Islam Timur Tengah dan Islam Indonesia

1,123 kali dibaca

Gejolak politik di kawasan Timur Tengah selalu menarik untuk dijadikan bahan perbincangan. Mulai dari masyarakat kelas atas, elite-elite politik, akademisi, dan sebagainya, hingga masyarakat biasa yang merasa punya keresahan akan gonjang-ganjing kawasan.

Kawasan yang dikenal sebagai tempat lahirnya Islam ini seakan menyuguhkan sesuatu yang terus membingungkan bagi kita. Di satu sisi, Islam yang lahir di Timur Tengah banyak mengajarkan perdamaian, ketenangan, keikhlasan, dan hal-hal baik lainnya. Namun, di sisi lain, berita-berita konflik, krisis kemanusiaan, dan terorisme juga sering kita dengar dari Timur Tengah.

Advertisements

Baru-baru ini, 21 Januari 2021, terjadi peristiwa bom bunuh diri ganda di pasar Baghdad, Irak. Korban tewas mencapai 28 orang, sedangkan 78 lainnya mengalami luka bakar serius. Kepala Pertahanan Sipil Irak, Mayjen Khadim Salman, memperkirakan Da’ys (ISIS) adalah pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini.

Kejadian memilukan ini membuat kita semakin gelisah dan resah tentang citra Islam di masa depan, bila yang terjadi di tanah kelahirannya seperti ini. Sebenarnya, pengkotak-kotakan orientalis terhadap Islam juga tak sepenuhnya dapat kita salahkan, karena berkat pengkotakan itulah kita bisa melakukan berbagai upaya preventif untuk menghalangi perkembangan paham-paham berbahaya.

Setiap negara di Timur Tengah, atau bahkan di dunia, melihat Islam dari sudut pandang yang berbeda-beda. Setidaknya, pandangan yang diberikan negara-negara tersebut terhadap Islam dapat kita pisahkan menjadi dua skema besar. Yakni, paradigma integralistik dan paradigma simbiotik.

Paradigma integralistik memandang Islam dan negara adalah satu kesatuan substansional. Negara adalah daulat ilahiyah yang harus dijaga melalui aturan-Nya pula. Negara-negara yang menggunakan paradigma ini kebanyakan berada di subkawasan Arab Timur (Levant/Al-Masyraq Al-‘Araby). Itu sebabnya gerakan-gerakan pan-Islamis banyak lahir di sini. Kepercayaan terhadap persatuan Islam dan kebangkitan Khilafah Islamiyah sangat tinggi.

Kita tahu citra Islam di Arab Timur, seperti Saudi Arabia, Yaman, Suriah, Palestina, Lebanon, dan lainnya sangatlah kuat sebagai ideologi politik. Namun, dampak dari kekuatan itulah yang menyebabkan kehancuran Islam secara esensi ruhaniyah.

Gerakan-gerakan Islam fundamentalis lahir di sini, dan sekarang menjelma menjadi momok yang sangat mengerikan di mata dunia. Transisi Islam sebagai kebutuhan spiritual menjadi identitas politik membuat ruh Islam yang sesungguhnya sebagai pembawa pesan perdamaian, pengusung akhlak, serta penuh cinta kasih jadi dikesampingkan. Jihad dijadikan jawaban atas segala pertanyaan yang menyinggung isu kemanusiaan, ekonomi, dan sosial di sana.

Selain itu, paradigma integralistik seringkali membuat entitas lain menjadi iri. Hal ini sangat membahayakan stabilitas negara dari dalam. Kelompok entitas sakit hati ini akan menunggu masa kelengahan pemerintahan, menyusun kekuatan, dan bisa melakukan kudeta. Bukankan itu yang melatarbelakangi perang saudara di Lebanon, hingga akhirnya mendorong terjadinya politik sektarian dengan sistem power sharing yang akhirnya malah menjadi mala petaka baru saat ini?

Hal yang sama terjadi di Sudan. Ketegangan antar-golongan menjatuhkan Sudan pada perang saudara hingga akhirnya harus merelakan kawasan Sudan Selatan yang mayoritas non-muslim untuk berdiri sendiri. Islam di kawasan Arab Timur telah berubah menjadi identitas politik daripada sebuah agama yang membawa pesan kebaikan dan kebenaran.

Sedangkan, paradigma simbiotik merupakan cara pandang bahwa Islam dan negara punya hubungan yang terpadu, namun tidak satu. Ibarat dua orang yang saling membutuhkan satu sama lain. Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang memandang Islam melalui paradigma ini. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi ideologi yang universal, namun tetap adanya Kementerian Agama.

Di  kawasan Timur Tengah, paradigma simbiotik banyak digunakan oleh negara-negara di subkawasan Arab Barat di sisi seberang. Kawasan Arab Barat (Al-Maghrib Al-‘Araby) yang berbatasan langsung dengan Laut Mediterania memiliki pemikiran yang lebih progresif dibanding kawasan Arab Timur. Sentuhannya dengan Eropa membawa banyak perubahan secara budaya maupun kultur sosial. Negara-negara itu adalah Libya, Aljazair, Maroko, Tunisia,  dan Mauritania.

Arab Barat memiliki potensi pemikiran politik yang lebih progresif. Itu sebabnya, Tunisia menjadi negara pertama yang melakukan seruan revolusi politik yang kala itu dinilai mulai tidak sehat (2011). Perubahan arah politik Timur Tengah sangat dipengaruhi dengan meletusnya revolusi Tunisia tahun 2011. Hal ini didukung dengan mulai munculnya media sosial saat itu sehingga angka penyebaran berita semakin mengagumkan, dan mempengaruhi negara-negara tetangga untuk mulai menuntut demokrasi sebagai pengganti politik otoritarian yang sudah hampir setengah abad membelenggu mereka.

Makin ke sini, kecenderungan Arab Barat memperlakukan Islam dalam ranah politik semakin mengalami penurunan. Mulai masuklah mereka pada paradigma ketiga dalam perspektif politik Islam, yang harusnya tidak pernah terjadi. Yakni, paradigma sekuleristik. Demokrasi terbarukan yang mereka canangkan dalam The Arab Spring dalam dekade kedua abad ke-21 ini telah mengarah pada diferensiasi agama dengan negara. Persis seperti apa yang dilakukan Eropa. Kekecewaan mereka terhadap politik otoritarian Islamis di masa lalu membuat mereka menganggap sudah saatnya mereka menuju era yang Barat capai, era sekuleristik.

Percampuran budaya antara Arab dan Barbarian Eropa mengaduk di Arab Barat, terutama Maroko dan Tunisia. Puncaknya hingga saat ini adalah penyetujuan perjanjian normalisasi hubungan diplomatik Maroko-Israel yang diumumkan mantan Presiden AS Donald Trump tanggal 10 Desember 2020 lalu. Tindakan tersebut dinilai sebagai langkah pengkhianatan Maroko terhadap Piagam Organsasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai penggagas utama solidaritas negara muslim pendukung kemerdekaan Palestina. Liga Arab yang diwakili Mesir juga tak memberikan tanggapan apa-apa atas keputusan ini, yang bahkan dinilai melanggar The Arab Peace Initiative tahun 2002. Sudan yang muak dengan kepemimpinan Islamis-otoriter Omar Basheer juga mempertimbangkan keputusan untuk bertransisi menuju negara yang sekuler.

Islam di tanah kelahirannya sudah meredup, baik secara substansional maupun esensional. Kini Islam sendiri mempertanyakan di mana ia akan berlabuh. Timur Tengah sebagai ibu kandungnya kini perlahan mengusirnya dari “rumah”. Lalu bagaimanakah masa depan Islam akan berlangsung?

Sepertinya, Indonesia dan kultur pesantrennya punya potensi yang kuat untuk menjadi kandidat “ibu angkat”. Sebagai negara yang memandang Islam melalui paradigma simbiotik, bukan mustahil Indonesia dan pesantrennya akan menjadi pusat peradaban Islam dunia di masa mendatang.

Waalahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan