Fenomena menyimpang yang belakangan ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial adalah terkuaknya grup Facebook dengan nama Fantasi Sedarah. Istilah ini merujuk pada fantasi seksual yang melibatkan anggota keluarga sendiri, seperti ayah terhadap anak perempuannya, kakak laki-laki terhadap adik perempuannya, anak laki-laki terhadap ibunya atau ipar terhadap saudara iparnya atau yg sebelumnya populer dengan istilah inces (incest).
Lebih mencengangkan lagi, dalam grup tersebut anggotanya mencapai puluhan ribu orang. Di dalamnya secara terbuka membagikan narasi, cerita, bahkan gambar yang mengilustrasikan perilaku menyimpang tersebut. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan mendalam, terutama karena banyak masyarakat yang belum memahami dampaknya dan cenderung menganggap hal ini sebagai hiburan semata.

Fantasi sedarah bukan sekadar perilaku menyimpang dalam hal pikiran, tetapi bisa menjadi jalan menuju kejahatan nyata. Bentuk penyimpangan moral dan kejahatan serius. Ketika seseorang terus-menerus mengonsumsi konten menyimpang semacam ini, batas antara fantasi dan realitas bisa kabur.
Banyak kasus pelecehan dalam rumah tangga bermula dari paparan konten tidak sehat yang tidak segera dihentikan. Korbannya bisa siapa saja: anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa yang tidak mampu melawan karena adanya relasi kuasa di dalam rumah.
Data KPAI mencatat sebanyak 265 pengaduan kekerasan seksual terhadap anak sepanjang tahun 2024. Jumlah ini merupakan yang tertinggi dibandingkan jenis kekerasan lainnya, yaitu sekitar 12,9% dari total kasus yang dilaporkan.
Dalam Islam, perbuatan seperti ini termasuk ke dalam kategori zina yang sangat dilarang. Lebih-lebih lagi jika terjadi dengan mahram. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Zina yang dilakukan dengan mahram (keluarga dekat yang haram dinikahi) dianggap jauh lebih buruk karena menciderai hubungan kekeluargaan, menghancurkan fitrah, serta membawa dampak trauma yang dalam bagi korban.
Kendali Nafsu
Yang harus kita sadari bersama: pelaku dari penyimpangan ini seringkali adalah orang-orang dewasa yang justru seharusnya menjadi pelindung. Ayah, kakak laki-laki, paman, atau bahkan guru privat—mereka memiliki kuasa atas anak yang lemah, polos, dan sering kali tidak paham apa yang sedang terjadi.
Menyalahkan anak karena “pakaian”, “gerak-geriknya”, atau “kedekatannya” dengan anggota keluarga lelaki bukanlah solusi, tapi justru bentuk ketidakadilan. Dalam Islam, dosa tetap melekat pada pelaku, terutama ketika ia memanfaatkan relasi kuasa untuk memenuhi hawa nafsunya.
Dalam banyak kasus, pelaku merupakan individu yang mengalami distorsi seksual akibat pengalaman masa lalu yang traumatis atau kurangnya edukasi seksual yang sehat. Oleh karena itu, penanganan kasus semacam ini tidak cukup hanya dengan hukuman, tetapi juga perlu pendekatan psikososial dan rehabilitasi yang memadai.
Efek Sosial dan Psikologis
Dampak dari penyimpangan ini tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial. Anak-anak yang seharusnya dibimbing dan dilindungi justru menjadi korban. Trauma yang mereka alami bisa berdampak jangka panjang: kehilangan kepercayaan, luka batin, dan hancurnya masa depan.
Banyak korban pelecehan yang tumbuh dengan luka mendalam dan tidak pernah benar-benar pulih. Sebagian mengembangkan gangguan mental, merasa tidak berharga, bahkan takut menikah. Sementara pelaku—karena sistem dan masyarakat yang diam—sering kali lolos tanpa hukuman.
Peran Pendidikan dan Lembaga Agama
Inilah saatnya lembaga pendidikan, khususnya pesantren, menjadi garda depan dalam membangun narasi yang sehat. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga membentuk akhlak dan ketahanan moral.
Tokoh agama, guru ngaji, hingga ustazah di majelis taklim harus mulai membahas isu ini secara terbuka namun bijak. Karena diam terhadap kemungkaran bukanlah pilihan.
Bahkan Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk mencegah kemungkaran sesuai kemampuan.
“عَنْ أَبِيْ سَعيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيْمَانِ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Artinya: Dari Abu Said Al Khudri ra, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya (kekuasaannya). Kalau dia tidak mampu hendaknya dia ubah dengan lisannya dan kalau dia tidak mampu hendaknya dia ingkari dengan hatinya. Dan inilah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
Langkah Pencegahan
Untuk mencegah penyebaran dan pengaruh buruk dari fantasi sedarah, diperlukan langkah nyata yang bisa dilakukan oleh semua pihak.
Pertama, mengawasi konten digital yang dikonsumsi anak dan remaja. Orang tua harus terlibat aktif dalam mendampingi penggunaan gawai di rumah.
Kedua, mengajarkan adab pergaulan dalam Islam sejak dini—batasan aurat, sentuhan aman, dan rasa malu sebagai pelindung.
Ketiga, melaporkan grup atau akun penyebar konten menyimpang kepada Kominfo atau kepolisian.
Keempat, mengadakan edukasi digital dan seksual berbasis agama agar anak paham, bukan penasaran.
Kelima, menguatkan nilai iman dan akhlak di rumah—menjaga pandangan, menjaga ucapan, dan memperkuat peran ayah sebagai pelindung, bukan pemangsa.
Tanggung Jawab Bersama
Ini bukan semata tugas tokoh agama, guru, atau pesantren. Ini tugas semua. Komunitas santri, organisasi dakwah, lembaga perempuan, hingga media Islam seperti kita, perlu bersuara lantang: tubuh anak bukan tempat pelampiasan fantasi.
Kominfo juga perlu responsif menutup akses ke grup-grup seperti ini. Penegak hukum harus hadir. Jika tidak, kita membiarkan kejahatan tumbuh subur di balik dalih “kebebasan berimajinasi”.
Menjaga Generasi
Masa depan umat Islam ada di tangan generasi muda. Jika sejak dini mereka rusak karena narasi dan tayangan menyimpang, maka mustahil lahir pemimpin yang jujur dan bertakwa.
Maka, menjaga anak dari fantasi sedarah bukan hanya perlindungan sosial, tapi jihad moral. Allah Swt. memerintahkan:
يآءيّها الذين امنوُ قوا أنفُسكم واهْليكم ناراً
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6)
Penutup
Fantasi sedarah bukan hanya penyimpangan pikiran, tetapi awal dari kehancuran keluarga, masyarakat, dan nilai agama. Maka tidak cukup hanya merasa prihatin. Kita harus bergerak: mendidik, menyuarakan, dan membentengi generasi dari bahaya yang terus mengintai di balik layar media sosial.
Mari kita mulai dari rumah kita, dari anak-anak kita. Jangan biarkan mereka belajar dari internet tentang tubuh, cinta, dan batas. Ajarkan mereka bahwa rasa malu adalah penjaga, iman adalah pelindung, dan keluarga adalah tempat aman, bukan ancaman.
Wallahu a’lam.