoh tertentu. “Tapi kita harus berterima kasih atas terbitnya buku ini. Sebab, spiritual journey biasanya tak boleh diceritakan, tapi ini malah dibukukan. Pasti ada yang istimewa untuk kita baca,” tutup Prof Aji.
Dalam buku setebal 190 halaman yang diterbitkan Penerbit Gapura Publishing ini, tergambar betapa Kang Zastrouw sebagai penulis telah menempatkan cerita, laku hidup, dan kearifan para kiai sebagai mata air peradaban yang perlu terus digali dan dialirkan agar dapat menyebar. Hal ini diperlukan untuk menumbuhkan benih-benih peradaban.
Buku Oase Hikmah Para Masyayikh ini tak lain merupakan ikhtiar Kang Zastrouw untuk mengalirkan air jernih peradaban tersebut. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai upaya menjaga mata air agar tidak tersumbat atau hilang jejaknya karena tertimbun oleh “sampah-sampah” peradaban bangsa lain.
Semoga menjadi tambahan khazanah pengetahuan. Barakallah 🤲🏻