Dinamika pasang dan surut adalah hal yang umum ditemukan dalam sejarah peradaban manusia. Ada masa ketika kita menyaksikan puncak peradaban yang dipenuhi karya intelektual dan material yang mengesankan. Namun, dalam beberapa kesempatan berikutnya, perkembangan tersebut justru cenderung menurun.
Alih-alih sebagai motivasi untuk menuju puncak kejayaan yang lebih tinggi, sejarah puncak peradaban ini justru menjadi bahan kebanggaan untuk mengenang masa lalu dan justru melalaikan potensi untuk terus maju.

Syekh Mustofa Al Ghulayaini dan Oswand Spengler memiliki kaca mata menarik dalam melihat fenomena ini. Meskipun berangkat dari latar belakang berbeda, dua pemikir Islam dan Barat ini memiliki titik temu dalam aspek “ghurur” -penipuan diri- sebagai maslah krusial dalam kemerosotan budaya dan peradaban.
Spengler: Siklus Hidup dan Kematian Budaya
Spengler melihat sejarah sebagai rentetan kebudayaan yang terpisah dengan ketentuan dan semangat batin yang berbeda. Ia mengajukan tesis yang sedikit kontroversial berkenaan dengan kebudayaan.
Dalam bukunya, The Decline of The West (1918), kebudayaan digambarkan seperti organisme hidup yang mengalami fase kelahiran, pertumbuhan, kematangan, dan berujung kematian. Bahkan, ia menolak pandangan bahwa peradaban universal sebagai muara pandangan linier tentang sejarah.
Menurut Spengler, permulaan kemerosotan peradaban berawal dari Civilization –fase yang berangkat dari hilangnya urgensi spiritual, rasionalisme berlebihan, materialisme, dan ekspansi perkotaan. Keadaan ini berimplikasi pada replikasi dan konsumsi yang tinggi sehingga inovasi semakin merosot.
Jebakan ilusi kemajuan teknologi dan material ini pada dasarnya adalah bagian dari tanda kemunduran spiritual dan budaya yang tidak disadari. Ilusi atau yang bisa disebut dengan “ghurur” ini membubuh budaya dengan menihilkan akar spiritual dan esensi budaya.
Al Ghulayaini: Ghurur dan Keterpurukan Umat.
Syekh Mustofa al Ghulayaini dikenal sebagai pemikir dan sastrawan ulung dari Suriah yang gemar mengkritik umat Islam pada zamannya. Dengan cara pandang yang berbeda dari Spengler, al Ghulayaini menekankan kritiknya pada parasit internal yang menjangkiti umat Islam dan menyebabkan kemunduran.