Etiket Komunikasi Antar-Suku di Pesantren

20 views

Pesantren hingga saat ini masih dipercaya masyarakat sebagai tempat menimba ilmu-ilmu berbasis Islam. Kemurnian ajaran yang ada di pesantren memosisikannya sebagai lembaga keislaman nomor wahid di Indonesia. Jumlah pesantren di Indonesia berkisar di angka 36.000 dengan jumlah variasi santri yang beragam, tergantung kepopuleran pesantren di mata masyarakat.

Pesantren yang memiliki citra positif dan memiliki kualitas akademik mumpuni biasanya digandrungi oleh pelajar muslim dari berbagai penjuru nusantara. Mereka akan berbondong-bondong nyantri di pesantren impian dan tidak memedulikan sejauh apa jarak yang akan ditempuh, meski harus meninggalkan kampung halaman demi memperoleh sanad keilmuan yang masih terjaga.

Advertisements

Hal ini meniscayakan berkumpulnya santri-santri dari latar belakang suku dan budaya yang berbeda dalam lingkungan yang sama. Santri asal Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatera, hingga Sulawesi akan membaur menjadi satu keluarga besar dalam bingkai kehidupan pesantren.

Yang layak mendapat perhatian lebih dari perbedaan-perbedaan ini ialah masalah komunikasi. Selain menjadi sarana transfer keilmuan, komunikasi di pesantren berfungsi sebagai penguat emosional yang dapat merajut keharmonisan antar golongan. Dengan begitu, para santri akan merasa betah dan nyaman jika telah kenal karakter satu sama lain.

Gaya bahasa yang sangat berbeda terkadang menjadi penghambat para santri dalam berkomunikasi. Ketika bertemu orang baru, mereka akan canggung untuk memulai percakapan lebih dulu, khawatir salah dalam memilih bahasa. Biasanya, mereka menunggu ada yang memulai baru kemudian menanggapi dengan bahasa yang telah disesuaikan.

Contoh kecilnya seperti yang saya rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di bumi salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur. Di pesantren yang memiliki santri sekitar 20.000-an ini, kemajemukan santri sangat terasa sekali. Satu kamar bisa terdiri dari 5 hingga 6 jenis suku yang berbeda.

Hal inilah yang menjadikan saya sering melakukan blunder dalam memulai interaksi dengan orang-orang baru. Karena suku Madura mendominasi pesantren ini (dan memang kebiasaan saya di pondok lama), saya dengan entengnya menyapa orang yang tak dikenal dengan bahasa Madura. Padahal, orang yang saya ajak interaksi tidak melulu berasal dari Pulau Garam.

Saya pun kadang merasa malu sendiri ketika tahu bahwa orang yang diajak bicara tidak mengerti akan tutur bahasa yang saya sampaikan. Untungnya, mereka masih memaklumi kelancangan saya yang masih berstatus “santri baru”. Lain soal jika yang melakukan diskriminasi bahasa adalah santri lama, maka motif yang mendasari perilaku ini tidak lain adalah ego yang muncul dari pribadinya.

Di lain sisi, sebagai orang yang fasih berbahasa Madura dan Jawa, saya kadang kelimpungan untuk menyesuaikan komunikasi dengan dua orang yang berasal dari masing-masing daerah tersebut. Jika memakai bahasa Madura, maka orang Jawa akan merasa tidak dihargai, dan begitu pun sebaliknya. Akhirnya, saya memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai jalan tengah dan menghindari diskriminasi bahasa.

Dari pengalaman yang saya alami, marginalisasi bahasa acap kali menjadi penyakit akut dalam pergaulan antarsuku di pesantren yang sulit untuk dihilangkan. Peristiwa ini sering terjadi saat bincang-bincang santai, di mana santri yang berasal dari beberapa suku berkumpul dalam satu majelis.

Salah satu dari santri itu biasanya akan menggunakan bahasa sukunya ketika berbincang dengan kawan yang berasal dari suku yang sama. Sedangkan, santri yang beda daerah akan celingak-celinguk karena tak mengetahui bahasa yang digunakan. Saya pun pernah merasa mangkel ketika berkumpul dengan kawan-kawan yang berasal dari suku yang berbeda, sedangkan mereka tetap memakai bahasa sukunya. Perasaan curiga, diacuhkan, dan tak dihargai membuat saya akhirnya segera undur diri dalam majelis itu.

Parahnya, dalam forum forum-forum resmi seperti diskusi ilmiah, muhadarah, atau bahtsul masa’il, diskriminasi bahasa sering kali maujud. Pelakunya biasanya terdiri dari golongan santri yang merasa dominan –baik berasal dari kota pesantren itu berdiri, atau etnis terbanyak yang tersebar dalam pesantren. Mereka menganggap santri-santri luar daerahnya adalah tamu yang mau tidak mau harus memahami tutur kata yang digunakan oleh si tuan rumah.

Ironisnya, meski sudah ditentang oleh khalayak ramai, tetap saja ada santri yang ngotot untuk menggunakan bahasa daerahnya. Hal ini merupakan imbas pemahaman banyak kalangan yang menormalisasi perilaku ini dengan dalih bahwa mereka memiliki kebebasan dalam menggunakan bahasa mana pun, tak terkecuali bahasa yang sama sekali tak dipahami oleh santri luar daerahnya. Padahal, dalam konteks sosial seperti keagamaan seperti pesantren, kebebasan yang dimaksud harus dibarengi dengan etika dan empati.

Etiket dalam lingkungan majemuk menuntut adanya adab komunikasi yang menjunjung tinggi keterbukaan dan kesetaraan. Pergaulan antar suku menjadi sesuatu yang sangat riskan dan penting untuk dijaga mengingat sekat pembatas antar santri sangat tipis. Perbedaan bahasa, gaya komunikasi, dan budaya masing-masing santri bisa menimbulkan gesekan dan kekacauan yang tidak main-main, yang dapat mengganggu efektivitas pembelajaran di pesantren.

Solusi yang paling tepat adalah memupuk kepekaan para santri untuk tidak menggunakan bahasa daerahnya saat berkomunikasi di ruang publik, lebih-lebih belum mengetahui latar belakang lawan bicaranya. Ia sepatutnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai jembatan komunikasi dalam bingkai kebhinekaan pesantren. Bahasa Indonesia menjadi jalan tengah agar semua orang merasa dihargai. Sikap ini sekaligus mencerminkan adab yang inklusif dalam tradisi pesantren.

Barulah ketika sudah tahu bahwa lawan bicara menggunakan bahasa daerah yang sama, maka ia boleh untuk menggunakan bahasa ibu tersebut. Dengan begitu, tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa terpinggirkan. Pesantren pun akan tetap kokoh sebagai miniatur masyarakat Islam yang rukun, adil, dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan di tengah keberagaman.

Sumber ilustrasi: tirto.id.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan