Sebagai kitab suci, Al-Qur’an diyakini paripurna dan karena itu ada doktrin bahwa kitab suci umat Islam ini akan selalu sesuai atau relevan untuk segala zaman dan tempat. Dalam doktrin Islam, biasanya disebut shalih li kulli zaman wa makan. Namun pertanyaannya, jika Al-Qur’an dijamin relevan untuk segala zaman dan tempat, kenapa masih banyak muncul tafsir-tafsir baru berlain-lainan yang selalu berulang?
Doktrin Al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan sebenarnya berangkat dari kutipan Qs. Al-Maidah ayat 3:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُم وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا…..
Artinya: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu…”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah, sedangkan setiap agama memiliki sumber ajarannya masing-masing dalam kitab suci mereka. Sebuah gambaran yang nampaknya lebih identik sebagai sebuah “rambu-rambu”.
Label Islam sebagai agama yang sempurna dengan sendirinya menuntut bahwa Islam yang memuat beragam ajarannya, mestilah dapat “menembus” luasnya ruang dan “berjalan” bersama aliran waktu. Artinya, tiap jengkal ajaran yang ditawarkan mestilah sanggup untuk senantiasa shalih dan berjalan selaras di setiap zaman dan pada ruang-ruang yang berbeda (Yahya Sulthoni, 2018).
Al-Qur’an sebagai kitab suci merupakan pedoman bagi ummat Islam dalam kehidupannya. Semua permasalahan hidup harus dikembalikan kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diyakini shalih li kulli zaman wa makan. Sementara, proses tanzil Al-Qur’an telah berhenti sejak Nabi wafat. Oleh karenanya tentu terdapat rentang jarak sangat panjang dari zaman Nabi hingga sekarang. Sehingga dengan waktu sekian lamanya itu membuat representasi Al-Qur’an dalam menyikapi realitas sekarang semakin sulit.
Selain itu, Al-Qur’an turun dengan Bahasa Arab yang tentunya memiliki ciri khas bahasanya, dan satu kata dalam Bahasa Arab memiliki dua hingga lebih makna yang beragam. Sehingga dibutuhkan adanya tafsir dalam memaknai Al-Qur’an.