Furoda dan Fatamorgana Kesalehan Instan

35 views

Di tengah padang pasir modernitas yang tandus akan keteladanan spiritual, manusia justru semakin haus akan citra kesalehan. Ibadah yang sejatinya menjadi bentuk ketundukan total kepada Ilahi, perlahan digeser menjadi ajang pencitraan dan perlombaan status sosial.

Salah satu contoh paling aktual dari pergeseran itu adalah maraknya fenomena haji furoda, yaitu jalur cepat menuju Tanah Suci yang kini justru menjadi fatamorgana kesalehan instan.

Advertisements

Haji furoda, secara sederhana, adalah keberangkatan haji menggunakan visa mujamalah atau undangan khusus dari Pemerintah Arab Saudi, tanpa melalui kuota resmi Kementerian Agama Republik Indonesia. Jalur ini memang sah menurut hukum Saudi, tetapi tidak diakui sebagai jalur resmi dalam sistem perhajian nasional, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Kementerian Agama telah berkali-kali mengingatkan bahwa jamaah haji non-kuota (furoda) tidak dijamin keabsahan dan keamanannya, karena tidak dalam tanggung jawab negara. Namun, tetap saja banyak masyarakat tergiur, utamanya karena imajinasi spiritual yang dikemas dalam kemewahan dan kecepatan.

Alih-alih menunggu 20 tahun dalam antrean haji reguler, orang-orang kaya dan yang ingin tampak religius, lebih memilih membayar hingga Rp 300 juta–Rp 500 juta demi satu kursi furoda. Namun sayang, sebagaimana fatamorgana di tengah padang pasir, apa yang tampak seolah-olah mendekat pada kesempurnaan justru menjauhkan dari makna sejati ibadah.
Di sinilah kita menemukan krisis makna.

Haji bukan lagi sekadar ibadah, melainkan juga simbol sosial. Gelar “Pak Haji” atau “Bu Hajjah” sering dianggap sebagai predikat mulia yang pantas disematkan dalam kartu nama, undangan, bahkan baliho. Inilah yang disebut oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin sebagai riya’ yang tersembunyi, dengan melakukan amal karena ingin dipandang baik oleh manusia, bukan oleh Allah.

Jika niat haji telah dikotori oleh hasrat untuk eksis di mata manusia, apalagi jika jalurnya dipaksakan secara ilegal atau tak sah secara administrasi, maka di manakah letak mabrurnya ibadah itu?

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan