Jika Al-Qur’an Selalu Relevan, Mengapa Ada Penafsiran Berulang?

25 views

Sebagai kitab suci, Al-Qur’an diyakini paripurna dan karena itu ada doktrin bahwa kitab suci umat Islam ini akan selalu sesuai atau relevan untuk segala zaman dan tempat. Dalam doktrin Islam, biasanya disebut shalih li kulli zaman wa makan. Namun pertanyaannya, jika Al-Qur’an dijamin relevan untuk segala zaman dan tempat, kenapa masih banyak muncul tafsir-tafsir baru berlain-lainan yang selalu berulang?

Doktrin Al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan sebenarnya berangkat dari kutipan Qs. Al-Maidah ayat 3:

Advertisements

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُم وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا…..

Artinya: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu…”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah, sedangkan setiap agama memiliki sumber ajarannya masing-masing dalam kitab suci mereka. Sebuah gambaran yang nampaknya lebih identik sebagai sebuah “rambu-rambu”.

Label Islam sebagai agama yang sempurna dengan sendirinya menuntut bahwa Islam yang memuat beragam ajarannya, mestilah dapat “menembus” luasnya ruang dan “berjalan” bersama aliran waktu. Artinya, tiap jengkal ajaran yang ditawarkan mestilah sanggup untuk senantiasa shalih dan berjalan selaras di setiap zaman dan pada ruang-ruang yang berbeda (Yahya Sulthoni, 2018).

Al-Qur’an sebagai kitab suci merupakan pedoman bagi ummat Islam dalam kehidupannya. Semua permasalahan hidup harus dikembalikan kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diyakini shalih li kulli zaman wa makan. Sementara, proses tanzil Al-Qur’an telah berhenti sejak Nabi wafat.  Oleh karenanya tentu terdapat rentang jarak sangat panjang dari zaman Nabi hingga sekarang. Sehingga dengan waktu sekian lamanya itu membuat representasi Al-Qur’an dalam menyikapi realitas sekarang semakin sulit.

Selain itu, Al-Qur’an turun dengan Bahasa Arab yang tentunya memiliki ciri khas bahasanya, dan satu kata dalam Bahasa Arab memiliki dua hingga lebih makna yang beragam. Sehingga dibutuhkan adanya tafsir dalam memaknai Al-Qur’an.

Hal tersebut menunjukan bahwa setiap problem-problem sosial keagamaan yang muncul di era kontemporer tetap bisa di jawab oleh Al-Qur’an dengan cara melakukan kontekstualisasi interpretasi secara terus menerus, seiring dengan tuntutan problem kontemporer (Abdullah Lewo, 2023).

Pemaknaan Al-Qur’an dengan bahasanya yang sulit dan multimakna, salah satunya dapat kita lihat pada tema muhalliq yang terbingkai dalam Qs. Al-Fath ayat 27

مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِين لَا تَخَافُونَ…..

Artinya: “…Mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut…”

Ayat tersebut menjelaskan mengenai teknis pelaksanaan tahallul (memotong rambut) yang dilaksanakan setelah sa’i dalam rangkaian ibadah haji atau umrah.

Jika dimaknai secara dhahiriyyah, maka dimaknai memotong kepala karena redaksi Al-Qur’an pada ayat tersebut memakai lafaz “ru’usakum” yang dalam Bahasa Arab memiliki makna utama atau yang biasanya digunakan adalah kepala. Maka, tahallul secara dhahiriyyah dimaknai memotong kepala, bukan memotong rambut.

Oleh sebab itu, adanya penafsiran sangat penting dalam memahami Al-Qur’an yang juga berisi syariat dalam Islam. Keberadaan penafsiran akan menjadi sangat sentral dalam keilmuan pemahaman Al-Qur’an kendatipun akhirnya banyak yang memposisikan penafsiran dan Al-Qur’an di tingkatan yang sama.

Selain itu, ada contoh penafsiran yang beragam dari ayat tersebut. Praktik tahallul di masyarakat pun berbeda-beda. Ada yang hanya menggunting beberapa helai rambut, ada pula yang mencukur gundul rambut.

Tentu setelah itu, muncul pertanyaan “mana yang lebih utama antara menggunting beberapa helai rambut dengan mencukur gundul rambut dalam praktik tahallul?”

Pada saat inilah peran penafsiran mengemuka. Dalam penafsiran Al-Qur’an, praktik tata cara tahallul diulas secara lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam penjelasannya diuraikan bahwa tata cara yang lebih utama ketika tahallul adalah mencukur gundul rambut.

Hal ini berdasarkan dalam kisah Nabi dengan para sahabatnya. Ketika itu Nabi berdoa setelah selesai pelaksanaan tahallul bersama para sahabat. Saat itu Nabi hanya mendoakan untuk muhalliq (orang yang mencukur gundul rambutnya). Karena itu, para sahabat yang muqasshir (menggunting pendek) memprotes Nabi. Nabi mengulangi doanya hingga sebanyak tiga kali, baru setelah itu berdoa untuk muqasshir. Oleh sebab itu ada yang memperbolehkan muqasshir, tetapi tetap lebih utama muhalliq.

Adanya penafsiran juga membantu dalam memahami maksud dan sasaran dari ayat Al-Qur’an tersebut. Sebab, sebagian besar ayat Al-Qur’an meskipun terlihat umum, juga memiliki takhsis (pengkhususan). Misalnya dalam Qs. Al-Ahzab ayat 53

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتَ ٱلنَّبِىِّ إِلَّآ أَن يُؤْذَنَ لَكُم

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan.”

Ayat tersebut redaksinya terlihat umum, yakni bagi siapa saja yang hendak memasuki rumah Nabi harus izin terlebih dahulu. Tetapi tentu ayat ini memiliki takhsis, yakni terkecuali keluarga Nabi. Sebab, tidak mungkin anggota keluarga Nabi ketika memasuki rumah Nabi yang rumah tersebut juga rumah mereka sendiri dikenai hukum “izin” terlebih dahulu. Artinya, keluarga Nabi seperti Aisyah, Hasan, Husein tentunya tidak masuk dalam ayat tersebut meskipun redaksinya umum yakni ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا. Ayat tersebut seolah ditujukan secara umum untuk semua orang, padahal tidak.

Meskipun nantinya dalam dunia penafsiran para mufasir Al-Qur’an di setiap zamannya -seolah tak ada keraguan- memiliki penafsiran yang berbeda terhadap Al-Qur’an, tetapi memiliki tujuan yang sama, yakni mengungkap pesan Tuhan. Hal ini tak lepas dari persoalan umat di setiap zamannya yang pasti beragam dan berbeda-beda.

Selain itu, tafsir saat ini banyak yang merujuk pada latar belakang keilmuan serta “kepentingan” mufasirnya. Maka dari itu tak heran ketika muncul tafsir bercorak sufi, ‘ilmi, dan lain sebagainya. Tetapi, hal seperti itu tentu tetap dalam lingkup upaya untuk mengungkap pesan Tuhan untuk menjawab persoalan umat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan