Filsafat Kurban: Tafsir Sunyi Seorang Santri

196 views

Di pondok pesantren, hari-hari besar Islam sering kali datang bukan sebagai pesta, tapi jeda kontemplatif. Termasuk Idul Adha. Di pagi hari raya, takbir menggema dari surau kecil yang dindingnya mulai retak. Santri-santri berjalan ke lapangan sambil membawa parang, bukan untuk berperang, tapi untuk menyembelih. Bukan hanya hewan ternak, tapi juga hasrat, ego, dan keterikatan yang selama ini diam-diam tumbuh dalam diri.

Idul Adha, dalam terang filsafat, adalah pertanyaan: apa arti menjadi manusia dalam relasinya dengan Tuhan? Dan santri, dengan kehidupan sunyinya, seolah menjadi jawaban yang berjalan pelan—tanpa sorotan, tanpa seremonial.

Advertisements

Iman dan Absurditas

Bagi para pemikir eksistensialis seperti Kierkegaard, kisah Nabi Ibrahim bukan sekadar cerita iman biasa. Ia adalah “teleological suspension of the ethical”, ketika etika umum digantung demi ketaatan mutlak kepada yang Ilahi. Ibrahim diminta menyembelih Ismail, anaknya. Bukan karena Tuhan tidak tahu betapa cintanya Ibrahim, tapi karena iman sejati lahir ketika cinta duniawi ditanggalkan demi cinta transenden.

Ini bukan hanya soal pisau dan leher anak. Ini soal keputusan paling radikal dalam sejarah spiritualitas manusia: tunduk kepada yang tak masuk akal, demi keyakinan yang tak tergoyahkan.

Di pesantren, santri pun sering berada dalam dilema semacam ini. Mereka meninggalkan rumah, menggantung ambisi duniawi, mengaji kitab-kitab yang bahkan tidak menjanjikan popularitas. Semua itu dilakukan bukan karena pasti, tetapi karena yakin. Mereka tidak hidup dalam kepastian, tapi dalam iman.

Kurban Eksistensial

Apa yang dikurbankan oleh santri?

Barangkali bukan domba. Bukan sapi. Tapi masa mudanya, pilihan hidupnya, bahkan kadang masa depannya. Ia mengurbankan kenyamanan demi makna. Memilih diam, di saat dunia berisik tentang pencapaian. Memilih belajar yang tak populer, di saat semua orang mengejar viralitas.

Filsuf Prancis, Albert Camus, pernah berkata: “To live is to revolt.” Tapi santri justru menjawab: “To live is to surrender.” Bukan dalam arti pasrah kalah, tapi menyerahkan kehendak kepada sesuatu yang lebih agung—seperti Ibrahim menyerahkan Ismail-nya, dan seperti Ismail menyerahkan dirinya.

Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan. Bagi santri, ia adalah ajakan untuk kembali menafsir: sejauh mana hidup ini telah diberi makna? Apakah kita masih menjadi hamba, atau diam-diam telah menjadi tuan atas diri sendiri?

Di sela-sela penyembelihan, ketika darah menetes dan daging dibungkus, ada ruang sunyi di mana para santri merenung. Tak banyak yang mereka katakan, tapi dalam hati mereka tahu: kurban sejati adalah ketika kita berani menyerahkan sesuatu yang paling kita cintai, kepada Zat yang mencintai kita tanpa syarat.

Filsafat modern sering membanggakan kebebasan berpikir, otonomi manusia, dan eksistensi yang absurd. Tapi Idul Adha mengajarkan hal yang lebih tua, lebih dalam: bahwa ketundukan bukan kebodohan, tapi puncak dari kesadaran terdalam manusia, ketika ia mengakui bahwa dirinya tidak sepenuhnya milik dirinya sendiri.

Dan di situlah santri hidup. Di antara pertanyaan-pertanyaan besar, di antara kitab kuning dan sujud malam, mereka belajar menjadi manusia yang tidak ingin menguasai, tetapi bersedia dilepaskan.

Seperti Ibrahim. Seperti Ismail. Seperti kurban yang tak selalu berdarah, tapi selalu menyisakan bekas di jiwa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan