Sebagai seorang alumnus pondok pesantren yang menggabungkan antara tradisi pesantren dan pendidikan sekolah, saya merasa keduanya memang tidak bertentangan. Pondok saya menerapkan sistem terpadu (keterpaduan) antara tradisi pesantren, disiplin Pondok Modern Gontor, sekaligus kurikulum sekolah.
Usai menamatkannya selama enam tahun, saya kemudian merasa berbeda ketika melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi negeri (kampus umum) di Yogyakarta. Perbedaan tersebut saya rasakan ketika bertemu teman-teman kuliah yang notaben lulusan sekolah umum, sama berbeda pula dengan beberapa teman kampus yang lulusan dari Pondok Modern Gontor, begitu pun ketika masa kuliah saya bermukim di pondok yang mengkhususkan diri pada praktik dan pelajaran Islam klasik abad pertengahan yang dikelola oleh yayasan filantropi dunia yang berpusat di Turki. Namun, semua perbedaan dari corak-corak tersebut bisa saya jalani dan selesaikan secara beriringan.

Pesantren karena sejak awal merupakan tempat transmisi ilmu agama, makai a hampir sama sebagaimana biara-biara di Eropa, mandala-mandala Budha, atau asrhram-asrham Hindu; semuanya berakar dan berorientasi pada pembentukan praktik etika dan wawasan moral agama. Secara otomatis dari rentang kemunculannya hingga sekarang, pesantren berada di jalur pendidikan moral sebagai sarana untuk berkhidmat dan berjuang.
Dalam catatan sejarah Indonesia, pesantren memiliki kompleksitas dan keunikan tersendiri. Secara corak ia merupakan keberlanjutan dari asrama Hindu dan mandala Budha, namun secara agama ia sudah bertranformasi dan berubah total pada Islam. Namun dengan kompleksitas dan keunikan itu, pesantren justru bisa continue dan sustainable hingga hari ini.
Nusantara di abad ke-16, sebagaimana dalam catatan-catatan sejarah Asia Tenggara, (Lihat Antony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin, Jilid 1), Islam berada di pusaran kota-kota bandar. Hampir semua kepulauan terdapat kesultanan-kesultanan Islam, dan yang menunjang sarana pendidikannya adalah pesantren. Kemudian memasuki paro pertama abad ke-17, muncul kongsi dagang asing (VOC) dan pemerintah kolonial yang memukul mundur kesultanan Islam dari pusaran-pusaran bandar itu.
Kekalahan perang tersebut berimplikasi langsung pada eksistensi pesantren yang kemudian bergerak dan merangsek ke pedalaman. Gerak ke pedalaman lantas menjadi saksi bisu dan latar keberadaan mayoritas pesantren hari ini. Dengan latar demikian, sangat wajar bila di abad-abad selanjutnya (bahkan hingga hari ini) pesantren dianggap tertinggal dan jauh dari peradaban atau kemajuan dunia modern. Pertama, karena kekalahan perang. Kedua, karena pesantren tidak terlibat langsung (menjaga jarak) dengan perubahan dan dinamika politik yang ada.
Tulisan ini akan mencoba menelaah tiga karya disertasi yang diterbitkan dengan bahasa Inggris yang dalam beberapa dekade ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Harus diakui hingga hari ini, terbilang masih sedikit para sarjana Islam Indonesia yang meneliti dan menulis tentang pesantren secara serius. Karya yang familiar tentunya karya peneliti asal Belanda Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat.
Namun yang lebih khusus meneliti tentang pesantren (karya disertasi) baru ada tiga; satu di antaranya dari peneliti asing asal Amerika berjudul Peaceful Jihad. Penulisnya merupakan seorang antropolog bernama Ronald Alan Lukens-Bull yang proses penelitiannya di bawah bimbingan langsung seorang orientalis ahli Islam Jawa Prof Mark Woodward. Karya kedua berjudul Pesantren Tradition (diterjemahkan dengan judul Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Islam Indonesia) karya Zamakhsyari Dhofier. Buku ini bisa dibilang karya sarjana Islam Indonesia pertama dalam menulis pesantren hingga kemudian menjadi bahan rujukan para peneliti berikutnya. Karya ketiga adalah disertasi Abdurrahman Mas’ud berjudul The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teachings.
Hasil penelaahan dari karya disertasi yang meneliti tentang pesantren tersebut, saya melihat ketiganya memiliki kesamaan dalam hal aspek pendidikan sebagai subjek penelitian dan jalan yang dipilih oleh pesantren serta identitas yang menjadi ciri sejak awal kemunculannya. Karena aspek inilah yang kemudian menjadi pembeda dengan pola pendidikan sekolah pada umumnya, yaitu pendidikan bukan sebatas sarana pengajaran, namun sebagai sarana pembentukan moral dan kepribadian.
Sebagaimana kita tahu, Indonesia mengalami persimpangan sejarah dengan berkuasanya pemerintah kolonial. Di pengujung abad kekuasaannya di tanah Hindia Belanda, pemerintah kolonial memberlakukan politik etis dengan dibukanya akses pendidikan sekolah bagi semua masyarakat bumiputra. Di rentang pemberlakuan politik etis itu, pesantren yang sudah eksis di masa-masa sebelumnya terus mengalami peminggiran. Karena untuk menjemput dunia modern, masyarakat Bumiputra harus bergabung dan bersekolah dengan pendidikan Eropa dari politik etis tersebut. Dengan demikian, pesantren secara otomatis menjadi dan memiliki tantangan yang lebih (jihad) dalam memposisikan dirinya untuk bertahan serta bisa relevan beriringan dengan perkembangan serta perubahan yang terjadi. Hal tersebut bukanlah perkara mudah, namun mungkin di situlah apa yang dimaksud dengan jihad pendidikan (sebagaimana judul tulisan ini) pesantren itu diuji.
Memasuki parokedua abad ke-20, pesantren menghadapi kegoncangan dan pilihan-pilihan yang sulit, yakni tatanan dunia modern dalam arus globalisasi. Pada masa-masa itu, tradisi yang selama ini hidup dan terjaga di pesantren melalui pengamalan-pengamalan langsung mengalami kegoncangan. Karena, dalam arus globalisasi, hal-hal tersebut mengharuskan pada kebutuhan akan pembentukan identitas-identitas yang terkonstruksi sebagai prasyarat masuk dan pengenalan dalam pergaulan bangsa-bangsa dunia. Hal itu kemudian menandai sebuah zaman baru yang dihadapi pesantren dan disebut sebagai zaman modern.
Di zaman modern ini, pesantren dihadapkan pada persoalan zaman yang dilematis, yaitu derasnya arus ilmu pengetahuan dan teknologi dari Eropa (Barat). Dilematis, karena di satu sisi ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut merupakan capaian peradaban manusia dan turut membentuk realitas hari ini, di saat bersamaan bila penggunaan dari capaian-capaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak diiringi dengan pertimbangan dan koridor-koridor yang berlaku, yang terjadi justru akan merusak pesantren itu sendiri. Sehingga, jalan tengahnya adalah pesantren bisa menerima hal itu semua jika sudah dirasa membutuhkan, dan disesuaikan dengan norma-norma yang ada. Dan jalan untuk mengetengahi itu semua, pesantren telah istikamah tetap berada di jalan pendidikan.
Visi Hidup Kiai
Penanda selanjutnya yang mencirikan dirangkulnya dunia modern oleh beberapa pesantren yang memadukan dengan warisan lamanya adalah peran seorang kiai. Pesantren modern melahirkan generasi baru kiai yang sedikit berbeda dengan kiai pesantren tradisional pada umumnya. Kiai pesantren tradisional atau biasa disebut kiai kampung, selain mengajar santri juga biasa mengisi pengajian atau khotbah Jumat di tengah masyarakat secara langsung.
Berbeda dengan kiai pesantren modern yang berfokus mengajar dan mengurus santri di dalam kompleks pesantren. Hal tersebut bukan berarti kiai pesantren modern tidak mengurus masyarakat. Ia tetap terlibat aktif dalam masyarakat tempat pesantren itu berada, namun perbedaannya ia tidak bertindak secara langsung dan perannya lebih sering diwakilkan oleh santri-santri senior.
Hal demikian terjadi, karena di masa modern, pesantren menjadi sub-kultur dari masyarakat. Wacana ini sering dilontarkan dalam diskursus pesantren di dekade-dekade yang lalu oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Selain itu, karena sebab pesantren merupakan tempat pembentukan moral agama, maka dalam beberapa hal ia bersifat asketis yang memerlukan lingkungan berbeda, bahkan dalam kondisi tertentu memisahkan diri dengan masyarakat.
Terlepas dari perbedaan tersebut, kiai pesantren secara keseluruhan tetap sama dalam hal visinya mencetak kepribadian santri, membina masyarakat, serta pandangannya akan sebuah bangsa. Pandangan hidup kiai-kiai pesantren terwakili oleh seruan KH Hasyim Asy’arie yang berpandangan mencintai tanah air merupakan bagian dari iman. Maka, para kiai pesantren seluruhnya menjaga eksistensi tanah air dan Pancasila sebagai falsafah (kalimatun sawa) bangsa Indonesia.
Memadukan Pelajaran Umum dan Pengajaran Agama
Tebuireng dipilih oleh beberapa peneliti sebagai pesantren pertama yang memasukkan unsur pendidikan sekolah ke dalam pegajaran pesantren. Tebuireng menjadi semacam contoh pesantren yang dianggap cukup berhasil dalam memadukan kedua sistem pendidikan yang berbeda: sistem sekolah bersifat sekuler, dan pesantren bersifat religius.
Dalam masalah tersebut, Clifford Geertz dalam karyanya yang monumental Santri, Priyayi, Abangan, menjelaskan dan menganjurkan bahwa sistem sekolah yang dianggap sekuler karena bentukan pemerintah kolonial, bagaimana pun, pesantren (terlebih kiai) harus menimbang diri untuk bisa menerima dan bergabung dengan pola pendidikan baru dalam struktur dunia modern (negara bangsa).
Hal demikian, ungkap Geertz; bukan lagi soal sifatnya yang sekuler, namun sebagai sebuah pilihan dengan implikasi-implikasi yang sebenarnya bisa diminimalisasi dari sifatnya yang sekuler itu. Bila tidak demikian, pesantren akan kehilangan andil dan pengaruhnya yang besar dalam membentuk Islam Indonesia yang sudah bergabung dalam negara bangsa (Pancasila) modern. Implikasi lebih besarnya tentu Islam di Indonesia (dalam hal ini komunitas pesantren), tidak akan mampu bertransformasi dan menghadapi tantangan zaman modern sebagaimana mestinya.
Setelah munculnya pesantren yang menggabungkan dengan pelajaran sekolah, meskipun di fase awal-awal cukup terbatas, namun pesantren dengan corak seperti ini menjadi model baru yang mewarnai dinamika perubahan pesantren kiwari. Hal tersebut termasuk pesantren tempat saya mondok di masa SMP dan SMA dengan penambahan disiplin Pondok Modern Gontor. Bahkan dalam dekade-dekade ini, muncul kecenderungan baru orangtua kelas menengah perkotaan lebih memilih menyekolahkan anaknya ke pesantren yang memadukan dengan kurikulum sekolah ketimbang menyekolahkan ke sekolah negeri pada umumnya. Hal ini berdasar karena sekolah negeri umum sangat terbatas dalam memberikan pelajaran dan pendidikan agama, dan hanya pesantrenlah yang mampu memberikan pengajaran agama tersebut untuk kehidupan anak-anak secara menyeluruh. Selain itu, pasca era reformasi (terutama andil dari Gus Dur), lulusan-lulusan pesantren kini sudah banyak yang bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri dan luar negeri, sebagaimana lulusan-lulusan sekolah negeri pada umumnya.
Perguruan Tinggi Pesantren
Mungkin ini perkembangan terbaru yang dialami oleh pesantren modern hari ini, termasuk pesantren tempat saya mondok, yakni berdirinya perguruan tinggi. Tujuan dan penekanan dibangunnya perguruan tinggi, tetap kembali pada peran dan nilai-nilai lama pesantren, yakni mengenai etika. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh KHHasyim Muzadi yang mengatakan “perguruan tinggi mencetak orang-orang cerdas, tetapi belum tentu mereka bermoral.”
Perguruan tinggi merupakan tingkat akhir dalam mematangkan minat, bakat, dan keahlian. Karena pilihannya dalam merangkul perkembangan zaman yang mencetak lulusan perguruan tinggi menjadi pegawai negeri, atau tenaga-tenaga ahli, hingga pemerintahan, namun pesantren ingin hal itu semua bisa sama-sama digapai oleh santri dengan tidak kehilangan landasan moral yang telah dibentuk selama mereka di pesantren.
Di tingkat perguruan tinggi ini, di wilayah epistemologis, sampai saat ini saya pribadi belum bisa melihat upaya dan arah pesantren dalam memproses atau menginternalisasi dari ilmu pengetahuan modern. Apakah ia sama dengan upaya para sarjana Islam modern di masa-masa sebelumnya, yang memiliki tendensi upaya pada islamisasi ilmu pengetahuan. Atau, bila internalisasi dari ilmu pengetahuan sekuler tersebut diserahkan pada tradisi, belum terlihat pula bentuk seperti apa yang akan dihasilkan.
Di luar itu semua, saya tentu mengerti pesantren yang selama ini istikamah dalam menjaga tradisi nilai-nilai moral, memiliki kekhawatiran bila dengan berdirinya perguruan tinggi sebagai tahapan tertinggi jenjang sekolah (keterpelajaran) tidak beriring dengan kematangan moral. Namun bila tingkat keterpelajaran mampu beriring dengan kualitas kematangan moral, maka bagi saya pesantren dan para santri akan lebih siap mengartikulasikan apa yang dimaksud jihad damai untuk mengarungi era global ini dan turut serta mengantarkan generasi dan zaman yang akan datang.