Jejak Pemikiran Abduh dan Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar

108 views

Tafsir al-Manār merupakan salah satu tafsir yang sangat populer di Indonesia, termasuk di lingkungan pondok pesantren. Salah satunya, mungkin, karena dalam penyusunannya al-Manār menggunakan bahasa yang sederhana dan tidak sulit untuk dipahami.

Yang menarik, Tafsir al-Manār ditulis oleh dua orang mufasir yang masih terikat hubungan murid dan guru, yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Keduanya dikenal sebagai ulama yang mengusung perubahan, baik dalam dunia pendidikan, sosial, maupun penafsiran.

Advertisements

Karena ditulis dua orang yang berbeda, pertanyaannya, apakah keduanya memiliki metode dan corak yang berbeda atau sama? Dan apa yang melatarbelakangi penulisan Tafsir al-Manār tersebut?

Sosok Abduh

Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khairullah, yang akrab disapa Muhammad Abduh, lahir tahun 1849 M di Desa Mahallat Nashr, daerah Al-Buhairah, Mesir. Abduh terlahir dari keluarga perdesaan yang sumber ekoniminya dari hasil pertanian. Keluarga dari ibu Abduh diketahui keturunan dari salah satu suku bangsa Arab, yaitu bani `Adi.

Pada tahun 1863 M, Abduh dikirim oleh sang ayah untuk belajar Al-Qur`an dan Tajwid di Masjid al-Mahdi, Ṭanṭa. Namun, masa belajar Abduh di Ṭanṭa ini tak berlangsung lama, hanya sekitar dua tahun. Hal ini dikarenakan metode belajar yang disuguhkan dirasa tidak tepat. Murid-murid diharuskan menghafal istilah-istilah nahu maupun fikih yang sebenarnya tidak mereka mengerti.

Pada tahun 1866, Abduh meneruskan pendidikannya di al-Azhar, Kairo, Mesir. Keadaan al-Azhar ketika masa Abduh terbilang masih terbelakang. Bagi Abduh, pelajaran di sana hanya mengungkapkan pendapat ulama terdahulu, tanpa adanya perbandingan atau mengantarkan mahasiswanya untuk melakukan penelitian.

Salah satu guru di al-Azhar yang sangat dikagumi Abduh adalah Jamal al-Din al-Afghani. Dari gurunya ini, Abduh mempelajari etika, politik, matematika, dan filsafat.

akhirnya, al-Afghani inilah yang berperan besar dalam perkembangan pemikiran Abduh dalam perjuangan untuk memajukan dunia Islam. Setelah dua tahun belajar dari al-Afghani, pemikiran Abduh mulai terbentuk. Pada tahun 1873 M, Abduh mulai menulis kitab yang membahas tentang filsafat, tasawuf, dan ilmu kalam. dalam karyanya, Abduh banyak mengkritik pendapat-pendapat yang dianggap keliru. Selain itu, Abduh juga menulis artikel pembaruan yang diterbitkan di surat kabar, hingga para guru di al-Azhar mendengarnya. Pada tahun 1877 M, Abduh dinyatakan lulus dari al-Azhar.

Sebagai seorang ulama yang memiliki pemikiran dan pemahaman yang luas di berbagai bidang ilmu, wajar jika Abduh memiliki berbagai macam karya, di antaranya Risālah al-’Āridāt, Hashiah-Sharah al-Jalāl al-Dawwāni li al-Aqā’id al-Adhudhiyah, Tafsir al-Manar, Tafsir Juz ‘Amma, dan Tafsir Surat al-’Aṣr.

Sosok Rasyid Ridha

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn Muhammad Shamsuddin al-Kalmuni lahir di Qolamun, Baghdad, bertepatan pada tanggal 27 Jumadil Awwal 1282 H (1865 M). Ayah Rasyid Ridha bernama Sayyid Ali Ridha bin Sayyid Muhammad Shamsuddin bin Sayyid Muhammad Baha’al Din bin Sayyid Ali al Baghdadi. Rasyid Ridha masih terbilang cucu dari Rasulullah dari jalur Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Rasyid Ridha dibesarkan dari keluarga yang agamais. Ayah Rashid Ridha merupakan seorang ulama yang cukup disegani.

Pendikan Rasyid Ridha dimulai dari orang tuanya. Di samping itu, ia juga belajar di kuttab (pondok) yang bertempat di desanya sendiri, Qalamun. Di sana Rashid Ridha diajarkan menulis, membaca Al-Qur`an, dan dasar-dasar menghitung. Setelah lulus dari kuttab, Rashid Ridlo melanjutkan pendidikannya ke Tripoli (Libanon) di Madrasah al-Ibtidaiyyah al-Rashidiyah yang saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Uṭmaniyah. Karena itu tak heran bahasa yang digunakan di sana merupakan bahasa Turki.

Di sana Rasyid Ridha belajar berbagai cabang ilmu agama seperti ṣaraf, nahu, fikih, matematika, ilmu bumi, dan akidah. Sayangnya Rasyid Ridha belajar di madrasah tersebut hanya kurang lebih selama satu tahun. Meskipun demikian, Rasyid Ridha tidak berhenti dalam menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan dengan masuknya Rasyid Ridha di Madrasah al-Rabbaniyyah, salah satu sekolah terbaik kala itu, yaitu pada tahun 1299 H (1822 M), yang didirikan oleh Syekh Husain al-Jisr. Sekolah ini merupakan sekolah Islam negeri dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, di samping juga diajarkan bahasa Turki dan Prancis. Peran Syekh Husain al-Jisr inilah yang memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran Rashid Ridlo. Pada tahun 1315 H, Rashid Ridha mendapatkan ijazah `Alamiyah setelah delapan tahun belajar.

Syekh Husain al-Jisr merupakan guru dan pendiri madrasah al-Rabbaniyyah. Beliau-lah yang menyarankan Rasyid Ridha untuk menulis di berbagai surat kabar. Pada masa itu, Jalaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh juga sempat mendirikan sebuah majalah yang mengupas tentang dinamika sosial, keislaman, dan kemodernan. Majalah ini diberi nama al-Urwah al-Wutsqa.

Dalam perjalanannya, Rasyid Ridha dan Abduh mendirikan majalah yang di beri nama al-Manār pada 22 Syawal 1315 H (1898 M). Majalah yang didirikan Rasyid Ridha dan Abduh ini banyak mengupas tentang Al-Qur`an.

Pada 23 Jumandil `Ula 1354H (1935 M), Rasyid Ridha mengantar pangeran Sa`ud al-Fayṣal ke kota Suez, Mesir. Dalam perjalanan pulang, mobil yang dikendarai Rashid Ridha mengalami kecelakaan yang menyebabkan Rasyid Ridha menderita gegar otak, dan kemudian wafat.

Latar al-Manār

Al-Manār pada awalnya adalah nama dari majalah terkenal yang memiliki tujuan penulisan yang sama dengan majalah yang bernama al-Urwah al-Usta. Tujuan majalah tersebut adalah untuk membasmi keyakinan-keyakinan tahayul dan berbagai macam bidah yang tersebar di dunia Islam. Majalah ini juga dimaksudkan untuk memberantas pemikiran fatalistik serta pemikiran-pemikiran yang keliru yang dibawa oleh tarekat dan tasawuf. Selain itu, majalah ini juga bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan sekaligus membela Islam dari dunia politik Barat.

Adapun, penyusunan kitab Tafsir al-Manār ini dari awal memang menghindari penggunaan istilah atau kata-kata asing yang sulit dipahami. Dengan cara demikian, orang awam pun dapat mudah memahami maksud yang disampaikan mufasirnya, namun juga tidak dianggap remeh oleh para cendekiawan.

Terdapat beberapa tokoh yang terlibat dalam proses lahirnya kitab Tafsir al-Manār, di antaranya Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, tokoh pelopor ide atau gagasan keharusan pembaruan dalam  Islam; Syaikh Muhammad Abduh, tokoh yang menafsirkan ayat dengan menggunakan Al-Qur`an sebagai sumber utama; Sayyid Rasyid Ridha, tokoh yang mendampingi dan meneruskan peran Syekh Muhammad Abduh dalam melakukan pengembangan dan pelestarian upaya menafsirkan ayat demi ayat Al-Qur`an.

dalam proses lahirnya kitab tafsir ini, Jamal al-Din al-Afghani beperan menanamkan ide-idenya kepada para murid sekaligus para sahabatnya, termasuk Muhammad Abduh. Kemudian, Abduh menyampaikan ide dan gagasan ini kepada murid-muridnya dalam majelis pengajiannya, di antaranya termasuk Rashid Ridha. Kemudian, Rashid Ridha menuliskan hal-hal yang diajarkan oleh Abduh dalam bentuk ringkasan dan penjelasan. Ringkasan yang ditulis dan disusun oleh Rashid Ridha tersebut dimuat dalam majalah al-Manār dan diberi judul Tafsīr al-Qur`an al-Hakīm.

Proses penyusunan kitab tafsir ini dilakukan pada masa kemunduran Khalifah Uthman yang menguasai Mesir. Kondisi Mesir saat itu sedang dilanda oleh banyaknya utang. Sementara itu, sebagian penduduk Mesir saat itu adalah buruh tani yang masih tergolong bodoh dan teraniaya. Saat itu, sistem keuangan Mesir dikendalikan Eropa. Selain itu, kebudayaan Barat mulai masuk dan memengaruhi umat Islam.

Menyikapi realitas tersebut, Rasyid Ridha berpendapat bahwa kondisi umat Islam pada masanya terbagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama kelompok jumud, kelompok yang meyakini bahwa agama ialah ilmu yang telah disusun oleh para ulama dalam kitab-kitab terdahulu. Mereka menganggap bahwa jika tidak mengikuti ajara dari kitab-kitab tersebut, maka dihukumi murtad. Yaang kedua adalah kelompok yang berkiblat pada kebudayaan modern. Mereka memiliki anggapan bahwa Islam tidak akan maju jika menyatukan syariat dengan zaman yang menginginkan pembaruan. Yang ketiga adalah kelompok yang beranggapan bahwa tidak ada pertentangan antar Al-Qur`an dan sunah. Mereka mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur`an dan sunah.

Ketika menyusun kitab al-Manar, Abduh dan Rasyid Ridha bertujuan agar umat Islam memiliki pemahaman Al-Qur`an secara utuh dan meyakini bahwa agama-lah yang menunjukkan manusia terhadap kebahagiaan dunia dan akhirat

Metode dan Corak al-Manār

Kitab tafsir al-Manār ini menggunakan metode taḥlili (analisis). Karena itu, dalam kitab ini, ayat-ayat Al-Qur`an diuraikan ayat demi ayat, surat demi surat, dengan menjelaskan kosa kata yang disertai dengan penjabaran ayat di belakangnya sesuai dengan urutan surat dalam mushaf. Akan tetapi, dari sisi lain, tafsir ini juga dapat disebut menggunakan metode mauḍū’i, karena menghimpun ayat-ayat yang memiliki redaksi yang sama.

Rashid Ridha dalam menulis tafsirnya ini mengikuti metode dari gurunya, Abduh. Akan tetapi, Rashid Ridha meneruskan sendiri penulisan al-Manār setelah gurunya wafat, sehingga terdapat sedikit perbedaan.

Perbedaan-perbedaan tersebut berkaitan dengan pembahasan yang luas terhadap ayat Al-Qur`an dengan disertai hadis Nabi dan pembahasan yang luas terhadap penafsiran satu ayat dengan ayat lain. Selain itu, Rashid Ridha juga menambahkan permasalahan yang berkembang di masyarakat sesuai zamannya. selain itu, terdapat perbedaan dalam penambahan arti kosa kata (mufradat), susunan redaksi, serta pendapat pendapat ulama yang terkait dengan pembahasan.

Tafsir al-Manār sengaja menggunakan bahasa yang mudah dipahami orang awam dan menjauhi israiliyat. Hal ini juga berkaitan dengan latar belakang Abduh yang dikenal sebagai pelopor tafsir corak al-adab al-ijtima’i, menghubungkan ayat-ayat Al-Qur`an dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat agar tafsirnya dapat diterima dengan mudah yang disertai argumentasi dan solusi.

Dengan demikian masyarakat akan lebih mudah memahami pesan Allah yang terkandung dalam al-Qur`an. Tafsir al-Manār awal mulanya adalah ceramah-ceramah Muhammad Abduh di ruang publik yang dicatat oleh Rashid Ridha. Ia salah seorang murid Muhammad Abduh yang paling tekun, dibuktikan dengan dipublikasikannya catatan yang ditulisnya menjadi sebuah tafsir al-Qur`an.  Hal ini juga yang membuat isi tafsir al-Manār bersifat komunikatif dan berkaitan erat dengan sosial keagamaan.

Sistematika al-Manār

Dalam penyusunan Tafsir al-Manār, ayat dan surat ditulis sesuai dengan urutan mushaf uthmani. Kitab ini terdiri dari dua belas jilid, yang dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat Yusuf. Tafsir ini mengelompokkan ayat dalam kesatuan logis yang terdiri dari beberapa ayat yang kemudian diikuti beberapa lembar penafsiran. Lembar penafsiran tersebut banyak yang berisi masalah penyimpangan yag terjadi di masyarakat. Topik yang ada diurutkan secara alfabetis di indeks yang terdapat pada masing-masing jilid. Setiap akhir jilid, biasanya Rashid Ridha menyisipkan tanggal penulisan.

Kitab Tafsir al-Manār ini menggunakan corak adabi ijtimā’i. Selain menitikberatkan pada pemaknaan kebahasaan (linguistik), di dalamnya juga menjelaskan keterkaitan antara kandungan makna ayat dengan problematika masa kini. Dengan demikian, Al-Qur`an tidak hanya dipandang sebagai kitab suci dengan keindahan bahasanya, akan tetapi juga berisi petunjuk bagi masyarakat, khususnsya bagi umat Muslim sekaligus menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.

Berikut contoh penafsiran Muhammad Abduh lainnya mengenai hukum poligami dan hak anak yatim. Sebagaimana dalam surah al-Nisa’ ayat 3:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Muhammad Abduh berpendapat bahwa ayat tersebut berbicara mengenai hak-hak anak yatim. Wali lelaki yang mengelola harta anak yatim wanita tidak dapat menghindari dirinya dari ketidakadilan ketika mengelola harta anak yatim tersebut.

Menurut Abduh, ayat tersebut menerangkan soal ketentuan jumlah istri dalam konteks pengelolaan harta anak yatim. Jika menikahinya, dikhawatirakan akan memakan harta mereka. Maka, Allah membolehkan menikahi wanita lain dengan batasan empat wanita. Apabila menikahi empat wanita merasa tidak mampu berlaku adil, maka cukup satu wanita. Ayat tersebut juga membatasi poligami dengan syarat, yakni jika suami berakhlak karimah dan mampu menafkahi istri-istrinya dengan adil sekaligus mampu mencegah diri dari perlakuan yang dapat mengundang perkelahian di antara istri-istrinya. Namun begitu, mengenai hukum poligami, Abduh memberi penekanan bahwa persoalan poligami yang kerap kali kita dengar dan kita lihat itu sama sekali tidak ada unsur pendidikan bagi umat Islam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan