Jika Luffy Seorang Santri…

Terkadang di balik tembok pondok pesantren yang tak pernah libur dari azan, ngaji, dan mujahadah, ada santri yang menjaga kultur intelektual dengan mencari segalanya yang belum pernah ditemukan di berita, pidato kenegaraan, bahkan ceramah formal, yaitu mencari ketulusan dan keberanian.

Santri bukanlah orang yang asing dengan cinta tanah air, yang sudah familiar di lidah ketika mengucapkan “hubbul wathan minal iman”. Namun akhir-akhir ini, cinta tanah air seakan hanya seperti pelajaran yang diajarkan tapi tidak ditunjukkan. Ya, semua dituntut hormat bendera, tapi setiap hari melihat orang dewasa mencuri dari rakyat. Terkadang juga diminta hafal nama pahlawan, tapi pahlawan hari ini kalah tenar dari Luffy dan kru Topi Jerami.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Ketika bendera Jolly Roger, dari serial One Piece, berkibar-kibar, para punggawa di gedung-gedung kekuasaan gusar. Hardikan nada tinggi dilontarkan. Cuitan meledak. “Jangan sampai negara ini dikuasai bajak laut!” katanya.

Padahal, kalau mau jujur, negeri ini sudah lama dikelilingi oleh bajak laut yang nyata, yaitu mereka yang merampas hutan, menyedot tambang, bahkan menumpuk kekuasaan. Hanya, yang membedakannya, mereka pakai dasi, bukan topi jerami.

Apakah ini menyedihkan? Mungkin. Tapi lebih menyedihkan lagi kalau semua dari para pemberi contoh masyarakat hanya bisa menyalahkan, bukan memahami.

Jauh sebelum One Piece mendunia, leluhur di Tanah Jawa telah menulis tentang pentingnya merawat dunia, yaitu dengan falsafah “Memayu Hayuning Bawana”, atau memperindah dan menjaga harmoni semesta. Ini bukan cuma tentang menanam pohon, namun juga menjaga agar suara-suara tak dimatikan. Sebab bila tak ada suara, yang tinggal hanyalah gema kuasa.

Dari Simbol Fiksi ke Realitas Sosial

Dwi Winarno, seorang dosen, pengamat sosial, lebih memilih membaca simbol ketimbang menyensor meme. Baginya, pengibaran bendera Jolly Roger bukanlah makar, tapi makar-makar halus dari mereka yang lelah mendengar janji-janji pembangunan tapi tetap tidur di kontrakan sempit ber-AC bocor.

Dengan hal tersebut, semuanya paham bahwa simbol bukan sekedar gambar, melainkan adalah bahasa. Seperti serban putih yang melambangkan ilmu, atau peci hitam yang disematkan penuh harap saat wisuda madrasah diniyah. Maka, jika ada generasi yang memilih bendera bajak laut sebagai bentuk perlawanan, semua seakan termenung. Karena terkadang simbol fiksi lebih mudah menyentuh hati daripada bahasa formal kenegaraan yang dingin dan kaku.

Dalam pesantren, para santri tumbuh dengan kisah para wali yang memperjuangkan agama bukan dengan senjata, tapi dengan akhlak dan simbol yang dapat diterima masyarakat. Sunan Kalijaga, contohnya, tidak mengharamkan wayang, namun justru memanfaatkannya. Karena dengan tidak menolak budaya, mereka akan mempergunakannya lalu menyuntikkan makna baru.

Maka hari ini, ketika budaya pop digunakan anak muda untuk menyuarakan kegelisahan. Bukankah itu bagian dari strategi dakwah zaman yang menggunakan bahasa yang mereka pahami atau pop culture. Inisama seperti menyampaikan keluh kesah lewat bait syair Arab, atau tembang duka di malam tirakat.

Apa yang Membuat Luffy wa akhwatuha dijadikan cerminan? Jawabannya sederhana: mereka punya prinsip, tidak khianat, tidak korupsi, tidak membiarkan temannya mati sendirian, dan tidak pernah meninggalkan siapa pun hanya karena status sosial atau nilai akademik. Mereka menyambut siapa saja yang punya keberanian untuk bermimpi, walau orang itu hanya tukang masak atau manusia rusa. Mereka menolak tunduk pada kekuasaan yang menindas, namun tetap memegang janji dan persaudaraan.

Dalam dunia nyata, hampir semuanya hanya bisa mengeluh soal korupsi, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial. Namun, apakah semuanya ikut menegakkan keadilan ketika kesempatan itu datang di hadapan? Entahlah.

Dalam dunia One Piece, belum pernah Luffy wa akhwatuha diceritakan nyantri di Tebuireng atau bahkan Lirboyo versi Grand Line. Akan tetapi, mereka secara tidak sadar tetap menjalankan prinsip menolong yang terzalimi, melawan tirani, dan tidak menjual harga diri demi kenyamanan pribadi.

Kalau Luffy adalah seorang santri, mungkin ia akan jadi ketua kamar yang tegas tapi adil. Dia tidak akan membiarkan santri baru di-bully, tidak akan menukar jatah makan malam temannya demi tambahan kuah sayur, dan akan rela mengambil hukuman bersama-sama jika itu berarti melindungi orang yang tidak bersalah.

Selain itu, pondok pesantren selalu mengajarkan bahwa keberanian sejati bukan sekadar mengangkat senjata, tapi berani berkata benar meski pahit. Luffy pun demikian, ia tidak pernah berpikir dua kali untuk melawan kezaliman, meski itu berarti harus kehilangan nyawanya. Dia tidak punya teori filsafat demokrasi, tapi tindakannya seringkali lebih demokratis daripada sidang parlemen.

Mungkin, jika negara ini bisa mencontoh semangat itu, kita tidak perlu lagi khawatir soal pengibaran bendera. Merah Putih akan berkibar dengan sukarela, bukan karena jadwal upacara. Tidak akan ada lagi istilah “krisis nasionalisme” setiap kali anak muda mengidolakan sesuatu di luar negeri, karena nasionalisme bukan sekadar hafal teks proklamasi, tapi hidup dengan martabat, saling menghormati, dan menolak kezaliman.

Santri pondok pesantren tahu bahwa mengajak kebaikan bukan lewat ceramah panjang-panjang, tapi lewat teladan hidup. Luffy tidak pernah memberi ceramah, tapi tindakannya membuat orang yang ditemuinya terinspirasi untuk berubah.

Tentu, ada yang bilang: “Itu cuma anime, tidak bisa disamakan dengan dunia nyata.” Tapi bukankah sejarah kita juga penuh dengan kisah yang menginspirasi layaknya fiksi? Kisah santri melawan penjajah, kisah pahlawan menolak tunduk pada kekuasaan yang zalim, semua itu sama-sama berangkat dari satu hal, yaitu keberanian.

Jadi, ketika hari-hari di bulan Agustus kita melihat bendera Jolly Roger berkibar di sebelah Merah Putih, jangan buru-buru marah. Mungkin itu bukan tanda anak muda kehilangan nasionalisme, tapi sinyal bahwa mereka merindukan kepemimpinan yang jujur, setia, dan berani seperti kru Topi Jerami.

Lihatlah itu sebagai pertanyaan terbuka, masihkah kita merasa merdeka? Bukan hanya secara politis, tapi juga secara batin. Merdeka untuk berkata benar tanpa takut diintimidasi. Merdeka untuk membantu sesama tanpa harus memikirkan keuntungan pribadi. Merdeka untuk memegang teguh prinsip meski dunia berkata sebaliknya.

Maka, jika Luffy adalah seorang santri, ia mungkin akan mengajarkan kita satu hal sederhana tapi penting. Jangan pernah meninggalkan temanmu di belakang, jangan pernah menjual prinsipmu, dan jangan pernah takut melawan yang zalim. Itu saja sudah cukup untuk menjaga Merah Putih berkibar, tanpa perlu jadwal resmi.

Multi-Page

One Reply to “Jika Luffy Seorang Santri…”

Tinggalkan Balasan