Di tengah ramainya klaim kebenaran dan gesekan antarumat beragama, sebuah pertanyaan mendasar kerap terlupakan: apakah “Islam” itu kata benda atau kata sifat. Jika yang pertama, ia adalah sebuah nama, yang menjadi label, identitas, yang melekat pada kelompok tertentu. Jika yang kedua, ia akan lebih dimaknai sebagai esensi dan jalan hidup yang universal.
Fenomena perdebatan sengit, saling menjatuhkan, dan klaim kebenaran tunggal yang sering mewarnai masyarakat kita, seolah menunjukkan bahwa Islam seringkali dipahami hanya sebagai sebuah nama yang eksklusif. Namun, jika menyelami lebih dalam, ajaran Islam yang utuh justru mengarah pada pemahaman bahwa ia adalah sebuah sifat mulia yang mestinya tidak hanya berupa aktivitas-aktivitas ritual-formal.

Problem Islam sebagai Identitas
Dalam keseharian, orang-orang seringkali mempersepsikan Islam sebagai sebuah nama. Ia sama seperti nama agama-agama lain seperti Kristen, Hindu, atau Buddha.
Pemahaman ini membuat seseorang bangga mengidentifikasi diri sebagai Muslim, menjalankan ritualnya, dan mengklaim ajaran agamanya paling benar. Tidak ada yang salah dengan identitas ini. Namun, masalah muncul ketika pemahaman “nama” ini menjadi sempit dan hanya tertuju oleh suatu kalangan saja.
Ketika Islam dipahami hanya sebatas nama, ia bisa berujung pada pandangan bahwa kebenaran hanya milik kelompok yang memegang nama tersebut. Klaim “kami yang paling benar” menjadi lumrah, dan agama lain dipandang sebelah mata, bahkan dianggap sesat.
Hal tersebut yang kemudian memicu perdebatan tak berujung, rasa saling curiga, hingga praktik saling menjatuhkan. Islam yang sejatinya membawa pesan damai (dari akar kata salām, yang berarti damai, selamat), justru kerap terlihat sebagai pemicu konflik karena kekakuan dalam memahami nama dan simbol-simbolnya.
Esensi Islam sebagai Sifat
Berbeda dengan Islam sebagai nama, Islam sebagai sifat merujuk pada makna asal usul katanya. Islam berarti “ketundukan” atau “kepasrahan” kepada Tuhan yang Maha Esa, serta membawa keselamatan dan kedamaian.