Feodalisme Pesantren yang Dirindukan

168 views

Dalam derasnya arus modernisasi dan liberalisasi keilmuan, sebagian kalangan ada yang mengkritisi budaya pesantren yang sarat dengan penghormatan kepada para kiai. Sebagian dari mereka bahkan menyebut bahwa sikap takzim (penghormatan mendalam) kepada kiai merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan.

Tentu, klaim tersebut tidak hanya ahistoris, tetapi juga gagal memahami makna filosofis, religius, dan metodologis dari sikap takzim dalam konteks pesantren dan tradisi keilmuan yang ada pada Islam. Hal ini dialami oleh penulis saat scroll media sosial (reel Instagram) yang memperlihatkan video bernuansa kritik atas sikap takzim kepada kiai.

Advertisements

Sebelum memaparkan siapa, apa, dan bagaimana video reel Instagram yang lewat tersebut memancing tulisan ini, penulis akan menekankan bahwa tulisan ini bukan sebuah bentuk adu domba antara kaum sarungan, kaum progresif, dengan pemilik akun tersebut, melainkan sebagai refleksi atas fenomena yang terjadi.

Mari kita bedah reel tersebut. Video tersebut diunggah pada 8 Mei 2025 oleh akun Instagram kegoblogan_kocak.

Ada dua video landscape yang dijadikan dalam satu frame atas dan bawah yang memperlihatkan seorang kiai dan nyai (istri seorang kiai) sedang berjalan di tengah muridnya (santri-santrinya). Saat kedua tokoh tersebut berjalan, para santrinya menunduk dan terdapat overlay teks “Raja pesantren NU” dan “Ratu pesantren NU”.

Dengan caption “kalah deh queen ellyzabeth”, menjadikan hal ini seakan menunjukkan bahwa tindakan tersebut dianggap seperti permainan raja-rajaan, yang mana ada raja yang harus dihormati dan rakyat harus tunduk tanpa kritik kepada raja karena kedudukan sosialnya lebih tinggi.

Postingan yang telah mendapatkan like di atas 60 ribu tersebut memunculkan komentar yang sangat bervariatif. Dari jumlah komentar lebih dari 15 ribu, tentu tak sedikit yang mengkritik atau lebih tepatnya tidak setuju dengan tindakan tersebut. Banyak pula yang meluruskan perbuatan tersebut dengan berbagai sumber literatur sebagai penguatnya yang dibarengi dengan pikiran yang jernih pula.

Takzim sebagai Feodalisme?

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa takzim kepada kiai dalam pesantren bukanlah bentuk penghambaan atau kepatuhan buta. Dan penghormatan kepada orang berilmu atau kepada kiai dalam pesantren sejatinya adalah ajaran Islam itu sendiri.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menekankan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Sehingga menghormatinya bukan semata-mata untuk membesarkan ego guru, tetapi demi menanamkan sikap rendah hati dan penghormatan terhadap ilmu. Ini merupakan bagian dari metode pendidikan Islam yang bersifat transformatif dan spiritual.

Jika dikaitkan dengan bentuk feodalisme, penulis menganggapnya benar; takzim kepada kiai di pesantren adalah feodalisme. Namun bukan feodalisme dalam pengertian klasik ala kerajaan Eropa abad pertengahan, di mana ketika bangsawan atau dalam kata lain sang raja bersin, semua rakyat jelata seakan akan menggigil ketakutan.

Dalam hal ini penulis menerjemahkannya sebagai “feodalisme spiritual”, yang mana tidak memaksa pihak yang lemah dengan senjata atau undang-undang, tapi mengikat dengan pesona keilmuan dan teladan akhlak. Bahkan feodalisme yang tidak melahirkan tiran, tetapi melahirkan ketenangan batin dan mungkin juga –kalau beruntung –mendapatkan barakah.

Seperti halnya telaah kritis yang ditulis pada akun Instagram ‘skenu_id’ –akun dari rombongan kaum nahdliyyin yang bicara seputar NU namun bukan dari podium melainkan dari bawah panggung –seniman, penulis, akademisi, hingga pelancong spiritual.

Postingan dengan judul “Feodalisme Pesantren Kenapa Tidak!!! (Sentimen atau Telaah Kritis)” menyajikan bahwa feodal dalam pesantren bukan semata mata tunduk pada figur (kiai). Bukan juga kultus, melainkan cara agar ilmu tidak hanya masuk ke otak, tapi juga meresap ke jiwa.

Kalau ingin mengritik pesantren, mengatakan “ini feodalisme!” silakan. Tapi jangan salah sasaran. Takzim yang disebut sebagai bentuk feodalisme bukanlah alat kekuasaan represif. Kiai juga tidak mengambil tanah rakyat, tidak pula mengutip pajak seenaknya, karena takzim adalah etika, dan kiai justru akan memberikan ilmu, doa, keteladanan, serta pelajaran hidup yang lebih berguna dari ratusan halaman silabus perguruan tinggi.

Term yang Rawan Disalahgunakan

Ketika mendengar istilah feodalisme dalam pesantren jangan langsung terburu-buru panik dan menghendaki adanya revolusi. Mungkin kaum progresif akan bertanya apakah ini penindasan secara kultural? Ya, benar menurutnya. Namun bagi santri ini tidak lain sebagai bentuk perendahan ego –sebuah terapi spiritual agar guru bukan hanya dilihat sebagai fasilitator, melainkan juga pembimbing spiritual. Di sinilah pesantren menawarkan alternatif: hubungan hierarkis yang bukan merendahkan, tapi justru meninggikan martabat ilmu.

Tentu saja, feodalisme pesantren ini bisa disalahgunakan. Kita tidak boleh menutup kemungkinan jika ada oknum kiai yang mengubah takzim menjadi kultus individu. Namun apakah kita akan membakar seluruh ladang hanya karena beberapa rumput liar? Refleksi dan kritik sangat diperlukan, tetapi akan menjadi ironi modernitas paling menyedihkan jika skema spiritual yang telah membentuk jutaan karakter tangguh dan beradab dihapuskan secara total.

Sehingga, jika masih ada yang bertanya “Kenapa santri harus takzim dan mencium tangan kiai?” Jawabannya sederhana, karena melaluinya terselip ilmu, doa, serta keberkahan. Dan jika itu disebut feodalisme, maka izinkan kami menyebutnya ‘feodalisme yang kami rindukan’.

Multi-Page

2 Replies to “Feodalisme Pesantren yang Dirindukan”

Tinggalkan Balasan