Islam Translated: Bagaimanakah Islam Diterjemahkan?

25 views

Buku ini merupakan sebuah disertasi dari seorang guru besar sejarah di Universitas Ibrani Yerusalem, Israel. Saya berpendapat buku dengan tema dan kajian semendalam ini mungkin hanya akan lahir dalam lima puluh atau seratus tahun sekali. Sebab, buku ini memang sangat berbobot dan langka.

Pada dasarnya subjek kajian buku ini adalah keterangan hadis nabi, namun menjadi kaya karena ditinjau dari keseluruhan kompleksitas dan latar budaya masyarakat yang menerima. Dipengaruhi oleh keterangan hadis tersebut, Ronit Ricci sebagai penulis memotretnya di Kawasan Asian Selatan dan Tenggara.

Advertisements

Keterangan hadis ini berkisah tentang seorang Yahudi bernama Abdullah bin Salam (dikenal memiliki banyak murid), lalu menghadap pada nabi Muhammad (saw) dengan membawa banyak pertanyaan.

Di akhir kisah, setelah pertanyaan-pertanyaan itu mendapat jawaban yang meyakinkan, Abdullah bin Salam beserta para murid yang mengikutinya melakukan perpindahan (memeluk) pada Islam. Kisah itu kemudian menjadi legenda yang dinamakan “Hikayat Seribu Pertanyaan” di masyarakat Melayu dan Jawa.

Bagi sebagian sarjana hadis di Indonesia, keterangan hadis yang menceritakan Abdullah bin Salam dalam buku ini merupakan hadis yang telah mempribumi. Dengan begitu, masyarakat hari ini bisa melihat bahwa di masa awal formatur Islam (abad ke-16), hadis bukan sebatas teks yang dibacakan secara rigid, namun teks yang kemudian menjadi sesuatu yang hidup (living sunnah) dalam tradisi di masyarakat.

Hal tersebut menjadi sebuah potret sekaligus pertanyaan: bagaimanakah para penyebar Islam masa awal di Nusantara mampu menerjemahkan Islam secara utuh, lengkap, dan tuntas?

Menerjemahkan Islam sering dimetaforkan dengan kerja menanamkan pohon. Metafor ini sering digunakan oleh para filsuf dan mistikus Islam sejak abad pertengahan. Sebut saja di antaranya ialah Ibnu Arabi yang menulis kitab Syajarah Al-kawn.

Para penerjemah ajaran-ajaran Ibn Arabi di Nusantara seperti Hamzah Fansuri menggunakan metafor Syajarah tersebut dengan pohon kelapa. Begitu pula para ulama Hadrami yang datang lebih belakangan ke kepulauan Nusantara, menyebarkan Islam dengan perumpamaan tentang penanaman pohon kelapa sebagai cikal bakal Islam yang lebih cocok sesuai iklim tropis, ketimbang pohon kurma sebagaimana di tanah kelahiran mereka.

Pohon kelapa yang seluruh elemennya bermanfaat seringkali dianalogikan pada hadis Nabi akan manusia, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Bila sudah sampai pada tahap demikian, manusia sudah bisa dikatakan sempurna atau menjadi insan kamil. Lebih terperinci lagi, Hamzah Fansuri bahkan membuat perumpaan buah kelapa sebagai inti ajaran dari Islam itu sendiri, saya kutip dalam buku Pengantar Sedjarah dan Adjaran Islam, karya Soebardi, hlm. 45:

Perumpamaan Islam adalah sebiji kelapa dengan sabutnya, tempurungnya, dagingnya, dan minyaknya: syariat sabutnya, tarekat adalah tempurungnya, hakikay adalah dagingnya, makrifat adalah minyaknya. Dengan empat hal ini, manusia menurut hukum sudah sempurna. Jika salah satu dari hal ini hilang, ia tidak lagi sempurna, Jika kelapa tumbuh tanpa sabutnya, tentu ia tidak akan tumbuh, dan bahkan ia akan hancur. Demikian, Tuhan menuntut manusia untuk menjadi sempurna, tidak memisahkan satu sama lain antara syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.

Buku Islam Translated yang ditulis oleh Ronit Ricci ini menghadirkan bentangan sejarah yang bersumber dari hikayat Melayu. Lewat sumber hikayat ini pula kita bisa melihat kembali kondisi dan dinamika masyarakat di masa itu (sekitar abad ke-16) yang rupa-rupannya sudah kosmopolis.

Sebagaimana keterangan sejarawan lain seperti Antony Reid, dalam karyanya “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680; Tanah di Bawah Angin” mengemukakan bahwa hingga abad ke-16, Malaka (semenanjung Melayu) menjadi daerah paling urban, dan memiliki penduduk kota yang paling padat di dunia. Malaka yang merupakan selat yang mempertemukan jalur perdagangan dunia timur dan barat, sudah terkelo dan didominasi oleh masyarakat kosmopolis Arab, sebelum di paruh kedua abad itu mengalami kekalahan dan dipukul mundur oleh Portugis. Meski demikian, dalam pengakuan Portugis, ia tidak bisa menciptakan pengelolaan komunitas dagang kosmopolit yang serupa ketika selat itu sudah diambil alih oleh Portugis.

***

Abdullah bin Salamadalah tokoh utama dalam isi naskah hikayat Melayu di abad ke-16. Dalam buku ini ia banyak dikatakan beruntung karena menjadi generasi terakhir yang, selain mengalami secara langsung dengan kehidupan nabi, juga menjadi seorang mualaf.

Dengan alasan dan latar belakang demikian, riwayat hidupnya kemudian dijadikan potret dalam sebuah cerita hikayat yang diharapkan dapat menggugah akan akhir periode hidupnya memeluk Islam. Namun uniknya, hikayat tersebut tidak hadir di tanah jazirah Arab tempat kelahiran nabi, namun justru hidup dan menjadi legenda di Kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Maka, Islam itu kemudian menjadi benar-benar bisa meresap dan diterjemahkan sesuai dengan ragam kebudayaan masyarakatnya.

Di dunia Melayu, selain bahasanya yang paling banyak menyerap bahasa Islam beserta penggunaannya, ia menjadi bahasa pertama di Asia Tenggara yang banyak menerjemahkan naskah-naskah bahasa Arab dan Farsi. Kemudian naskah-naskah ini diterjemahkan kembali ke dalam bentuk yang telah ada, yaitu berupa hikayat.

Sampai di tahap ini, bahasa Melayu yang merupakan bahasa perdagangan beriring dengan kerja penerjemahan berbahasa arab yang di masa itu menjadi bahasa kosmopolis di jalur komunitas perdagangan. Kemudian, kerja penerjemahan tersebut tidak lantas meninggalkan warisan lama, hikayat yang merupakan peninggalan lama pra-Islam tetap digunakan dan menjadi medium penerjemahan pada cerita Islam. Dengan demikian, masyarakat yang hidup dalam tradisi itu tertransformasikan pada Islam.

Sementara dalam tradisi Jawa, Hikayat Seribu Pertanyaan dikenal dengan sebutan Kitab Samud yang bercerita tentang kesinambungan dan perubahan. Ia masuk lebih belakangan, yaitu abad ke-19. Hikayat ini masuk ke Jawa seiring oleh pengaruh yang membawanya, yaitu tarekat Syattariyah. Karena di abad ke-16 hingga abad ke-18, tarekat Syattariyah memiliki pengaruh yang luas dan cukup populer.

Hal tersebut berdasar karena tarekat ini lekat dengan ajaran wujudiyah (sebagaimana Hamzah Fansuri), juga karena ajaran-ajarannya yang spekulatif dan lebih sesuai dengan penggunaan seni Jawa yang menggunakan kiasan-kiasan.

Di Jawa, Hikayat Seribu Pertanyaan beralih bentuk menjadi tembang bernama Soeloek Syeh Ngabdoessalam yang tetap tidak bisa dilepaskan dari pengaruh awal tarekat yang membawanya. Meskipun bila kita lihat lagi, di paro kedua abad ke-18 hingga sekarang, tarekat Syattariyah telah meredup dan tergeser dengan tarekat Naqsabandiyah dan Qoddiriyah yang lebih mengedepankan hukum Islam formatif.

Inti keseluruhan dari naskah Hikayat Seribu Pertanyaan yang diteliti dalam buku ini adalah perihal penerjemahan Islam. Penerjemahan yang dimaksud bukan sebatas dari teks ke teks, namun dari teks (pasca sepeninggal nabi) ke sesuatu yang mewujud hidup (usaha penghadiran nabi itu sendiri) di masyarakat. Dengan demikian, tranmisi ilmu dalam teks-teks tersebut harus diupayakan dalam praktik hidup berkebudayaan. Hal ini tentu akan menjadi berbeda (secara lahiriah) akan penerjemahan Islam.

Namun justru demikian, Islam sebagai rahmat berfungsi dengan semestinya. Ia tida kemudian merusak ragam kultur yang telah ada, karena sebagaimana kita tahu (dalam keterangan Al-Qur’an), bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta, ia melingkupi semua batas-batas identitas yang terangkum oleh kebudayaannya yang berbeda-beda.

Bersamaan dengan itu, Islam (Al-Qur’an) di peruntukan bagi manusia. Dengan demikian, ia harus diterjemahkan ke dalam bahasa dan rangkum kebudayaan yang berbeda-beda itu agar bisa dimengerti secara utuh. Sehingga, kalam-kalam langit Al-Qur’an (Islam) bisa hadir di bumi dan aktual dalam kehidupan manusia.

Dengan demikian, bagi saya, di periode abad ke-16 yang telah dipotret oleh para sejarawan, telah tercipta sebuah kehidupan yang kosmopolis, dan Islam bersemai seturut dengan laju zamannya untuk memberikan rahmat.

Artinya, di rentang waktu hingga abad ke-16 itu, dengan ditulisnya Hikayat Seribu Pertanyaan sebagaimana telah diteliti dalam buku ini, kita bisa melihat para cendekia dan penyebar Islam telah berhasil dalam menerjemahkan Islam seturut dengan corak kebudayaan dan laju zamannya masing-masing.

Pertanyaannya, tinggal bagaimanakah kita sebagai generasi yang mewarisi khazanah itu menafsir dan menerjemahkannya kembali untuk kini dan generasi yang akan datang?

Tabik.

Data Buku

Judul: Islam Translated (Soft Cover)
Penulis: Ronit Ricci
Alih Bahasa : Toenggoel P. Siagian
Penerbit: Suara Harapan Bangsa
Cetakan Pertama : Desember 2017
ISBN : 978-602-9226-843

Multi-Page

Tinggalkan Balasan