Filsafat Ilmu Nahu, Ilmu Keislaman yang Hampir Hilang

[jp_post_view]

Salah satu tema yang menarik dikaji terkait ilmu nahu adalah sumber-sumber rujukan kaidah ilmu nahu atau yang dikenal dengan fan Ushul an-Nahwi. Tapi mirisnya, fan ini kurang diminati oleh santri atau para akademisi. Terbukti, sedikit sekali –untuk tidak mengatakan tidak ada— pondok pesantren bahkan perguruan tinggi yang menyinggung soal fan ini.

Sejauh pengalaman saya di dua pondok tempat saya belajar ilmu keislaman, tak pernah ketemu dengan materi ini. Aneh dan sungguh aneh. Padahal, menurut saya, ilmu ini penting untuk dipelajari. Meskipun demikian, dalam pembelajaran, tentu ilmu nahu tetap harus di dahulukan daripada ilmu ushul an-nahwi. Hal ini karena ilmu nahu tetap menjadi wasilah pertama untuk membantu membaca kitab.

Advertisements

Karena itu, dalam artikel ini saya tertarik dan ingin membahas seputar fan ilmu ini. Saya ingin mengenalkan dan menjelaskan bahwa fan ini sangat penting untuk dikenal dan dipelajari. Artinya, yang penting dipelajari bukan hanya ilmu nahu, melainkan ilmu dasarnya nahu. Bukankah tambah baik jika mempelajari ilmu nahu dan ushul an-nahwi? Bukankah ilmu nahu yang telah dipelajari tambah kokoh jika ditopang dengan ilmu ushulnya? Kalau bisa mempelajari kedua-duanya, kenapa harus mempelajari nahunya saja?  Mari masuk pada pembahasan intinya.

Secara umum, sebagaimana fikih merupakan produknya ilmu ushul fikih, maka sama, bahwa ilmu nahu merupakan hasil produk ilmu ushul an-nahwi. Dengan demikian, bisa dikatakan, jika ilmu ushul fikih disebut sebagai ilmu filsafat hukum Islam, maka tak ada bedanya bahwa ilmu ushul an-nahwi merupakan filsafat ilmu nahu.

Selain itu, poin pembahasannya juga tidak jauh berbeda dengan poin pembahasan ilmu ushul fikih. Jika dalam ilmu ushul fikih berbicara soal dalil-dalil umum yang bisa dijadikan pijakan hukum, maka dalam ilmu ushul an-nahwi juga sama.

Jika salah satu objek kajiannya ushul fikih adalah soal Al-Qur’an, hadis Nabi, konsensus ulama (ijma), qiyas, ishtishab, dan dalil-dalil lainnya, dari segi apakah bisa dijadikan dalil atau tidak dalam menetapkan hukum Islam, maka dalam ilmu ushul nahu, Al-Qur’an dan dalil-dalil lainnya menjadi objek kajiannya juga. Tapi, dari segi apakah bisa dijadikan dalil atau tidak dalam membuat kaidah-kaidah nahu. Dengan kata lain,  jika dalam ushul fikih ada pembahasan khusus seluruh ulama mujtahid, maka dalam ilmu ushul nahu juga ada pembahasan yang berkaitan dengan konsensus ulama nahu, yaitu ulama Bashrah dan Kufah. (Ushul Nahwi Jamiah al-Madinah).

Pertanyaannya adalah, kenapa saya selalu membandingkan ilmu ushul an-nahwi dengan ilmu ushul fikih? Maka jawabannya karena ilmu ushul an-nahwi diadopsi dari ilmu ushul fikih, mulai dari segi sistem pembahasannya bahkan definisinya. Tentu ada perubahan yang disebabkan perbedaan sudut pandang terhadap dalil tersebut. Adapun, definisi ilmu ushul an-nahwi adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam as-Suyuti dalam kitab al-Iqtirah fi Ushul an-Nahwi:

أصول النحو علم يُبحث فيه عن أدلة النحو الإجمالية من حيث هي أدلته، وكيفية الاستدلال بها، وحال المستدل

Artinya: “Ushul an-Nahwi adalah ilmu yang membahas dalil-dalil umum (universal) ilmu nahu dari segi ia menjadi dalil, tata cara berdalil dengan dalil tersebut, dan keadaannya (kreteria) orang yang berdalil (para ulama ushul nahu).”

Dari definisi ini, kemudian as-Suyuti melanjutkan bahwa objek kajiannya ilmu ushul an-nahwi ada tiga poin. Pertama, mengkaji dalil-dalil universal seperti Al-Qur’an dan lain-lainnya. Kedua, mengkaji soal tata cara berdalil dengan dalil-dalil tersebut. Ketiga, mengkaji soal syarat-syarat dan kriteria ulamanya.

Sementara dalil-dalil yang bisa dijadikan sandaran dalam menetapkan kaidah nahu, ulama berbeda pendapat. Tetapi, menurut Imam as-Suyuti, dalil yang lumrah ada empat. Sementara menurut Imam Ibnu al-Jinni –murid Imam Sibawaihih— dalam kitab al-Khashaish ada tiga, yaitu dalil naqli, ijma ulama nahu, dan qiyas. Berbeda dengan al-Jinni, Ibnu al-Anbari –ulama generasi stelah al-Jinni—mengatakan ada tiga dengan menambah dalil ishtishab dan tidak menganggap ijmak. Pendapat Ini selaras dengan pendapat yang dianut oleh sebagian ulama lainnya.

Tapi sayangnya, ternyata apa yang dikatakan oleh Imam as-Suyuti terkait pendapatnya al-Anbari keliru. Karena, pada kenyataannya, al-Anbari menerima ijmak sebagai salah satu dalil universal ilmu nahu. Hal ini sebagaimana yang dikonfirmasikan oleh Dr Ahmad Muhammad Qasim ketika men-tahqiq kitab al-Iqtirah fi Ushul an-Nahwi karya as-Suyuti. Menurutnya (Dr Ahmad), “Sebenaranya al-Anbari dalam kitabnya Luma’ al-Adillah menganggap ijmak sebagai dalil universal.” (Ushul Nahwi Jamiah al-Madinah).

Pertanyaan berikutnya adalah kenapa saya menyinggung soal dalil universal? Jawabannya adalah karena dalil yang bersifat universal (al-Adillah al-Ijmmaliyah) berbeda dengan dalil yang bersifat terperinci (Adillah at-Tafshiliyah). Artinya, objek kajiannya ulama nahu berbeda dengan objek kajian ulama ilmu ushul an-nahwi. Keduanya memilki titik fokus atau bidang yang berbeda.

Dengan demikian, sebagai contoh dalil universal, Al-Qur’an apakah bisa dijadikan hujjah atau tidak, merupakan pembahasannya ulama ushul an-nahwi. Sementara, dalil yang bersifat terperinci, menjadi objek pembahasannya ulama nahu, seperti kaidah nahu yang berbunyi:

‌الضمير ‌الواقع ‌فى ‌محل ‌جر بحرف الجر لا يصح العطف عليه إلا بتكرار حرف الجر

Artinya: “Dlamir (muttashil) yang kedudukannya jar gara-gara kemasukan huruf jar tak bisa dijadikan Ma’thuf Alih, kecuali jika ada pengulangan huruf jar dilafadz ma’thufnya (lafadz yang diikutkan pada lafadz sebelumnya dengan menggunakan perangkat huruf athaf).” (at-Tibyan fi Qawaid an-Nahwi Wa Taqwim al-Lisan).

Pertanyaan terakhir adalah apa faedahnya mempelajari fan ilmu ini? Kenapa harus belajar ushul an-nahwi? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam as-Suyuti:

وفائدته التعويل في إثبات الحكم على الحجة والتعليل والارتفاع عن حضيض التقليد إلى يفاع الاطلاع على الديل، فإن المخلد إلى التقليد لا يعرف وجه الخطأ من الصواب، ولاينفك في أكثر الأمر عن عوارض الشك والارتياب

Artinya: “Fasdahnya mempelajari ilmu ushul nahwi adalah membantu menghadirkan hujjah, alasan yang kuat dalam menetapkan sebuah hukum; menghilangkan kebiasaan taqlid menuju pengetahuan yang tinggi. Karena orang yang selalu taqlid tidak mampu untuk membedakan antara yang salah dan yang benar dan selalu berada dalam keraguan.” (al-Iqtirah fi Ushul an-Nahwi).

Terakhir, saya ingin mengenalkan beberapa nama kitab yang khusus membahas seputar ilmu ushul nahu. Di antaranya adalah kitab al-Iqtirah fi Ushul an-Nahwi karya Imam as-Suyuti, kitab (Ushul NahwiJamiah al-Madinah (dua jilid) disusun oleh Jamiah al-Madinah al-Alimiyah, kitab Luma’ al-Adillah karya Abu al-Barakat al-Anbari dan kitab al-Khashaish kepunyaan Imam Ibnu al-Jinni.

Semoga tulusan ini bermanfaat. Aamiin. Fa al-Yata’ammal.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan