Firaun Itu Orang Saleh, Lho…

780 kali dibaca

Judul tulisan ini disandarkan pada pandangan Ibnu ‘Arabi. Jika ulama setingkat Ibnu ‘Arabi mengatakan Firaun bagus, maka siapa yang akan meragukannya? Yang jelas banyak. Tidak hanya meragukan. Tapi, juga mempersoalkan kebenarannya. Sebab, sekian ratus ulama mengatakan bahwa Firaun itu bejat. Al-Qur’an sendiri secara literal mengatakan bahwa penguasa Mesir itu adalah pembuat kerusakan.

Hakikatnya itu hanya soal sudut pandang. Jika memakai pandangan amrut taklifi atau syariat, jelas Firaun adalah orang lalim di jalan maksiat. Namun, jika yang digunakan sudut pandang amrut takwini, seperti yang digunakan Ibnu ‘Arabi, maka tidak boleh tidak si Ramses itu adalah manusia taat yang berkhidmah di jalan maksiat.

Advertisements

Amrut Takwini

Menurut Ibnu ‘Arabi, aturan kehidupan ini ada dua. Yang pertama amrut takwini yang menampung dua hal: masyiah ilahiyah dan al a’yan tsabitah. Kita sepakat bahwa tidak ada satu pun detak jantung yang berkibar di hati makhluk di muka bumi ini yang lepas dari kehendak Allah. Apalagi soal-soal seperti kebaikan-kemaksiatan, keislaman-kekafiran, dan lain sebagainya. Jelas semuanya memang kehendak Allah. Setan saja, makhluk superstar sepanjang zaman karena kejelekannya, merupakan kehendak Allah, apalagi hanya Firaun yang masanya cukup sebentar.

Kita tidak mengingkari bahwa semua sosok yang jahat memang dikehendaki oleh Allah untuk hadir di muka bumi ini. Maka, akibatnya fatal kalau kita mengira ada kekuatan lain yang menggerakkan kejahatan. Setan itu bukan lawan Allah. Ia lawan manusia. Setan itu makhluk yang segala denyar kehendak dan kekuatannya berada di tangan Allah. Begitu juga Firaun. Jadi, segala kejahatan yang dilakukan Firaun adalah bentuk ketaatan terhadap kehendak Allah sendiri. Makanya dia dianggap manusia taat di jalan maksiat.

Lho, kok bisa disebut maksiat?

Hal itu diteropong dari kacamata syariat. Andaikata tidak diteropong dengan syariat, maka tidak ada namanya keburukan. Semua baik. Sebab, segala hal hakikatnya adalah baik sebab ia berasal dari al a’yan atstabitah alias berasal dari diri Allah. Ini juga tidak boleh kita ingkari bahwa semua kehendak Allah adalah baik dan pasti baik. Termasuk kehendak mencipta Firaun yang kita anggap lalim tersebut.

Masuk Surga

Kalau Firaun itu orang saleh, berarti dia akan masuk surga. Jelas, kata Ibnu ‘Arabi. Tetapi surganya beraneka ragam sesuai dengan kadar bentuk kesalehan yang mereka lakukan. Jika diandaikan secara sederhana, kelak akan ada surga bagi orang saleh versi syariat dan juga surga khusus bagi mereka yang saleh karena istikamah di jalan maksiat. Sebab, betapa pun secara syariat setan itu adalah makhluk terkutuk, namun tanpa setan, maka syariat akan sangat kurang berfungsi.

Taufik el-Hakim membuat cerita imajinatif tentang setan yang ingin pensiun sebab jenuh dilaknat manusia. Dia pun mendatangi ulama untuk bertobat. Ulama tak mau. Sebab, jika setan pensiun, siapa lagi yang akan menggoda manusia ke jalan kejelekan. Manusia akan bagus semuanya. Kitab suci akan kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk kebenaran. Ulama juga akan kehilangan perannya sebagai penyampai kebenaran.

Jadi, betapa terkutuknya setan, dia memiliki peran penting atas suksesnya fungsi syariat. Itu terjadi karena akting setan semata mengikuti skenerio yang dibikin Allah. Begitu pun keburukan yang dibuat Firaun.

Kontroversi

Pandangan Ibnu ‘Arabi yang demikian memang kontroversial karena bertabrakan dengan pakem pemahaman dan keyakinan banyak ulama. Juga dianggap berbahaya. Sebab, jika pelaku kemaksiatan dianggap saleh karena tindakannya adalah bentuk kepatuhan pada amrut takwini dan masyiah ilahiah, maka ia akan menegasikan atau memarginalkan fungsi syariat sebagai aturan penting dalam kehidupan beragama.

Saya kira ini hanya persoalan perspektif saja. Ibnu ‘Arabi, yang berbasis tasawuf, memandangnya dari sisi sufistik. Maka pandangannya tidak bisa dibenturkan dengan syariat. Harus dilihat dari perspektif sufistik juga. Jika tidak, maka akan muncul beragam label negatif pada pada syaikhul akbar tersebut. Bahkan, bisa-bisa melahirkan eksekusi bagi orang yang berpandangan demikian sebagaimana yang dulu pernah terjadi pada al-Hallaj atau Siti Jenar.

Pandangan sufistik yang demikian juga memiliki sisi kebenaran yang penting diakui sebagai bentuk toleransi dan kelapanga dada agar tidak mudah merendahkan orang sebab kejahatan yang dia lakukan, juga agar tidak merasa lebih suci dari jenis manusia demikian. Bahwa aturan syariat harus ditegakkan bagi orang demikian, dipersilakan. Tapi, menganggap diri ini lebih saleh dari mereka, ya, jangan. Sebab, kata Imam Qusyairi, siapa pun yang merasa lebih suci dari Firaun maka pastilah dia orang sombong.

Kalau sombong, berarti sama terlaknatnya dengan iblis yang berkata ana khairun minhu khalaqtani min nar atau selevel dengan Firaun sendiri saat mendeklarasikan diri ana rabbukumul a’la. Namun, sekali lagi, orang sombong itu terlaknat dari amrut taklifi dan saleh dari sudut pandang amrut takwini. Maka, jika ada orang mengatakan orang lain itu Firaun, jika dia merasa lebih suci, maka dia adalah orang saleh dari sisi amrut takwini. Jika yang dituduh itu betul-betul seperti Firaun, misalnya, dia pun saleh dari perspektif serupa. Jadi, itu pentingnya ilmu sufistik. Anti ribut.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan