Gus Miftah dan Berdakwah di Tempat Maksiat

1,487 kali dibaca

“Menuju Jalan Tuhan”, sebuah judul materi pada tayangan KickAndy, di Metro TV, Minggu, 7 Februari 2021. Tokoh yang ditampilkan adalah Ustadz Miftah Maulana Habiburrahman, atau yang biasa dipanggil Gus Miftah. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman Yogyakarta, yang memadukan ajaran kitab kuning dan keterampilan (skill). Seluruh santri dibebaskan dari seluruh biaya, termasuk biaya hidup dan lain sebagainya. Santri dengan beragam latar belakang, dan tidak sedikit dari mantan preman, anak jalanan, dan juga anak-anak telantar. Di pesantren ini mereka diberi keterampilan kemandirian, seperti bercocok tanam, memelihara hewan ternak, dan keterampilan lainnya.

Gus Miftah adalah seorang pendakwah (dai), meskipun Beliau tidak suka dipanggil kiai maupun ustadz. Gus Miftah adalah pendakwah nyentrik, karena biasa memberikan pengajian di tampat-tempat prostitusi, dunia gemerlap, dan tempat-tempat maksiat lainnya. Tersebab oleh kebiasaan tempat dakwah ini, kemudian ada beberapa orang yang tidak suka dan mengatakan bahwa dakwah Gus Miftah memalukan.

Advertisements

Tetapi Gus Miftah punya alasan, “Lebih memalukan mana antara berdakwah di tempat maksiat daripada diam melihat kemaksiatan?” Begitu Beliau memberikan pernyataan retorik yang membuat pengkritiknya terdiam dan tak punya kata-kata.

Gus Miftah memberikan tausiyah dengan cara santai dan penuh kegembiraan. Bagi Beliau, mereka yang bekerja di tempat-tempat maksiat bukan tidak tahu kalau bermaksiat itu haram. Tetapi, mereka mempunyai alasan lain, baik demi menghidupi keluarga atau karena alasan eforia, kebebasan. Maka yang terpenting bagi Gus Miftah adalah mereka masih mengingat Tuhan, apa pun pekerjaan mereka.

“Seburuk-buruknya orang pasti pernah berbuat kebaikan, dan sebaik-baiknya orang pasti pernah berbuat keburukan,” adalah salah satu prinsip Gus Miftah dalam memberikan pengajian kepada para penikmat maksiat.

Dakwah dan Pengorbanan

Memberikan pengajian di tempat prostitusi atau tempat-tempat maksiat lainnya tidak segampang yang kita pikirkan. Berdasarkan kisah dari Gus Miftah, Beliau pernah ditodong senjata oleh pimpinan preman, karena dianggap mengganggu “stabilitas” lahan mata pencaharian. Tetapi, Gus Miftah tidak patah arang. Beliau memberikan alasan yang dapat diterima oleh semua penghuni tempat prostitusi atau maksiat lainnya.

Pada akhirnya, Gus Miftah berdakwah di tempat yang tidak biasa. Awalnya, beberapa penghuni  rumah bordil merasa jengah. “Kok di tempat kotor ini ada pengajian (dakwah)?” Kemudian, Gus Miftah berargumen, “Lebih baik mengaji di tempat maksiat, daripada maksiat di tempat mengaji.” Begitu Beliau memberikan alasan.

Terkait hidayah dari nilai dakwahnya, Gus Miftah mengatakan bahwa hidayah merupakan hak prerogatif Tuhan. Manusia hanya diwajibkan berikhtiar, sukses atau tidak bukan sebuah keharusan. Tentu tidak ada perjuangan yang sia-sia, dan tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Termasuk, berkorban karena dinilai jelek oleh sebagian orang. Gus Miftah menyadari bahwa tidak semua orang paham dengan harkat dakwahnya.

Berkorban dalam sebuah dakwah memang harus dihadapi. Gus Miftah yang mulai berdakwah sejak usia 20 tahun, tentu mempunyai banyak pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Merupakan sebuah konsekuensi dari suatu peran yang diambil, maka Gus Miftah harus menerima dengan lapang dada.

Ketika Hidayah Menghampiri

Hidayah, sebagaimana dikatakan Gus Miftah, merupakan hak prerogatif Tuhan. Dalam al-Quran, Allah berfirman, Innaka laa tahdi man ahbabta walakinnallaha yahdi man yasya’ (sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah swt yang akan memberikan hidayah (petunjuk) kepada orang yang Ia kehendaki).

Artinya, bahwa dakwah yang disampaikan oleh seseorang merupakan sebuah amar makruf nahi munkar yang menjadi kewajiban bagi setiap individu. Sementara, hidayah, keimanan, dan ketakwaan merupakan hak Allah swt disertai dengan ikhtiar dari masing-masing individu.

Tidak sedikit para pelaku maksiat yang kemudian sadar karena dakwah yang dibawakan oleh Gus Miftah. Bagi Gus Miftah itu sebuah kebanggaan, meskipun Beliau tidak merasa lebih baik dari pendakwah-pendakwah lainnya. Sekadar berusaha, berdoa, agar mereka diberi kesadaran dan kembali ke jalan yang telah ditunjukkan oleh Alla swt dan Rasulullah saw.

Tidak Putus Berharap

“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.’ Sesungguhnya Allah swt mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).

Sebesar apa pun dosa yang kita miliki, Rahmat Allah jauh lebih besar daripada dosa-dosa yang telah kita lakukan. Itu artinya kita tidak boleh berputus asa atas kasih sayang Tuhan. Karena, kasih sayang Allah diberikan kepada mereka ingin bertobat. Seorang pendosa yang bertobat jauh lebih baik dari seorang ‘alim yang tersesat. Kalau dalam bahasa Gus Miftah, “Pada akhirnya surga akan ditempati oleh ahli maksiat yang bertobat, bukan ahli ibadah yang merasa lebih baik tetapi kenyataannya tersesat.”

Terakhir apa yang dapat penulis dapatkan dari bincang Gus Miftah dengan Andy F Noya, pendakwah yang nyentrik ini mengatakan dalam sebuah kalimat metafor, “Mengapa kaca depan mobil lebih besar daripada kaca spion? Karena harapan masa depan kita jauh lebih besar daripada masa yang telah lalu.”

Demikianlah sebuah hikmah yang dapat dipetik dari sebuah perbincangan berkenaan dengan tema “Menuju Jalan Tuhan”. Semoga tulisan ini memenuhi barokah Tuhan sehingga ke depan kita dapat memberikan yang terbaik dengan tanpa merasa diri lebih baik dari yang lainnya. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan