Jalan NU

929 kali dibaca

Setelah tertunda sekitar setahun karena pandemi Covid-19, Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya akan digelar pada 24-25 Desember 2021 di Lampung. Keputusan menggelar Muktamar itu diambil dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Jakarta pada 25-26 September 2021.

Tentu, teknis pelaksanaannya kali ini akan berbeda dengan Muktamar tahun-tahun sebelumnya karena diadakan masih dalam situasi pandemi. Karena itu, tentu, NU, khususnya penyelenggara, memiliki tanggung jawab sangat besar karena harus menjamin Muktamar berjalan lancar dan di saat bersamaan pelaksanaannya wajib mematuhi protokol kesehatan. Bagi Nahdliyin, Muktamar kali ini akan menjadi tantangan tersendiri.

Advertisements

Selain itu, terutama dari perspektif politik, Muktamar kali ini memiliki nilai sangat strategis tak hanya bagi warga NU, tapi juga bagi berbagai kelompok kepentingan di negeri ini. Musababnya, Muktamar ke-34 ini dilaksanakan menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. NU memang bukan partai politik, tapi sebagai jamiyah ia memiliki kekuatan dan pengaruh politik yang sangat besar, yang dipastikan akan turut menentukan hasil Pemilu 2024. Karena itu, apa yang akan diputuskan oleh Muktamar dan siapa yang akan memimpin jamiyah ini ke depan dianggap akan ikut mewarnai proses dan hasil Pemilu 2024.

Muktamar Rasa Pilpres

Itulah kenapa sejak dini ada yang berseloroh, menyebut Muktamar NU kali ini sebagai “Muktamar Rasa Pilpres”. Selorohan itu wajar belaka. Sebab, Muktamar NU kali ini bisa menjadi “potret kecil” pertarungan Pemilu 2024, terutama untuk pemilihan presiden (pilpres). Banyak orang dari banyak partai politik, setidaknya orang-orang yang menjadi dan sebagai representasi partai politik, akan ikut bermain dan bertarung di arena Muktamar ini. Mereka akan berebut dan menanamkan pengaruhnya hingga bisa menempatkan orang-orangnya dalam kepengurusan NU pada periode berikutnya. Dan mereka adalah orang-orang atau representasi dari partai politik yang akan bertarung memperebutkan suara dalam Pemilu 2024 atau memenangi Pilpres 2024.

Semua partai politik, terutama yang beririsan langsung dengan Nahdliyin dan NU, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dengan intensi tinggi akan ikut bermain di arena Muktamar. Juga tak ketinggalan dengan partai-partai politik lain seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Nasdem, dan Partai Demokrat. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PK) pun, yang secara garis ideologi-politik berseberangan dengan NU, juga didorong-dorong masuk ke gelanggang Muktamar. Hingga, seorang aktivis-pegiat media sosial Faizal Assegaf melontarkan pernyataan yang terasa “menggelikan”: jika PBNU mau lepas dari watak kerdil, idealnya harus dipimpin oleh tokoh PKS seperti Hidayat Nur Wahid!

Bisakah Anda membayangkan, seorang Hidayat Nur Wahid, tokoh dan mantan Presiden PKS, menjadi Ketua Umum PBNU? Bisakah Anda membayangkan Hidayat Nur Wahid memimpin jamiyahnya para kiai dan ulama khos dan lebih dari 100 juta warga Nahdliyin? Kalau saya lebih memilih disebut kerdil daripada mengamininya. Tapi poin itu sesungguhnya menegaskan bahwa pertarungan di arena Muktamar, secara khusus perebutan kursi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), akan sangat keras lantaran adanya intrusi dari luar, dari partai-partai politik, dari mereka yang mencari tiket menuju Pilpres 2024 di dalam arena Muktamar, dari pemindahan kontestasi Pemilu dan Pilpres 2024 ke dalam gelanggang Muktamar NU ini.

Regenerasi ke Samping

Kenapa intrusi politik ke dalam Muktamar NU kali ini dimungkinkan akan begitu deras? Asumsinya, siapa yang bisa menempatkan orang-orangnya atau representasi dari kelompoknya ke dalam kepengurusan PBNU akan memiliki bargaining power yang tinggi dalam Pemilu 2024 itu. Lebih-lebih kalau representasinya bisa merebut kursi Ketua Umum PBNU. Jika mampu mempengaruhi dan menguasai kepengurusan PBNU, mereka akan memiliki modal besar untuk bertarung dalam kontestasi Pemilu 2024.

Misalnya, dengan menjadi ketua umum atau pengurus teras PBNU, mereka akan diperhitungkan untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Atau, atas jasanya menempatkan orang-orangnya di kepengurusan PBNU, mereka akan didukung untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Mungkin ini terlihat terlalu menyederhanakan (simplification), tapi dalam peta perpolitikan Indonesia, suara akar rumput (grassroot) di lingkungan Nadhliyin yang paternalistic selalu signifikan dalam menentukan hasil pemilu. Proses menjadikan KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden pada Pilpres 2019 adalah salah satu contoh paling kentara, dan ini bisa menjadi preseden untuk yang selanjutnya. KH Ma’ruf Amin bukan yang pertama. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, tercatat KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid juga pernah diusung sebagai calon wakil presiden untuk mendulang suara.

Begitu pula untuk pemilu legislatif, di mana suara akar rumput (grassroot) warga Nadhliyin yang jumlahnya lebih dari 100 juta jiwa itu selalu diperebutkan oleh partai-partai politik. Memang bukan faktor tunggal, tapi akan selalu signifikan dalam menentukan hasil. Karena itu, partai-partai politik juga akan berebut pengaruh di arena Muktamar untuk kepentingan pemilu legislatif, menguasai Senayan.

Intrusi politik itu sudah bisa terbaca dari isu-isu yang diwacanakan oleh berbagai kelompok kepentingan menyongsong pelaksanaan Muktamar NU Desember nanti. Yang paling dini, misalnya, munculnya flyer yang beredar di berbagai platform media sosial yang memejengkan tokoh-tokoh muda yang disebut layak memimpin NU. Dan di antara nama-nama tersebut adalah adalah orang-orang partai politik atau setidaknya memiliki kecenderungan untuk berpolitik. Di sana, tentu saja, ada nama Muhaimin Iskandar, yang tak lain adalah Ketua Umum PKB. Juga ada nama Nusron Wahid yang politikus Partai Golkar dan Maman Imanulhaq, yang juga politikus PKB. Melengkapi daftar tokoh-tokoh muda itu ada nama-nama Ahmad Fahrur Rozi (Ketua Ikatan Gus Gus Indonesia), KH Reza Ahmad Zahid atau Gus Reza (Pengasuh Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo), KH Abdurrahman Al-Kautsar atau Gus Kautsar (Pesantren Al Falah Ploso Kediri), dan, KH Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf (Pengasuh Pesantren Asrama Pelajar Islam Tegalrejo).

Melengkapi flyer “Saatnya yang Muda Jadi Ketum PBNU” itu adalah isu regenerasi. Tentu, isu regenerasi ini mengandaikan dua hal. Pertama, PBNU harus dipimpin orang muda. Artinya, tokoh-tokoh Nahdliyin yang sudah sepuh diandaikan harus minggir dari gelanggang. Kedua, ada pembatasan periode kepengurusan. Misalnya, seseorang boleh menduduki jabatan Ketua Umum PBNU maksimal hanya dua periode berturut-turut.

Apakah memang sudah saatnya begitu: NU harus dipimpin tokoh muda dan masa jabatan Ketua Umum PBNU dibatasi hanya dua periode? Tampaknya preseden di lingkungan NU tidak begitu. Sebagai sebuah organisasi massa (jamiyah) berbasis keagamaan, NU memiliki karakter yang unik, yang berbeda dengan organisasi-organisasi modern pada umumnya. Kekuatan utama NU bukan pada pranata formal struktur organisasinya, melainkan pada relasi-kultural jemaahnya. Karena itu, regenerasi yang terjadi di tubuh NU bukan melulu urusan usia dengan pergerakan vertical-linear, tapi juga berupa kaderisasi dengan pergerakan horizontal-deployment. Karena itu, usia dan masa jabatan tidak diatur secara rigid dalam NU.

Presedennya ada. Misalnya, tercatat KH Idham Chalid pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU selama 28 tahun, dari 1956 hingga 1984. Jika dihitung tiap periode kepemimpinan adalah 5 tahun, maka KH Idham Chalid baru mengakhiri masa jabatannya pada period ke-6! Memang, KH Idham Chalid terpilih untuk memimpin NU saat usianya masih muda, 34 tahun. Namun, KH Idham Chalid tetap menduduki jabatan itu hingga di usia 62 tahun. Apakah dengan demikian regenerasi tidak berjalan? NU hari ini adalah sebagian dari jawabannya.

Preseden lain adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang menjadi Ketua Umum PBNU hingga tiga periode, dari 1984 sampai 1999. Preseden ini tidak diteruskan KH Hasyim Muzadi, tapi ada kemungkinan diikuti KH Said Aqil Siradj. Selama memimpin NU, Gus Dur dikenal sangat progresif dalam mengembangkan pemikiran Islam, termasuk di dalamnya mencakup kaderisasi dan regenerasi di kalangan kaum muda NU. Di era Gus Dur inilah pergerakan horizontal-deployment terjadi begitu nyata. Begitu banyak lahir kader-kader muda NU yang progresif, yang tidak hanya berkhidmat di lingkungan NU, tapi juga menyebar ke mana-mana, terutama pada gerakan-gerakan pemberdayaan civil society. Gus Dur telah menetapkan standar baru, begitulah seharusnya makna sebenarnya dari kaderisasi dan regenerasi. Jadi, regenerasi itu bukan melulu soal sirkulasi peralihan kekuasaan, tapi juga penyebaran peran.

Jalan Kemaslahatan

Jika melihat preseden-preseden sebelumnya, maka isu-isu seputar saatnya NU dipimpin tokoh muda atau harus ada pembatasan masa jabatan menjadi sesuatu yang terasa tak signifikan dan strategis. NU akan selalu punya jalan untuk masalah itu dengan “tradisi fleksibilitasnya”. Selalu tersedia pendekatan-pendekatan atau mekanisme yang berbeda untuk situasi zaman yang berbeda. Jalan NU adalah jalan kemaslahatan, dan karena itu apa yang akan diputuskan oleh Muktamar tentu untuk kemaslahatan tak hanya bagi warga Nahdliyin dan umat Islam pada umumnya, tapi juga bagi bangsa dan negara Indonesia.

Isu-isu tersebut, yang berembus lebih karena adanya intrusi politik dari berbagai kelompok kepentingan, sesungguhnya bukan tantangan sebenarnya bagi NU di masa depan. Dan NU sudah memiliki pengalaman cukup panjang soal itu. Setidaknya ada dua tantangan strategis yang layak memperoleh perhatian serius dalam Muktamar nanti. Yang pertama adalah derasnya instrusi ideologi transnasional dan yang kedua adalah perubahan ekosistem ekonomi.

Yang pertama sesungguhnya merupakan “perang lama” tapi dengan palagan baru. Palagan barunya adalah teknologi informasi digital. Terus terang, NU sedikit terlambat menyadari dan mengantisipasi bahwa “perang ideologi” telah berpindah dari palagan lama, katakanlah dari mimbar-mimbar konvensional, ke palagan baru, berupa pemanfaatan media digital. Intrusi ideologi atau paham-paham ekstrem, radikal, dan intoleran, misalnya, sekarang dan nanti akan lebih banyak terjadi melalui media digital ini. Wajah Islam di masa depan akan ditentukan oleh siapa pemenang dalam palagan baru ini. Bahkan, wajah Islam Indonesia juga akan ditentukan oleh “perang lama” dengan palagan baru ini.

Dampak intrusi ideologi transnasional itu sudah bisa dirasakan tahun-tahun belakangan ini, dan keutuhan bangsa sebagai taruhannya. Paham-paham ekstrem, radikal, dan intoleran yang mengafirmasi terorisme itu sudah merembes ke mana-mana, bahkan hingga ke institusi-institusi keagaman yang sebelumnya steril darinya. Siapa yang menjamin benteng NU akan kukuh selamanya jika tak ada ikhtiar ke arah sana? Jika terjadi instrusi ideologi transnasional demikian akut, akan sulit untuk menghadirkan Islam yang rahmatan lil alamin jika tak menguasai palagan baru ini.

Tantangan lainnya adalah bagaimana warga Nadhliyin mampu beradaptasi dengan perubahan atau disrupsi ekonomi yang demikian pesat ini. Memang NU bukan lembaga ekonomi yang bisa membagi-bagikan proyek atau pekerjaan atau kemakmuran. Tapi menyiapkan atau menfasilitasi adanya ekosistem ekonomi yang kondusif bagi warganya adalah bagian dari peran dan tanggung jawabnya. Memakmurkan warga Nahdliyin berarti juga memakmurkan hampir separo populasi Indonesia.

Setidaknya, siapa nanti yang akan menjadi nakhoda, diharapkan mampu membawa NU menjawab tantangan-tantangannya di masa depan, bukan justru terintrusi oleh kepentingan kelompok politik tertentu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan