Dalam diskursus sosial sehari-hari, idealisme kerap dianggap sebagai sikap yang tidak membumi, seolah hanya layak dipeluk oleh mereka yang masih muda dan belum “terpapar” realitas kehidupan. Sebaliknya, realisme diposisikan sebagai bentuk kedewasaan—penerimaan terhadap dunia sebagaimana adanya, lengkap dengan ketimpangannya.
Dikotomi tersebut bukan hanya menyederhanakan persoalan, tetapi juga menutup kemungkinan untuk membangun sebuah pendekatan yang kritis dan transformatif terhadap kenyataan. Padahal sejarah memperlihatkan, tidak sedikit tokoh yang mampu memadukan keduanya—berpijak pada kenyataan sambil tetap menggenggam visi ideologis yang tegas.

Karl Marx, misalnya, dalam karya-karyanya bukan hanya menyajikan kritik atas sistem kapitalisme secara filosofis, tetapi juga menyusun kerangka ekonomi-politik yang sangat konkret. Ia tidak berbicara dalam ruang hampa. Konsep-konsep seperti alienasi, eksploitasi, dan perjuangan kelas lahir dari pengamatan terhadap realitas material yang dialami oleh kaum proletar pada zamannya. Marxisme bukan sekadar ideologi utopis, tetapi juga suatu bentuk realisme historis—yakni upaya memahami dan mengubah dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya menurut angan-angan belaka.
Antonio Gramsci, seorang filsuf dan aktivis politik Italia, melanjutkan warisan ini dengan konsep hegemoni budaya dan intelektual organik. Gramsci memahami bahwa dominasi kelas tidak hanya berlangsung melalui kekuatan ekonomi atau kekerasan negara, tetapi juga melalui kontrol atas ide dan nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Prison Notebooks, ia menulis bahwa, “Ideologi dominan adalah ideologi kelas yang berkuasa.” Artinya, realitas sosial bukan hanya diciptakan oleh kekuatan ekonomi, tetapi juga oleh narasi-narasi yang dianggap normal dan wajar. Melawan ketidakadilan, menurut Gramsci, tidak cukup dengan revolusi fisik semata, tetapi juga memerlukan perjuangan budaya dan intelektual. Dalam konteks ini, idealisme menjadi kekuatan penggerak untuk menciptakan narasi tandingan, namun tetap harus dibarengi dengan strategi realistis agar efektif dan membumi.
Menariknya, nilai-nilai seperti keadilan sosial, pembelaan terhadap kaum tertindas, dan kritik terhadap dominasi kekuasaan juga secara kuat hadir dalam ajaran dan praktik hidup Nabi Muhammad SAW.