Furoda dan Fatamorgana Kesalehan Instan

36 views

Di tengah padang pasir modernitas yang tandus akan keteladanan spiritual, manusia justru semakin haus akan citra kesalehan. Ibadah yang sejatinya menjadi bentuk ketundukan total kepada Ilahi, perlahan digeser menjadi ajang pencitraan dan perlombaan status sosial.

Salah satu contoh paling aktual dari pergeseran itu adalah maraknya fenomena haji furoda, yaitu jalur cepat menuju Tanah Suci yang kini justru menjadi fatamorgana kesalehan instan.

Advertisements

Haji furoda, secara sederhana, adalah keberangkatan haji menggunakan visa mujamalah atau undangan khusus dari Pemerintah Arab Saudi, tanpa melalui kuota resmi Kementerian Agama Republik Indonesia. Jalur ini memang sah menurut hukum Saudi, tetapi tidak diakui sebagai jalur resmi dalam sistem perhajian nasional, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Kementerian Agama telah berkali-kali mengingatkan bahwa jamaah haji non-kuota (furoda) tidak dijamin keabsahan dan keamanannya, karena tidak dalam tanggung jawab negara. Namun, tetap saja banyak masyarakat tergiur, utamanya karena imajinasi spiritual yang dikemas dalam kemewahan dan kecepatan.

Alih-alih menunggu 20 tahun dalam antrean haji reguler, orang-orang kaya dan yang ingin tampak religius, lebih memilih membayar hingga Rp 300 juta–Rp 500 juta demi satu kursi furoda. Namun sayang, sebagaimana fatamorgana di tengah padang pasir, apa yang tampak seolah-olah mendekat pada kesempurnaan justru menjauhkan dari makna sejati ibadah.
Di sinilah kita menemukan krisis makna.

Haji bukan lagi sekadar ibadah, melainkan juga simbol sosial. Gelar “Pak Haji” atau “Bu Hajjah” sering dianggap sebagai predikat mulia yang pantas disematkan dalam kartu nama, undangan, bahkan baliho. Inilah yang disebut oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin sebagai riya’ yang tersembunyi, dengan melakukan amal karena ingin dipandang baik oleh manusia, bukan oleh Allah.

Jika niat haji telah dikotori oleh hasrat untuk eksis di mata manusia, apalagi jika jalurnya dipaksakan secara ilegal atau tak sah secara administrasi, maka di manakah letak mabrurnya ibadah itu?

Kesalehan itu, sejatinya, tidak bisa didapat secara instan. Seperti tanaman, ia butuh waktu tumbuh, disiram, dipupuk, dan dipelihara dari akar hingga buah. Antrean panjang haji selama puluhan tahun bukanlah siksaan, tapi ujian kesabaran yang justru menjadi bagian dari ibadah itu sendiri.

Namun sayangnya, budaya instan telah meracuni cara umat Islam memaknai ibadah. Orang lebih tertarik pada hasil ketimbang proses, lebih mencintai pencitraan ketimbang penghayatan. Bahkan spiritualitas pun tak luput dari logika “bypass” ala dunia modern.
Mereka yang menempuh jalur furoda tanpa memahami aspek hukum dan syariat, hanya karena ingin segera berhaji dan mendapat gelar, sejatinya sedang mengejar fatamorgana kesalehan yang tampak religius di mata manusia, tetapi mungkin tertolak di hadapan Allah.

Allah SWT berfirman:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

Artinya: “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu109) mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Ayat ini menyebut istitha’ah kemampuan. Tapi apakah “mampu” hanya sebatas bisa membayar mahal? Tentu tidak. Mampu juga berarti legal, aman, dan sah menurut syariat dan sistem. Jika seseorang berangkat haji tanpa kejelasan status hukum, dengan risiko ditolak atau dideportasi, lalu niat dan proses ibadah itu terganggu, maka ibadah itu justru kehilangan nilai esensialnya.

Santri memiliki tugas moral untuk menjaga kemurnian makna ibadah. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang menawarkan kesalehan instan, santri harus menjadi penyeimbang dengan mengajarkan bahwa ibadah tidak sekadar tampilan, tetapi mujahadah (perjuangan batin).

Santri harus berani bersuara bahwa tidak semua yang cepat itu baik, dan tidak semua yang mahal itu sah. Bahwa kesalehan tidak dibentuk oleh visa, biaya, atau gelar, tapi oleh niat yang lurus, proses yang syar’i, dan hasil yang berkah.

Fenomena haji furoda bukan hanya soal hukum, tapi juga cermin dari mentalitas umat Islam hari ini. Kita sedang dikepung oleh budaya instan, yang membuat kesalehan pun menjadi komoditas.
Maka marilah kita kembali merenungi bahwa haji bukan sekadar pergi ke Mekkah, melainkan perjalanan batin menuju keikhlasan tertinggi. Jika jalannya salah, niatnya kabur, dan prosesnya memaksa, maka hasilnya bukan mabrur melainkan mungkin justru murka.

Di tengah fatamorgana kesalehan instan, semoga kita masih diberi kemampuan untuk membedakan mana air sungguhan, dan mana hanya ilusi di padang pasir.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan