Islam Wasathiyah, Islam Masa Depan

2,752 kali dibaca

Dalam bahasa Arab, Islam jalan tengah disebut dengan Islam wasathiyah. Islam wasathiyah merupakan model beragama yang mengedepankan titik pijak pertengahan “sentrisme” dan tidak bias ke salah satu pihak (ekstrem kanan maupun ekstrem kiri). Sikap beragama seperti ini akan membuat seorang Muslim menjadi pribadi yang moderat, proporsional, dan menjunjung tinggi perdamaian.

Melalui buku Relevansi Islam Wasathiyah, Azyumardi Azra secara eksplisit menegaskan, Islam wasathiyah (justly balanced attitude) merupakan satu-satunya model beragama yang menjadi masa depan cerah agama Islam. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya sabda Nabi Muhammad Saw, posisi wasathiyah adalah sebaik-baiknya perkara (khoirul umuri ausathuha) (hlm. x).

Advertisements

Dengan menjalankan ajaran agama yang selaras karakter wasathiyah seperti ini; tawasuth (tengah), tawazun (seimbang), I’tidal (adil), tasamuh (toleransi), islah (reformis), ta’awun (tolong-menolong/gotong royong), syura/ musyawarah (konsultasi), muwathanah (cinta tanah air), musawa (egaliter), dan qudwah (teladan), visionernya akan tercipta suatu peradaban dan kemanusiaan yang sejati (beradab, berkemajaun, dan lebih harmonis).

Sir Azra lebih lanjut menjelaskan bahwa Islam jalan tengah sebagai peneduh kedamaian dan kemaslahatan kemudian mencapai signifikansinya ketika Indonesia mampu menerapkan konsep tersebut. Indonesia yang dipadati dengan jumlah Muslim terbesar di dunia terkenal sebagai negara yang moderat dan menerima segala bentuk perbedaan dalam menjalani kehidupan bersama. Budaya tepo seliro, saling menghormati, dan menjunjung tinggi persatuan menjadi ciri khas dari negara Indonesia yang telah di legacy sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Tradisi Islam wasathiyah di Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Titik tumbuhnya dimulai dengan proses Islamisasi yang dilakukan bukan dengan jalan aneksasi wilayah, akan tetapi berbasis fiqhud dakwah. Wali Songo adalah ulama yang berperan sentral pertama kali dalam memperkenalkan ajaran Islam.

Islam yang diperkenalkan oleh para wali penuh dengan kelembutan, bukan barbarian. Dalam menjalankan misi dakwahnya, para Wali Songo bersikap secara arif dan bijak, persis meneladani dakwah Nabi Muhammad Saw. Mereka mengusung pendekatan yang humanis, toleran, serta kontekstual pada budaya maupun tradisi setempat.

Inilah pionir dari tradisi Islam wasathiyah di Indonesia mulai terbentuk. Corak yang ditampilkan sangat inklusif, akomodatif, dan akulturatif. Sikap wasathiyah dalam berdakwah yang direpresentasikan para Wali Songo secara toleran dan humanis akhirnya dapat merangkul masyarakat untuk memaknai kehidupan dengan saling cinta damai satu sama lain.

Sikap wasathiyah di Indonesia kemudian berlanjut menjadi pedoman ketika terjadi perdebatan ideologi negara pasca-kemerdekaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara secara aklamasi menjadi bukti titik tengah yang mempertegaskan NKRI bukanlah negara teokratis dan bukan juga negara sekuler. Indonesia menempatkan posisi secara proporsional tanpa mendominankan agama maupun sekuler, hubungan agama dan negara saling membutuhkan dan timbal balik (paradigma simbiolik).

Begitu pula ketika polemik sila pertama di Piagam Jakarta yang mendapat pertentangan oleh kalangan non-Islam karena dinilai mencederai dan dianggap diskriminatif “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Setelah dilakukan tinjauan ulang oleh kalangan nasionalis-ulama, serta mempertimbangkan maslahah dan mafsadahnya. Pada akhirnya, diambil sebuah kompromi untuk merubah sila tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Inilah penerapan nyata dari sikap Islam wasathiyah Indonesia yang mengutamakan perdamaian dan kemaslahatan. Segala persoalan mampu diselesaikan dengan kepala dingin demi menjunjung tinggi persatuan dan ketentraman kehidupan bersama. Sikap jalan tengah dalam pembangunan bangsa dirasa sangat penting untuk diterapkan, mengingat Indonesia adalah negara yang majemuk, plural serta kaya akan perbedaan.

Sir Azra kemudian menyadur pengakuan dari cendekiwian mancanegara yang menilai Indonesia merupakan negara yang mendapat keberkahan sangat bernilai dari Allah Swt. Tidak hanya sebatas pada kekayaan alam dan sosial budayanya, akan tetapi juga dengan paradigma Islam wasathiyah-nya (hlm 140). Tidak berlebihan rasanya jika Indonesia disebut sebagai cuilan surga dunia. Muslim Indonesia senang mempraktikan Islam dengan wajah yang tersenyum (Islam with a smiling face) karena potret damai dan harmonis di tengah masyarakatnya yang berwarna.

Namun belakangan ini, di tengah arus modernitas ditambah dengan eksplosi demokrasi dan kebebasan, kekerasan atas nama agama, politisasi agama, normalisasi intoleransi menjadi massif dipertontonkan (hlm. 149). Kita bisa melihat dengan adanya agitasi, caci maki, salah-menyalahkan ketika tidak sepaham, hingga saling mengkafir-kafirkan. Tantangannya menjadi semakin kompleks, ketika muncul ideologi transnasional yang berniat ingin menegakkan Daulah Islamiyah (Khilafah).

Di sinilah Islam wasathiyah mempunyai peranan penting. Gerakan berislam secara moderat dapat menjadi kekuatan dan modal sosial dalam menangkal ekstremisme, kelompok radikalisme, dan segala potensi yang mengganggu keutuhan negara. Karena, orang/kelompok yang moderat (versi Kemenag) pasti mempunyai sikap yang bercirikan komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Kesemua ciri ini berbalut secara integral menjadi kesatuan utuh.

Pengaktualisasian prinsip wasathiyah akan mengantarkannya menjadi ummatan wasathan –dalam istilah Qurani disebut sebagai khaira ummah (umat terbaik)– karena memang mampu berkontribusi positif dalam kelangsungan kehidupan bersama (hlm 155). Penganut Islam wasathiyah akan selalu tampil sebagai penengah (mediator) secara adil di antara kelompok yang berbeda-beda demi menjaga kestabilan dan keharmonisan.

Inilah wujud sharih Islam wasathiyah, cerminan dari rahmatan lil alamin. Peradaban yang dibangun dengan jalan Islam wasathiyah mampu mengarahkan pada kemaslahatan perdamaian, dan tercipta relasi kemanusiaan yang toleran, egaliter, inklusif, dan harmonis.

Buku Azyumardi Azra ini menjadi penting karena memberi pencerahan yang menerobos persoalan-persoalan Nusantara, termasuk ihwal kejumudan dalam berpikir. Kelebihan dari buku ini menaburkan contoh-contoh konkret dengan menawarkan cakrawala argumentatif yang luas nan inklusif. Kehadirannya dapat menjadi nutrisi untuk praksis Islam jalan tengah yang berimplikasi pada sikap rileks dalam semua sendi kehidupan berbangsa. Termasuk menghalau potensi politik identitas yang kembali mencuat secara liar menjelang pemilihan presiden 2024.

DATA BUKU

Judul Buku: Relevansi Islam Wasathiyah
Penulis: Azyumardi Azra, CBE
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Cetak: Cetakan I, 2020
Tebal: 360 halaman
ISBN: 978-623-241-291-0

Multi-Page

Tinggalkan Balasan