Disadari atau tidak, sebenarnya menempuh metode yang benar dan tepat dalam belajar adalah sangat penting. Kenapa penting? Agar para pelajar tidak terjerumus pada problem mengomsumsi materi pelajaran yang bukan waktunya. Akibatnya akan mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa “Tidak ada kitab yang sulit untuk dipelajari.” Dari ungkapan ini, bisa dikatakan, jika terjadi kesulitan dalam proses belajar, maka sebenarnya kita sedang menempuh metode yang kurang tepat.

Tapi, saya kira ungkapan tersebut kurang tepat. Sebab, pada realitanya, ada beberapa kitab yang disusun oleh penulisnya dengan bahasa yang cukup sulit.
Terlepas dari pernyataan tersebut, saya ulangi, bahwa menempuh metode pembelajaran yang tepat sangat penting, seperti metode graduasi atau mendahulukan dalam mempelajari materi yang semestinya didahulukan, dan sebaliknya.
Yang menarik adalah ketika dihadapkan dengan dua fan ilmu yang sangat berkaitan. Seperti hubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu fikih. Secara umum, memang ilmu fikih merupakan produk daripada ilmu ushul fikih. Sehingga, karena ushul fikih merupakan sumber dasar daripada ilmu fikih, maka dalam mempelajari ushul fikih lebih didahulukan daripada ilmu fikih.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar seperti itu? Atau jangan-jangan mempelajari ilmu fikih bisa didahulukan dari ilmu ushul fikih? Atau memang harus sebaliknya?
Maka, kalau melihat pendapat dan arahan para ulama terkait hal ini, sebenarnya mereka masih berbeda pendapat.
Jika mengikuti arahan dari al-Qadhi Abu Ya’la -ulama mazhab Hambali–, mempelajari ilmu fikih didahulukan daripada mempelajari ilmu ushul fikih. Ini sebagaimana yang beliau kemukakan saat memberikan pengantar di salah satu kitabnya, al-Uddah Fi Ushul Fiqh. Dalam pengantar kitab ushul fikihnya ini, beliau berdawuh sebagaimana berikut:
ولا يجوز أن تعلم هذه الأصول قبل النظر في الفروع؛ لأن من لم يعتد طرق الفروع والتصرف فيها، لا يمكنه الوقوف على ما يبتغي بهذه الأصول من الاستدلال والتصرف في وجوه القياس والمواضع التي يقصد بالكلام إليها
Artinya: “Tidak boleh mempelajari ilmu ushul (fikih) ini sebelum melihat furunya (ilmu fikih). Hal ini karena orang yang menganggap (mempelajari) furu dan berinteraksi dengannya, maka ia tak mungkin untuk mengetahui hal-hal yang semestinya diketahui dalam ilmu ushul fikih, berupa cara istidlal dan interaksi dengan bebagai aspek qiyas dan poin-poin pembahasan lainnya yang menjadi objek kajiannya ilmu ushul fikih.”
Dari penjelasan tersebut, kita bisa membaca dan memahami bahwa beliau menganjurkan untuk mempelajari ilmu fikih daripada ilmu ushul fikih. Pendapat ini diperkuat oleh pen-tahqiq kitabnya, yaitu Dr Ahmad bin Ali al-Mubaraki. Menurutnya, apa yang dipahami dari ibarat di atas merupakan pendapatnya mushannif.
Berbeda dengan pendapat di atas, yaitu pendapatnya Imam Ibnu Uqail. Menurut beliau, yang mesti didahulukan antara keduanya adalah mempelajari ilmu ushul fikih. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Alaa’ ad-Din al-Mardawi dalam kitabnya Tahrir al-Manqul –kitab mukhtashar (ringkasan) ilmu ushul fikih mazhab Hambali— sebagaimana berikut:
فَيجب تَقْدِيم مَعْرفَتهَا على الْفُرُوع عِنْد ابْن عقيل، وَابْن الْبَنَّا وَجمع .مِنْهُم: القَاضِي عبد الْجَبَّار المعتزلي، وَغَيرهم، ليتَمَكَّن بهَا من معرفَة الْفُرُوع
Artinya: “Wajib mendahulukan dalam mengetahui (mempelajari) ilmu ushul fikih daripada ilmu furu’ (ilmu fikih) menurut Ibnu Uqail, Ibnu al-Bnna dan sekelompok ulama. Di antaranya adalah Imam al-Qadhi abdu al-Jabbar (ulama Mu’tazilah) dan ulama-ulama lainnya. Hal ini agar mampu mengetahui ilmu fikih secara holistik dengan bantuan ilmu ushul fikih.”
Secara objektif, dan terlepas dari dua pendapat ulama yang berbeda di atas, ternyata beliau punya pandangan yang berbeda. Menurut al-Mardawi, saat men-syarh kitabnya sendiri (Tahrir al-Manqul) yang kemudian diberi nama dengan at-Tahbir Syarah at-Tahrir, semestinya, di samping belajar ilmu ushul fikih, juga mempelajari sebagian ilmu fikih. Hal ini sebagaimana penegasan langsung dari beliau:
قلت: الَّذِي يظْهر أَنه لَا بُد للأصولي من معرفَة بعض الْفِقْه، وَلَا يُمكن معرفَة الْفِقْه على الْحَقِيقَة إِلَّا بِمَعْرِفَة الْأُصُول
Arinya: “Menurut saya, semestinya bagi seorang ushuli (orang yang mau fokus beljar ushul fikih) juga harus mengetahui (mempelajari) ilmu fikih meskipun sebagian. Selain itu, bagi siapapun tidak mungkin mengetahui ilmu fikih dengan secara mendalam kecuali dengan mengetahui ilmu ushul fikih.”
Sampai di sini, sudah ada gambaran jelas bahwa sebenarnya pendapat ini merupakan pendapat yang moderat. Pendapat yang mengambil jalan tengah di antara dua pendapat di atas. Artinya, dalam aspek pengaplikasiannya, di samping “mempelajari ilmu ushul fikih, dalam waktu yang sama juga mempelajari ilmu fikih.” Karena kedua dua fan ilmu ini memang sangat berkaitan. Dan, berdasarkan pengalaman saya, setalah masuk ke perkuliahan Ma’had Aly Situbondo –yang jurusannya adalah fikih dan ushul fikih dengan takhasshush maqashid syariah— saya lebih cendrung dan setuju terhadap apa yang dikatakan oleh al-Mardawi. Dan ini, sependek pengetahuan saya, sudah agak banyak diterapkan di beberapa pondok pesantren dan perguruan tinggi yang membuka jurusan fikih dan ushul fikih, termasuk pondok di mana saya belajar sampai hari ini.
Sebagai penutup dari artikel ini, saya ingin mengutip pernyataan Dr Ahmad Nabawi –anggota tenaga pengajar di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir— dalam kitabnya Manhajiyah at-Ta’allum: “Bahwa belajarmu di instansi atau universitas tertentu tidak bisa membuatmu alim jika tidak menempuh metode pembelajaran yang tepat.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Aamiin. Ta’ammal!