Hadiah Kemerdekaan

1,003 kali dibaca

Kini, hidupku seperti telah luruh, bagai pohon tak berdaun, meranggas karena musim kemarau. Ibu telah tiada. Itu artinya tidak ada orang yang memberikan kekuatan batin bagiku.

Meskipun, dia bukan ibu kandungku, tapi aku telah memperlakukannya seperti ibu kandung sendiri. Sementara, ibuku sendiri telah meninggal saat melahirkanku.

Advertisements

Doa-doa mereka mampu memberikan kekuatan yang luar biasa bagi diriku. Doa-doa mereka menyelamatkanku dari segala marabahaya. Doa-doa mereka selalu mengiringi perjalanan sampai puncak karierku.

Menurut cerita orang-orang, ibuku telah berpuasa sembilan bulan untuk diriku selama aku di dalam kandungan. Tapi, ibu angkatku yang bercerita demikian. Aku baru tahu jika ibu melakukan pengorbanan semacam itu untukku. Setelah mengetahui itu, ingin rasanya aku membangunkan ibu dipersemayaman terakhirnya, tetapi semua itu tidak mungkin.

Maka dari itu, tirakat ibu adalah hadiah untukku dan hadiah kemerdekaan ini dari ayahku dan segenap, pahlawan yang berjuang melawan penjajah adalah kebahagiaan yang terindah dalam hidupku.

Menurut cerita dari ibu angkatku, ibu menginginkan anaknya kelak menjadi pembesar di negeri ini. Dan ayahku ingin setelah aku lahir tidak ada penjajahan lagi di negeri ini. Dan akhirnya hal itu terwujud.

Aku merasa bersyukur, setidaknya aku tidak mengecewakan ibu dan ayah. Maka dari itu, apa pun yang aku lakukan demi orang lain, pasti mereka merasa bangga dan bahagia.

***

Menjelang waktu subuh, Sari berteriak meminta pertolongan. Dari teriakannya, terasa ada sesuatu yang genting.

“Tolong aku, Yu!” teriaknya. Dia berteriak berkali-kali. Dia mengetahui ada beberapa orang di surau di depan rumahnya. Orang-orang yang berada di surau tunggang langgang untuk melihat kondisi Sari.

Di sana, Sari sudah dalam posisi kepayahan di amben, sambil memegang perutnya yang menggembung. Dia sudah tidak berdaya karena bayi yang ada di dalam perutnya ingin menerobos keluar, melihat dunia, tepat di usia kandungan sembilan bulan lebih satu hari.

Sayangnya, Sari tinggal seorang diri di rumah sederhananya. Betapapun rasa kesepian mengoyak-ngoyak dirinya, tapi dia harus tetap kuat untuk kelahiran anak pertamanya. Suaminya tewas dalam peperangan di Surabaya sebagai syuhada, ketika perang pecah dalam upaya mengusir pasukan Belanda.

Suaminya ikut pasukan berani mati dalam misi suci mengusir penjajah. Suaina ikut bersama santri-santri dari Jombang dan bergabung dengan pasukan Bung Tomo.

Rustam, suami Sari, tidak yakin dirinya akan pulang, karena dia menyadari bahwa peperangan hanya memiliki dua kemungkinan– nyaris mati atau benar-benar mati. Dan bahkan Sari pun memiliki firasat dalam mimpinya jika suaminya akan tewas dalam peristiwa berdarah itu.

Suatu hari dia bermimpi, ada sekawanan gagak mengerang, saling sahut di depan rumahnya, hinggap di pohon cermai yang daunnya tinggal beberapa helai. Dan dia memetik bunga melati. Itu pertanda yang jelas baginya bahwa bayi yang dikandungnya akan menjadi yatim.

Setelah terbangun dari tidurnya, dia pun tidak bisa tidur lagi sampai sampai kemudian azan subuh berkumandang. Keringat di dahinya, dia seka dan berusaha menghimpun kesadaran setelah mengalami mimpi buruk.

Mula-mula, dia ragu untuk membangunkan suaminya. Tetapi pikirannya tidak tenang dan akhirnya dia membangunkan suaminya. Dia goyang-goyangkan tangan suaminya.

“Aku mohon jangan ikut ke Surabaya!” Sari memperingatkan suaminya. Rustam membuka matanya. Dia menatap Sari lalu bangkit.

“Ada firasat buruk tentang dirimu, suamiku,” sambungnya.

“Apa yang membuatmu bangga terhadapku, jika ada penjajah yang ingin kembali menguasai negeri kita ini?” kata Rustam menatap Sari penuh harap.

Rustam juga mengetahui jika Sari mengandung anaknya, tapi kemudian dia juga berharap bahwa setelah anaknya lahir, tidak ada lagi penjajahan di negerinya. Maka dari itu dia bertekad untuk ikut mengusir penjajah.

***

Orang-orang berdatangan. Sari terbaring, hanya bisa merintih, mengejan, sesekali menarik napas panjang untuk menghimpun segala kekuatan dalam proses persalinannya.

“Ketubannya sudah hampir pecah,” ucap seorang yang akan menolong persalinannya.

Seorang perempuan paro baya melepaskan mukenanya yang tampak kusut dan menyuruh para laki-laki untuk keluar dan salah satu perempuan yang mendampinginya menyuruhnya mengambil air dan baskom. Orang-orang memanggilnya Mak Warsih.

Keringat bercucuran. Ada rintihan yang begitu menyakitkan. Sari menarik napas kemudian diembuskan. Seperti halnya para pahlawan di medan laga yang sedang dikejar-kejar oleh kematian, dia pun sedang diadang maut.

Tikar dari daun pandan basah oleh cairan-cairan kemerah-merahan dan kental. Sari meringis kesaktian. Beberapa waktu kemudian, janin yang ada diperutnya keluar dengan selamat. Tangisannya memecah keheningan.

Sementara itu, beberapa orang kembali ke surau untuk salat subuh. Perempuan yang menolong persalinannya bernama Mak Warsih. Kebetulan, rumahnya berdempetan dengan rumah Sari.

Sayup-sayup terdengar suara ayam berkokok, burung-burung berkicau menyambut pagi. Sementara itu, semburat kemerah-merahan fajar mulai berangsur menghilang. Sementara itu, beberapa perempuan menjalankan salat subuh di ruang tamu.

Perempuan yang berada di tempat itu menjadi lega. Meskipun, mereka juga melihat kondisi Sari yang tampak begitu lemas dan pucat. Mak Warsih mengangkat bayi untuk dibersihkan, melilitkan tubuh bayi itu dengan jarit batik.

Bayinya tampak normal dan sehat. Bayi itu menangis, seolah-olah dia seperti sedang merayakan kelahirannya di dunia ini. Suara ayam berkokok saling sahut. Terdengar suara lesung bertalu. Katak, serangga, dan burung-burung liar seperti ikut menyambut kelahiran bayi itu.

Wak Warsih kemudian mendekatkan bayi itu ke samping Sari. Sari mendapat bayi itu dengan tatapan menggelora. Dia menangis haru. Dalam hatinya, seandainya suamiku masih hidup, mungkin kebahagiaanku akan terasa lebih lengkap.

Kemudian setelah persalinan yang melelahkan, Sari meminta Mak Warsih di dekatnya. Wajahnya terlihat tampak pucat, seperti tidak teraliri darah. Dia banyak mengeluarkan darah saat proses persalinannya.

Dia meminta Mak Warsih untuk merawat bayinya. Tidak ada sanak saudara yang bisa dimintai bantuan selain Wak Warsih. Dalam detik-detik kematiannya, ia memberikan nama kepada bayinya.

“Beri nama dia Abiseka. Kelak dia akan dinobatkan sebagai penguasa dan diangkat derajatnya,” pintanya. Sementara itu, Mak Warsih hanya bisa melihat detik-detik kematian Sari dalam posisi memeluk bayinya.

ilustrasi: pemandangancrayon.blogspot.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan