Bagaimana nasib pendidikan di masa depan jika profesi guru makin tak diminati? Bagaimana nasib generasi masa depan, jika guru-guru mereka bukan orang-orang terbaik, karena yang terbaik lebih memilih profesi lain?
Hal tersebut bukan pertanyaan mengada-ada dan bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab, faktanya, guru tergolong salah satu profesi yang paling tak diminati, setidaknya di kalangan generasi Z atau Gen Z.

istilah Gen Z ini merujuk pada mereka yang lahir pada kisaran tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini disebut-sebut memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.
Tentu saja, sebab mereka adalah generasi tumbuh dalam era teknologi yang berkembang pesat. Era dan lingkungan yang membesarkan mereka adalah era dan lingkungan teknologi yang sudah demikian maju, sesuatu yang tidak dijumpai oleh generasi sebelumnya.
Saat ini, sebagian besar dari kaum Gen Z ini mulai masuk dan mendominasi dunia kerja. Dan, soal bidang kerja apa yang paling disukai, tentu Gen Z memiliki preferensi sendiri, terutama dalam pemilihan karier.
Kelas, apa 2045, Gen Z inilah yang disebut-sebut akan mengisi dan mengendalikan kepemimpinan bangsa Indonesia. Itulah era yang sejak kini disebut Indonesia Emas. Namun, faktanya, generasi yang akan memimpin Indonesia ini justru menjauhi profesi yang selama ini menjadi dasar pembangunan bangsa, yaitu guru.
Rendahnya minat Gen Z terhadap profesi guru merupakan fenomena yang mengkhawatirkan. Generasi yang diproyeksikan memimpin Indonesia di masa depan ini justru menjauhi profesi yang selama ini dianggap sebagai pilar utama pembangunan bangsa.
Karena itu, memahami persepsi Gen Z terhadap pendidikan dan profesi guru, akan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini dan membuka peluang untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Tidak sekadar mengatasi masalah kekurangan guru, melainkan juga untuk membentuk generasi pendidik yang mampu menghadapi kompleksitas abad ke-21 atau abad-abad teknologi digital. Ironisnya, bahkan di kalangan mahasiswa jurusan pendidikan, pun minat untuk menjadi guru semakin menurun. Sebuah fakta yang semakin memperkuat urgensi permasalahan ini.
Di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebuah gambaran masa depan pendidikan Indonesia mulai terlihat samar. Riset yang saya lakukan di sana mengungkap fakta bahwa 87 persen mahasiswa, yang merupakan Gen Z, tidak tertarik menjadi guru. Bahkan ketika survei juga melibatkan mahasiswa dari berbagai jurusan, trennya juga sama: mereka tak tertarik menjadi guru. Di jurusan pendidikan, justru mayoritas mahasiswa ogah menjadi guru. Padahal, mereka sedang dididik menjadi guru.
Ini Bukan sekadar angka. Fakta ini merupakan cerminan dari berbagai permasalahan yang mendalam dan kompleks.
Kenapa mereka, para mahasiswa Gen Z, tak berminat menjadi guru? Mahasiswa yang saya wawancarai mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap realita profesi guru yang jauh dari ekspektasi. Mereka menginginkan perubahan nyata, bukan hanya janji-janji semata. Temuan ini mendesak adanya intervensi segera untuk mengubah persepsi dan meningkatkan daya tarik profesi guru bagi generasi muda.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya minat mereka terhadap profesi guru adalah persepsi negatif terhadap profesi ini. Di era digital yang serba cepat dan dinamis, profesi guru seringkali dianggap kurang menarik, kurang bergengsi, bahkan “tidak keren.”
Bayangan tentang guru adalah sosok yang hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran secara monoton, dengan metode pengajaran yang konvensional dan kurang inovatif, tidak lagi menarik bagi generasi yang akrab dengan teknologi dan informasi instan. Sementara, mereka sudah terbiasa dengan pembelajaran yang interaktif, kreatif, dan berbasis teknologi, sehingga sistem pendidikan yang masih mengandalkan metode lama terasa membosankan dan ketinggalan zaman.
Padahal, kenyataannya, mengajar bukanlah sekadar menyampaikan informasi; itu adalah proses yang kompleks, melibatkan transfer pengetahuan, pembentukan karakter, dan pembangunan relasi emosional yang mendalam dengan siswa—aspek-aspek yang tak dapat digantikan oleh teknologi. Dan guru yang ideal adalah fasilitator pembelajaran, motivator, dan mentor yang mampu menginspirasi dan membimbing siswa untuk mencapai potensi terbaik mereka.
Karena itulah, persepsi tentang guru di kalangan Gen Z perlu diubah, dan citra guru sebagai profesi yang inspiratif dan berdampak besar perlu dibangun kembali.
Alasan lainnya yakni terkait faktor ekonomi. Upah guru, terutama bagi guru honorer, masih relatif rendah dan tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diemban.
Anggapan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang mudah semakin memperparah situasi ini. Generasi Z, yang cenderung pragmatis dalam memilih karier, akan cenderung menghindari profesi yang tidak menjanjikan kesejahteraan finansial yang memadai.
Ketidakmampuan guru untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, termasuk biaya pendidikan anak sendiri, menjadi penghalang bagi calon guru muda.
Kondisi ini diperburuk oleh kompleksitas sistem penggajian dan tunjangan yang seringkali tidak transparan dan rumit. Ketidakpastian finansial ini membuat profesi guru kurang menarik bagi generasi yang mementingkan stabilitas dan kepastian ekonomi. Lebih jauh lagi, kesenjangan upah antara guru dan profesi lain yang dianggap lebih “bergengsi” semakin memperkuat persepsi ini.
Tal hanya itu, bahkan sistem pendidikan Indonesia juga turut mempengaruhi persepsi Gen Z terhadap dunia pendidikan. Misalnya, pergantian kurikulum yang seringkali terjadi yang dianggap menciptakan ketidakpastian dan kesulitan dalam implementasinya.
Tekanan akademik yang tinggi, baik pada siswa maupun guru, dianggap menciptakan lingkungan kurang kondusif bagi perkembangan profesional guru dan minat generasi muda untuk bergabung dalam dunia pendidikan. Dan ketidakjelasan jalur karier dan pengembangan profesional guru juga menjadi faktor penghambat.
Rupanya, kurangnya apresiasi dari masyarakat juga menjadi faktor tak kalah penting. Gen Z, yang sangat menghargai pengakuan dan penghargaan atas kontribusi mereka, akan cenderung memilih karier yang memberikan apresiasi yang lebih memadai.
Rendahnya penghargaan terhadap profesi guru di masyarakat menciptakan citra negatif yang membuat generasi muda enggan memilihnya. Guru seringkali dianggap sebagai profesi yang kurang terhormat, dengan upah yang rendah dan beban kerja yang berat. Hal ini diperparah oleh kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru.
Saya sendiri merupakan mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Dalam pembelajaran, saya kerap kali mendapati pertanyaan mengenai perencanaan karier pasca-studi. Mirisnya , meskipun berada di lingkungan akademik yang erat kaitannya dengan profesi kependidikan, sebagian besar rekan sejawat saya menyatakan kurang tertarik untuk menjadi guru. Beberapa di antaranya mengungkapkan bahwa beban kerja yang tinggi tidak sebanding dengan imbalan yang diterima.
Sebagai kesimpulan, rendahnya minat Gen Z terhadap profesi guru merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh kombinasi faktor ekonomi, sistem pendidikan, apresiasi sosial, dan keseimbangan hidup. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengatasi tantangan ini melalui berbagai strategi yang komprehensif. Peningkatan kesejahteraan guru, inovasi dalam sistem pendidikan, peningkatan apresiasi sosial, dan penciptaan lingkungan kerja yang lebih mendukung keseimbangan hidup merupakan langkah-langkah penting yang perlu segera diambil untuk memastikan tersedianya guru-guru berkualitas yang mampu membimbing generasi penerus bangsa.
Hanya dengan demikian, Indonesia dapat mewujudkan visi pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan, dan memastikan bahwa profesi guru kembali menjadi pilihan karier yang menarik dan prestisius bagi generasi muda dari orang-orang terbaik.